MAKALAH SENGKETA INTERNASIONAL DAN CARA PENYELESAIAN OLEH MAHKAMAH INTERNASIONAL
BAB
1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ditinjau
dari konteks hukum internasional publik, sengketa dapat
didefinisikan sebagai ketidaksepakatan salah satu subyek mengenai sebuah
fakta, hukum, atau kebijakan yang kemudian dibantah oleh pihak lain atau adanya
ketidaksepakatan mengenai masalah hukum atau fakta-fakta atau konflik mengenai
penafsiran atau kepentingan antara 2 bangsa yang berbeda
Salah
satu tujuan penyelesaian sengketa internasional adalah untuk mencegah dan
menghindari terjadinya peperangan antar negara dan penggunaan kekerasan.Karena
apabila terjadi persengketaan dikhawatirkan dapat menimbulkan krisis dan
ancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional.
Usaha
penyelesaian sengketa ini mutlak diperlukan sebelum persengketaan itu mengarah
pada suatu pelanggaran terhadap perdamaian dan keamanan internasional.
B. Rumusan Masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan sengketa internasional?
2. Bagaimana
cara penyelesaian sengketa internasional?
3. Apa
peranan mahkamah internasional dalam menyelesaikan sengketa internasional?
A.
Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai
dalam makalah ini adalah :
1.
Untuk dapat belajar membuat
makalah yang benar dan memperluas wawasan.
2.
Untuk memenuhi tugas
PKn.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Sengketa
Internasional
Sengketa
internasional (International despute), adalah perselisihan yang terjadi antara
Negara dengan Negara, Negara dengan individu-individu, atau Negara dengan
lembaga internasional yang menjadi subyek hukum internasional.
Sebab-sebab
sengketa internasional :
1. Salah
satu pihak tidak memenuhi kewajibannya dalam mperjanjiann internasional.
2. Perbedaan
penafsiran mengenai isi perjanjian internasional
3. Perebutan
sumber-sumber ekonomi
4. Perebutan
pengaruh ekonomi, politik, atau keamanan regional dan internasional.
5. Adanya
intervensi terhadap kedayulatan Negara lain.
6. Penghinaan
terhadap harga diri bangsa.
Sengketa
internasional adalah suatu perselisihan antara subjek-subjek hukum
internasional mengenai fakta, hukum atau politik dimana tuntutan atau
pernyataan satu pihak ditolak, dituntut balik atau diingkari oleh pihak
lainnya.
Contoh
sebab timbulnya sengketa internasional yang sangat potensial terjadinya perang
terbuka :
1.
Segi Politis (adanya fakta pertahanan / fakta perdamaian).
Pasca
Perang Dunia II (1945) muncul dua kekuatan besar yaitu Blok Barat (NATO
pimpinan AS) dan Blok Timur (PAKTA WARSAWA pimpinan Uni Soviet). Mereka
bersaing berebut pengaruh di bidang Ideologi, Ekonomi, dan Persenjataan.
Akibatnya sering terjadi konflik di berbagai negara, missalnya Krisis Kuba,
Perang Korea (Korea Utara didukung Blok Timur dan Korea Selatan didukung Blok
Barat), Perang Vietnam dll.
2.
Batas Wilayah.
Suatu
Negara berbatasan dengan wilayah Negara lain. Kadang antar Negara terjadi
ketidak sepakatan tentang batas wilayah masing – masing. Misalnya Indonesia
dengan Malaysia tentang Pulau Sipadan dan Ligitan (Kalimantan). Sengketa ini
diserahkan kepada Mahkamah Internasional dan pada tahun 2003 sengketa itu
dimenangkan oleh Malaysia.
Dengan runtuhnya Blok
Timur dengan ditandai runtuhnya Tembok Berlin tahun 1989 maka AS muncul sebagai
kekuatan besar (Negara Adikuasa). Sehingga cenderung membawa dunia dalam
tatanan yang bersifat UNIPOLAR artinya AS bertindak sebagai satu – satunya
kekuatan yang mengendalikan sebagian besar persoalan di dunia. Akibatnya
cenderung muncul sengketa di dunia internasional.
B. Cara Penyelesaian
Sengketa Internasional
Secara
umum terdapat dua cara penyelesaian sengketa yaitu penyelesaian sengketa secara
damai dan penyelesaian sengketa dengan paksa atau kekerasan.
a. Penyelesaian
secara damai
Penyelesaian
sengketa internasional secara damai dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu
:
1. Rujuk
Rujuk adalah penyelesaian sengketa melalui usaha
penyesuaian pendapat antara pihak yang bersengketa secara kekeluargaan. Rujuk
dapat dilakukan dengan jalan :
a. Negoisasi,
yaitu perundingan antara pihak yang bersengketa sebagai sarana untuk menetapkan
sikap tentang masalah yang disengketakan.
b. Mediasi,
merupakan bantuan jasa baik dari pihak ketiga. Pihak ketiga lebih bersingkap
aktif, misalnya berusaha mempertemukan pihak-pihak yang bersengketa, memberikan
saran-saran agar sengketa dapat diselesaikan secara damai.
c. Konsiliasi,
dapat diarktikan secara luas dan secara sempit. Secara luas, konsiliasi berarti
penyelesaian sengketa dengan bantuan pihak ketiga yang tidak memihak. Secara
sempit, konsiliasi berarti penyerahan sengketa pada suatu panitia. Panitia
menyelidiki persengketaan kedua belah pihak kemudian akan memberikan usul.
d. Rujuk dapat
dilakukan dengan bantuan panitia penyelidikan. Panitia penyelidikan bertugas
menyelediki kepastian peristiwa dan kemudian menyiapkan penyelesaian yang
disepakati.
2. Penyelesaian
sengketa di bawah pengawasan PBB
Peran PBB dalam menyelesaikan secara politik dilakukan
oleh Majelis Umum dan Dewan Keamanan PBB, sedangkan penyelesaian secara hukum
dilakukan oleh Mahkamah Internasional.
Majelis Umum PBB menangani sengketa dengan jalan
memberikan rekomendasi kepada negara yang bersengketa mengenai
tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menyelesaikan secara damai demi
terwujudnya kesejahteraan dan persahabatan. Sengketa yang ditangani Dewan
Keamanan PBB dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu :
a. Sengketa yang
membahayakan perdamaian dan keamanan internasional. Dewan Keamanan PBB dapat
merekomendasikan cara yang tepat diantara cara negosiasi, mediasi, penyelidikan
dan sebagainya.
b. Peristiwa ancaman
perdamaian, pelanggaran perdamaian, atau agresi. Dewan keamanan PBB berwenang
merekomendasikan hal-hal yang diperlukan untuk mempertahankan atau memulihkan
perdamaian dan keamanan internasional, atau meminta pihak-pihak yang
bersengketa untuk memeuhi aturan atau tindakan yang ditetapkan.
3. Arbitrasi
Arbitrasi
adalah cara penyelesaian sengketa dengan mengajukan sengketa kepada orang-orang
tertentu yang dipilih secara bebas oleh pihak-pihak yang bersengketa, yang
disebut Arbitrator, biasanya berasal dari negara yang bersangkutan.
Penyerahan
penyelesaian sengketa kepada arbitrator dapat dilakukan melalui perjanjian
internasional antara negara yang bertikai. Didalam perjanjian itu diatur
pokok-pokok sengketa, batas kewenangan, prosedur, dan ketentuan yang dijadikan
dasar pembuatan keputusan arbitrasi. Keputusan yang diambil tidak harus
berdasar hukum, tetapi dapat berdasar ataas kepantasan atau kebaikan. Peraturan
arbitrasi internasional ditetapkan dalam Konvensi Den Haag tahu 1899 dan 1907.
4. Peradilan
Internasional
Penyelesaian
sengketa melalui peradilan internasional adalah penyelesaian dengan penerapan
hukum oleh badan peradilan internasional. Dalam memutuskan masalah hanya berdsarkan
ketentuan hukum dan bersifat terbuka. Peradilan internasional dapat dilakukan
pula oleh bada peradilan internasional lain dengan persetujuan pihak-pihak yang
bersengketa.
Prinsip-Prinsip
Penyelesaian Sengketa Secara Damai adalah:
1. Prinsip
itikad baik (good faith);
2. Prinsip
larangan penggunaan kekerasan dalam penyelesaian sengketa;
3. Prinsip
kebebasan memilih cara-cara penyelesaian sengketa ;
4. Prinsip
kebebasan memilih hukum yang akan diterapkan terhadap pokok sengketa;
5. Prinsip
kesepakatan para pihak yang bersengketa (konsensus);
6. Prinsip
penggunaan terlebih dahulu hukum nasional negara untuk menyelesaikan
suatu sengketa prinsip exhaustion of local remedies);
7. Prinsip-prinsip
hukum internasional tentang kedaulatan, kemerdekaan, dan integritas wilayah
negara-negara.
Disamping
ketujuh prinsip di atas, Office of the Legal Affairs PBB memuat prinsip-prinsip
lain yang bersifat tambahan, yaitu:
a.
Prinsip larangan intervensi baik terhadap masalah dalam atau luar negeri para
pihak;
b.
Prinsip persamaan hak dan penentuan nasib
sendiri;
c.
Prinsip persamaan kedaulatan negara-negara;
d.
Prinsip kemerdekaan dan hukum internasional.
b. Penyelesaian
sengketa dengan kekerasan
Penyelesaian
sengketa dengan kekerasan yaitu penyelesaian sengketa menggunakan sarana
pemaksaan, antara lain dengan blokade, pertikaian bersenjata, reprisal, dan
retorsi.
1) Blokade
Blokade
adalah pengepungan wilayah untuk memutuskan hubungan wilayah itu dengan pihak
luar, misalnya blokade atau pengepungan suatu kota atau pelabuhan. Blokade di
masa sekarang dianggap penyelesaian sengketa yang sudah asing, karena blokade
sebagai tindakan sepihak bertentangan dengan Piagam PBB, yang menyebutkkan
bahwa blokade hanya boleh dilakukan oleh anggota-anggota PBB yang ditetapkan
oleh Dewan Keamanan dalam rangka memelihara perdamaian dan keamanan. Namun
banyak blokade dilakukan oleh negara besar untuk kepentingan bersama, misalnya
untuk mencegah terjadinya perang. Ada dua macam blokade, yaitu blokade masa
damai dan blokade masa perang. Akibat hukum blokade masa damai yaitu negara
yang memblokade tidak berhak menangkap kapal perang, negara pihak ketiga yang
melanggar blokade, tetapi blokade di masa perang adalah negara yang memblokade
berhak memeriksa kapal perang netral atau negara ketiga.
2) Pertikaian
senjata
Pertikaian
senjata adalah pertentangan yang disertai penggunaan kekerasan dengan tujuan
menundukkan lawan dan menetapkan persyaratan damai secara sepihak. Pertikaian
senjata harus dibedakan dengan pengertian perang. Yang dimaksud dengan perang
adalah pertikaian bersenjata yang memnuhi persyaratan tertentu, yaitu
pihak-pihak yang bertikai adalah negara dan pertikaian itu disertai pernyataan
perang.
3) Reprisal
Reprisal
yaitu pembalasan yang dilakukan oleh suatu negara terhadap tindakan yang
melanggar hukum dari negara lawan dalam suatu pertikaian. Reprisal di masa
damai di benarkan apabila negara yang dikenai perbuatan reprisal bersalah
melakukan kejahatan internasional. Misalnya, berupa pemboikotan barang,
embargo, demonstrasi angkatan laut dan sebagainya.
4) Retorsi
Retorsi
adalah pembalasan yang dilakukan oleh suatu negara terhadap tindakan yang tidak
pantas dari negara lain, misalnya pengetatan hubungan diplomatik, penghapusan
hak istimewa diplomatik. Penggunaan retorsi secara sah oleh negara anggota PBB
terikat pada ketentuan Piagam PBB, yang pada intinya tidak mengganggu
perdamaian dan keamanan internasional. Jadi retorsi merupakan perbuatan yang
sah dan tidak melanggar hukum.
C. Peranan Mahkamah
Internasional Dalam Menyelesaikan Sengketa Internasional
Ketentuan
hukum internasional telah melarang penggunaan kekerasan dalam hubungan antar
negara. Keharusan ini seperti tercantum pada Pasal 1 Konvensi mengenai
Penyelesaian Sengketa-Sengketa Secara Damai yang ditandatangani di Den Haag
pada tanggal 18 Oktober 1907, yang kemudian dikukuhkan oleh pasal 2 ayat (3)
Piagan Perserikatan bangsa-Bangsa dan selanjutnya oleh Deklarasi
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional mengenai Hubungan Bersahabat dan Kerjasama
antar Negara. Deklarasi tersebut meminta agar“semua negara menyelesaikan
sengketa mereka dengan cara damai sedemikian rupa agar perdamaian, keamanan
internasional dan keadilan tidak sampai terganggu”.
Penyelesaian
sengketa secara damai dibedakan menjadi: penyelesaian melalui pengadilan dan di
luar pengadilan. Yang akan dibahas pada kesemapatan kali ini hanyalah
penyelesaian perkara melalui pengadilan. Penyelesaian melalui pengadilan dapat
ditempuh melalui:
a. Arbitrase
Internasional
Penyelesaian
sengketa internasional melalui arbitrase internasional adalah pengajuan
sengketa internasional kepada arbitrator yang dipilih secara bebas oleh
para pihak, yang memberi keputusan dengan tidak harus terlalu terpakupada
pertimbangan-pertimbangan hukum. Arbitrase adalah merupakan suatu
cara penerapan prinsip hukum terhadap suatu sengketa dalam batas-batas
yang telah disetujui sebelumnya oleh para pihak yang bersengketa. Hal-hal
yang penting dalam arbitrase adalah;
(a) perlunya
persetujuan para pihak dalam setiap tahap proses arbitrase, dan
(b) sengketa
diselesaikan atas dasar menghormati hukum.
Secara
esensial, arbitrase merupakan prosedur konsensus,
karenanya persetujuan para pihaklah yang mengatur pengadilan arbitrase.
Arbitrase terdiri dari seorang arbitrator atau komisi bersama antar
anggota-anggota yang ditunjuk oleh para pihak atau dan komisi campuran, yang
terdiri dari orang-orang yang diajukan oleh para pihak dan anggota tambahan
yang dipilih dengan cara lain.
Pengadilan
arbitrase dilaksanakan oleh suatu “panel
hakim” atau arbitrator yang dibentuk atas dasar persetujuan khusus para
pihak, atau dengan perjanjian arbitrase yang telah ada. Persetujuan arbitrase
tersebut dikenal dengan compromis (kompromi) yang memuat; (a) persetujuan para
pihak untuk terikat pada keputusan arbitrase, (b) metode pemilihan panel
arbitrase, (c) waktu dan tempat (dengar pendapat),(d) batasfakta yang harus
dipertimbangkan, dan (e) prinsip-prinsip hukum atau
keadilan yang harus diterapkan untuk mencapai suatu kesepakatan.
(Burhan Tsani, 1990, 214)
Masyarakat
internasional sudah menyediakan beberapa institusi arbitrase internasional,
antara lain
a. Pengadilan
Arbitrase Kamar Dagang Internasional\
(Court of Arbitration of
the International Chamber of Commerce) yang
didirikan di Paris, tahun 1919,
b. Pusat
Penyelesaian Sengketa Penanaman
Modal Internasional (International
Centre for Settlement of Investment Disputes) yang
berkedudukan di Washington DC,
c. Pusat
Arbitrase Dagang
Regional untuk Asia (Regional
Centre for Commercial Arbitration), berkedudukan di Kuala
Lumpur, Malaysia dan
d. Pusat
Arbitrase Dagang
Regional untuk Afrika
(Regional Centre for Commercial Arbitration), berkedudukan
di Kairo, Mesir. (Burhan Tsani; 216)
b. Pengadilan
Internasional
Pada
permulaan abad XX, Liga Bangsa-Bangsa mendorong masyarakat internasional untuk
membentuk suatu badan peradilan yang bersifat permanent, yaitu mulai dari
komposisi, organisasi, wewenang dan tata kerjanya sudah dibuat sebelumnya dan
bebas dari kehendak negara - negara yang bersengketa.
Pasal 14 Liga Bangsa Bangsa
menugaskan Dewan untuk menyiapkan sebuah institusi Mahkamah
Permanen Internasional. Namun, walaupun didirikan oleh Liga Bangsa-Bangsa,
Mahkamah Permanen Internasional, bukanlah organ dari Organisasi
Internasional tersebut. Hingga pada tahun
1945, setelah berakhirnya Perang Dunia II, maka
negara-negara di dunia mengadakan konferensi di San Fransisco
untuk membentuk Mahkamah Internasional yang baru. Di San
Fransisco inilah, kemudian dirumuskan Piagam
Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Statuta Mahkamah Internasional.
Menurut Pasal 92 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa
disebutkan bahwa Mahkamah Internasional merupakan organ
hukum utama dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Namun
sesungguhnya, pendirian Mahkamah Internasional yang baru ini, pada dasarnya
hanyalah merupakan kelanjutan dari Mahkamah Internasional yang
lama, karena banyak nomor-nomor
dan pasal-pasal yang tidak mengalami perubahan
secara signifikan. Secara umum, Mahkamah Internasional mempunyai kewenangan
untuk:
a. Melaksanakan
“Contentious Jurisdiction”, yaitu yurisdiksi atas perkara biasa, yang
didasarkan pada persetujuan para pihak yang bersengketa;
b. Memberikan
“Advisory Opinion”, yaitu pendapat mahkamah yang bersifat nasehat.
Advisory
Opinion tidaklah memiliki sifat mengikat bagi
yang meminta, namun biasanya diberlakukan sebagai “Compulsory Ruling”, yaitu
keputusan wajib yang mempunyai kuasa persuasive kuat (Burhan Tsani, 1990;
217), sedangkan menurut Pasal 38 ayat
(1) Statuta Mahkamah Internasional sumber- sumber
hukum internasional yang dipakai
oleh Mahkamah dalam mengadili perkara, adalah:
a. Perjanjian
internasional (international conventions), baik
yang bersifat umum, maupun khusus;
b. Kebiasaan
internasional (international custom);
c. Prinsip-prinsip
hukum umum (general principles of law) yang diakui oleh negara-negara
beradab;
d. Keputusan
pengadilan (judicial decision) dan pendapat para ahli yang
telah diakui kepakarannya, yang merupakan
sumber hukum internasional tambahan.
Mahkamah
Internasional juga sebenarnya bisa mengajukan keputusan ex
aequo et bono, yaitu didasarkan pada keadilan dan kebaikan, dan bukan
berdasarkan hukum, namun hal ini bisa dilakukan jika ada kesepakatan antar
negara-negara yang bersengketa. Keputusan Mahkamah Internasional sifatnya
final, tidak dapat banding dan hanya mengikat para pihak.
Keputusan juga diambil atas dasar suara mayoritas. Yang dapat menjadi pihak
hanyalah negara, namun semua jenis sengketa dapat diajukan ke Mahkamah
Internasional. Masalah pengajuan sengketa bisa dilakukan oleh salah satu pihak secara
unilateral, namun kemudian harus ada persetujuan dari pihak yang lain. Jika
tidak ada persetujuan, maka perkara akan di hapus dari daftar MahkamahInternasional, karena Mahkamah Internasional tidak akan memutus perkara
secara in-absensia (tidak hadirnya para pihak).
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sengketa
dapat didefinisikan sebagai ketidaksepakatan salah satu subyek mengenai sebuah
fakta, hukum, atau kebijakan yang kemudian dibantah oleh pihak lain atau adanya
ketidaksepakatan mengenai masalah hukum, fakta-fakta atau konflik mengenai
penafsiran atau kepentingan antara 2 bangsa yang berbeda. Adapun
Prinsip-Prinsip dalam Penyelesaian Sengketa Secara Damai adalah:
1. Prinsip itikad baik (good faith);
2. Prinsip larangan penggunaan kekerasan dalam
penyelesaian sengketa;
3. Prinsip kebebasan memilih cara-cara
penyelesaian sengketa ;
4. Prinsip kebebasan memilih hukum yang akan
diterapkan terhadap pokok sengketa;
5. Prinsip kesepakatan para pihak yang
bersengketa (konsensus);
6. Prinsip penggunaan terlebih dahulu hukum
nasional negara untuk menyelesaikan suatu sengketa prinsip exhaustion of
local remedies);
7. Prinsip-prinsip hukum internasional tentang
kedaulatan, kemerdekaan, dan integritas wilayah negara-negara.
B. Saran
Secara
pribadi maupun sebagai bangsa Indonesia haruslah dapat memberikan kontribusi
secara aktif dan perdamaian dunia. Sikap positif ini harus dapat kita tunjukkan
apabila kita sebagai negara berdaulat terlibat suatu sengketa dengan negara
lain diserahkan kepada Mahkamah Internasional. Namun demikian, lebih jauh
kita berharap agar jangan sampai ada persengketaan.
DAFTAR
PUSTAKA
http://hdjawaran.blogspot.co.id/p/blog-page_63.html
http://nengfm.blogspot.co.id/2014/02/powerpoint-thanksgiving.html
http://www.warnetgadis.com/2017/01/makalah-tentang-sengketa-internasional.html
https://www.slideshare.net/septianraha/makalah-sengketa-internasional-dan-cara-penyalesaiannya?from_action=save