Rumah Tradisional Bugis Sulawesi Selatan
1.
Asal-usul
Rumah Panggung Kayu adalah salah satu rumah tradisional Bugis yang
berbentuk persegi empat memanjang ke belakang. Konstruksi bangunan rumah ini
dibuat secara lepas-pasang (knock down) sehingga dapat dipindahkan dari
satu tempat ke tempat lain. Konsep empat persegi panjang ini bermula dari
pandangan hidup masyarakat Bugis pada zaman dahulu tentang bagaimana memahami
alam semesta secara universal. Dalam falsafah dan pandangan hidup mereka
terdapat istilah sulapa’ èppa, yang berarti persegi empat, yaitu sebuah
pandangan dunia empat sisi yang tertujuan untuk mencari kesempurnaan ideal
dalam mengenali dan mengatasi kelemahan manusia (Elizabeth Morrell, 2005: 240).
Menurut mereka, segala sesuatu baru dikatakan sempurna dan lengkap jika
memiliki sulapa’ èppa. Demikian pula pandangan mereka tentang rumah,
yaitu sebuah rumah akan dikatakan bola gènnè atau rumah sempurna jika
berbentuk segi empat, yang berarti memiliki empat kesempurnaan (http://www.sabahforum.com).
Orang Bugis juga mengenal sistem tingkatan sosial yang dapat
mempengaruhi bentuk rumah mereka, yang ditandai dengan simbol-simbol khusus.
Berdasarkan pelapisan sosial tersebut, maka bentuk rumah tradisional orang
Bugis dikenal dengan istilah Saoraja (Sallasa) dan Bola. Saoraja
berarti rumah besar, yakni rumah yang ditempati oleh keturunan raja atau kaum
bangsawan, sedangkan bola berarti rumah biasa, yakni rumah tempat
tinggal bagi rakyat biasa (Izarwisma Mardanas, dkk., (ed.), 1985: 24).
Dari segi struktur dan konstruksi bangunan, kedua jenis rumah tersebut
tidak memiliki perbedaan yang prinsipil. Perbedaannya hanya terletak pada
ukuran rumah dan status sosial penghuninya. Pada umumnya, Saoraja lebih
besar dan luas daripada Bola yang biasanya ditandai oleh jumlah
tiangnya. Saoraja memiliki 40 – 48 tiang, sedangkan Bola hanya memiliki 20 – 30
tiang. Sementara perbedaan status sosial penghuninya dapat dilihat pada bentuk
tutup bubungan atap rumah yang disebut dengan timpak laja. Bangunan
Saoraja memiliki timpak laja yang bertingkat-tingkat yaitu antara 3 - 5
tingkat, sedangkan timpak laja pada bangunan Bola tidak
bertingkat alias polos (Izarwisma, dkk., [ed.], 1985: 27). Semakin banyak
jumlah tingkat timpak laja sebuah Saoraja, semakin tinggi pula
status sosial penghuninya.
Rumah bagi orang Bugis tidak sekedar tempat tinggal atau obyek materiil
yang indah dan menyenangkan. Menurut Y.B. Mangunwijaya, pendirian rumah
tradisional Bugis lebih diarahkan kepada kelangsungan hidup manusia secara
kosmis (http://syahriartato.wordpress.com). Oleh karena itu, konstruksi rumah
tradisional Bugis sangat dipengaruhi oleh pemahaman atas struktur kosmos.
Menurut pandangan hidup masyarakat Bugis zaman dahulu, alam raya
(makrokosmos) tersusun atas tiga tingkatan, yaitu alam atas (botting langik),
alam tengah (lino), dan alam bawah (uriliyu). Alam atas adalah
tempat para dewa yang dipimpin oleh satu dewa tertinggi bernama Dewata
SeuwaE (Dewa Tunggal). Alam tengah adalah bumi yang dihuni oleh para wakil
dewa tertinggi untuk mengatur hubungan manusia dengan dewa tertinggi, serta
mengatur jalannya tata tertib kosmos. Alam bawah adalah tempat yang paling
dalam yaitu berada di bawah air (http://syahriartato.wordpress.com). Berdasarkan pandangan hidup tersebut, maka
konstruksi rumah tradisional Bugis harus terdiri tiga tingkatan, yaitu rakkeang
(alam atas), alè bola (alam tengah), awa bola (alam bawah), di
mana keseluruhan bagian tersebut masing-masing memiliki fungsi.
Untuk mendirikan rumah adat Bugis, diperlukan peran seorang Sanro
Bola atau dukun rumah. Sanro Bola dianggap menguasai ilmu
pengetahuan tentang tata cara pengerjaan rumah, mulai dari pemilihan lokasi dan
waktu, jenis kayu, arah letak rumah, dan pengerjaan elemen-elemen atau ornamen
bangunan rumah hingga pada konstruksi serta segala pelengkapnya. Selain itu, Sanro
Bola juga mengetahui cara-rara mengusir makhluk-makhluk halus melalui doa
dan mantra-mantra. Menurut keyakinan orang Bugis, kayu yang akan ditebang untuk
tiang dan tempat untuk mendirikan rumah terkadang dihuni oleh makhluk-makhluk
halus dan roh-roh jahat. Oleh karena itu, penghuni rumah harus meminta bimbingan
kepada seorang Sanro Bola. Jika tidak, maka si penghuni rumah kelak akan
ditimpa penyakit, malapetaka, atau meninggal dunia (Nurhayati Djamas, 1998:
74).
Tradisi masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan mendirikan rumah senantiasa
mempertimbangkan keselamatan. Mereka percaya bahwa hidup selaras dan harmoni
dengan tatanan kehidupan alam akan mendatangkan ketenangan, kesejahteraan, dan
kedamaian. Sebaliknya, manusia yang menyimpang dari tatanan dan aturan tersebut
niscaya akan mendapatkan sangsi atau hukuman berupa malapetaka. Untuk itulah,
mereka senantiasa menjaga keselarasan dengan alam melalui tanda-tanda atau
simbol, yaitu berupa mitos asal dan upacara-upacara ritual. Menurut Waterson
(dalam Robinson, 2005: 273), praktik-pratik ritual tersebut menunjukkan bahwa
masyarakat Bugis telah menyatu dengan kosmos makhluk lainnya.
2.
Bahan-bahan dan Tenaga
a.
Bahan-bahan
Ketika hendak mendirikan rumah, orang Bugis selalu selektif dalam
memilih bahan atau kayu yang bermutu dan bernilai filosofi. Bahan-bahan yang
biasa digunakan untuk membangun Rumah Panggung Kayu di antaranya:
- Aju panasa
(kayu nangka). Kayu ini biasanya khusus digunakan untuk tiang pusat rumah
(posi bola).
- Aju bitti, aju amara, dan
aju jati. Ketiga jenis kayu ini dapat digunakan untuk keseluruhan
tiang, selain tiang pusat rumah. Namun jika menggunakan kayu jati,
jumlahnya harus lebih dari satu, karena kata jati oleh orang Bugis
ditafsirkan sebagai maja ati (berhati jelek atau jahat). Selain itu,
banyak orang yang akan iri dan dengki kepada si pemilik rumah jika
menggunakan kayu jati.
- Aju ipi, aju seppu, dan
batang kelapa. Ketiga jenis kayu ini digunakan untuk arateng, yaitu
balok pipih panjang berderet ke belakang yang berfungsi mengikat tiang
pada bagian tengah rumah. Ketiga jenis kayu ini juga digunakan untuk
membuat pattolo riawa, yaitu balok pipih panjang yang berfungsi
mengikat deretan tiang bagian tengah dari arah kanan ke kiri; dan aju
lekke, yaitu balok panjang yang terletak paling atas dan berfungsi
untuk menyangga atau menahan kerangka atap.
- Aju tippulu dan
batang lontar. Kedua jenis kayu ini digunakan untuk membuat pare’,
yaitu balok pipih panjang berderet ke belakang sejajar dengan arateng
yang berfungsi mengikat tiang-tiang sebelah atas. Panjangnya sama dengan
panjang aju lekke. Selain itu, jenis kayu ini juga digunakan untuk
membuat pattolo riase/padongko, yaitu balok pipih panjang yang
mengikat ujung tiang bagian atas sejajar dengan pattolo riawa; dan tanebba’,
yaitu balok berukuran kecil sebagai dasar dari lantai rumah dan
berfungsi menahan papan yang akan menjadi lantai rumah.
- Aju cendana.
Jenis kayu ini digunakan untuk membuat barakkapu, yaitu balok kecil
yang merupakan dasar dari lantai rakkeang (loteng).
- Bambu,
digunakan untuk membuat addeneng (tangga), salima (lantai),
dan rènring (dinding).
- Daun rumbia, ijuk, nipah, ilalang, digunakan
untuk membuat atap. Ijuk dan nipah biasanya digunakan khusus untuk Saoraja,
sedangkan daun rumbia dan ilalang digunakan untuk Bola. Dalam
perkembangannya, saat ini sudah banyak yang menggunakan seng, sirap, dan
genteng.
b. Tenaga
Sebelumnya disebutkan bahwa masyarakat tradisional Bugis senantiasa
mempertimbangkan keselamatan ketika akan mendirikan rumah. Oleh karena itu,
mereka harus memilih tenaga ahli yang mengerti seluk-beluk adat istiadat
mendirikan rumah agar terhindar dari malapetaka. Secara garis besar, tenaga
yang terlibat dalam kegiatan mendirikan Rumah Panggung Kayu dibagi atas tiga
macam (Mardanas, dkk. [ed.], 1985: 53), yaitu:
- Sanro Bola
(dukun rumah), yaitu orang yang dianggap ahli tentang tipe-tipe bangunan,
nilai-nilai yang terkandung dalam bangunan itu, serta mengetahui
jenis-jenis kayu yang cocok untuk digunakan. Keahlian Sanro Bola
tersebut diperoleh melalui pengalaman yang ditopang oleh ilmu yang
diwarisi secara turun-temurun dari nenek moyang. Pewarisannya bisa melalui
praktek langsung ataupun secara tertulis berupa naskah Lontarak
khusus mengenai rumah. Sanro Bola bertugas mempimpin pendirian
rumah dari awal hingga selesai. Secara rinci, tugasnya adalah mengetahui
jumlah bahan, biaya, dan tukang yang dibutuhkan, tipe-tipe kayu yang
cocok, serta waktu dan tempat yang baik.
- Panre Bola
(tukang), yaitu orang yang terampil dan mengetahui teknik membuat rumah,
yang biasanya tanpa menggunakan gambar. Namun, ia bekerja berdasarkan
petunjuk Sanro Bola.
- Tenaga pembantu umum, yaitu tenaga pembantu
yang terdiri dari keluarga dekat pemilik rumah, baik dari pihak suami
maupun istri, dan tetangga terdekat. Tenaga pembantu umum ini hanya
bekerja pada waktu-waktu tertentu, yaitu ketika ada pekerjaan yang
membutuhkan tenaga yang banyak, seperti mappakkatang (menyerut), mappatama
arateng dan pattolo (mamasang kerangka rumah), dan mappatettong
bola (mendirikan kerangka rumah). Tenaga pembantu ini bekerja secara
sukarela sebagai bentuk solidaritas tanpa mengharapkan balasan, yang dalam
bahasa Bugis disebut dengan situru-turungi.
3.
Tahapan Mendirikan Rumah Panggung Kayu
a.
Tahap Persiapan
Tahap persiapan mendirikan Rumah Panggung Kayu dimulai dari musyawarah
keluarga. Dalam pertemuan ini dibicarakan mulai dari tipe dan ukuran rumah,
waktu dan tempat mendirikan rumah, bahan dan biaya yang dibutuhkan, hingga ke
pembagian tugas (baik tugas individu maupun berkelompok). Persoalan pertama
yang dibicarakan adalah status sosial calon penghuni rumah, sebab status sosial
tersebut sangat menentukan tipe dan bentuk rumah yang akan dibangun.
Kedua,
menentukan ukuran rumah. Sedikitnya ada dua cara untuk menentukan ukuran rumah,
yaitu diukur secara spasial vertikal (tinggi bagian bawah, tengah, dan atas),
dan spasial horizontal (panjang dan lebar). Secara spasial vertikal, ukuran
tinggi bagian bawah (kolong) dan bagian tengah (alè bola/badan rumah)
diambil dari ukuran tinggi suami penghuni rumah, yaitu diukur dari ujung kaki
hingga telinga dalam posisi berdiri, kemudian diukur dari lantai sampai mata
dalam posisi duduk. Hasil dari kedua pengukuran tersebut kemudian dijumlahkan.
Sementara untuk ukuran bagian atas (puncak rumah) diambil dari seperdua panjang
pattolo riase, lalu ditambah dua jari dari istri penghuni rumah.
Misalnya, panjang pattolo riase 7 m, maka tinggi puncak rumah itu 7/2 +
2 jari istri penghuni rumah. Secara spasial horizontal, ukuran panjang dan
lebar rumah biasanya menggunakan rèppa (depa) dan jakka (jengkal)
penghuni rumah.
Ketiga,
menentukan waktu. Orang Bugis meyakini bahwa terdapat waktu yang baik dan buruk
dalam memulai sesuatu pekerjaan. Oleh karena itu, pemilihan waktu sangat penting
untuk memastikan hasil positif suatu usaha (Robinson, 2005: 282). Ketika hendak
mendirikan rumah, orang Bugis selalu mencari waktu yang baik, dengan harapan si
penghuni rumah akan selamat, murah rezeki, dan segala yang dicita-citakan akan
tercapai. Waktu-waktu yang dianggap baik, di antaranya mappongngi Arabae
(hari Rabu pertama pada setiap bulan), cappu Kammisi (setiap hari Kamis
terakhir setiap bulan). Adapun waktu-waktu yang dianggap buruk, yaitu mula
Kammisi (hari Kamis pertama pada setiap bulan), cappu Araba (hari
Rabu terakhir setiap bulan), hari Senin yang bertepatan hari ke-13 sampai ke-16
setiap bulan, dan uleng taccipi atau bulan terjepit (bulan yang diapit
oleh Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha, yaitu bulan Zulkaidah). Menurut
Robinson, bulan-bulan yang dianggap buruk dalam penanggalan Islam adalah Muharram,
Raibi’ul-awal, Jumadil-akhir, dan Syawal (Robinson, 2005:
282).
Keempat,
menentukan tempat dan arah rumah. Tanda-tanda tanah yang dianggap baik untuk
mendirikan rumah di antaranya memiliki kemiringan (di mana air bisa mengalir),
rasanya kemanis-manisan, dan tidak ditemukan sarang ani-ani (rayap).
Setelah itu, tanah tersebut harus diuji kecocokannya dengan si penghuni rumah,
yaitu dengan cara meletakkan sebuah bila (buah maja) yang berisi air
pada tempat di mana akan diletakkannya posi bola selama satu malam. Jika
volume air dalam bila tersebut tidak bertambah, maka itu pertanda baik.
Tetapi jika airnya tetap, maka hal itu berarti tidak baik. Untuk arah rumah,
topografi tanah juga sangat menentukan. Bila tanahnya miring ke utara, maka
rumah harus menghadap ke timur dengan pertimbangan ketentuan adat bahwa air
limbah harus mengalir ke kiri. Setelah mendapat pengaruh ajaran Islam, arah
rumah yang paling baik adalah menghadap ke selatan dengan anggapan bahwa Ka’bah
yang berada di sebelah barat tidak boleh searah dengan kaki pada waktu tidur
(Mardanas, dkk., (ed.), 1985: 73).
b.
Tahap Pengumpulan Bahan
Bahan-bahan yang diperlukan untuk mendirikan rumah Bugis biasanya
diperoleh dengan cara ditebang sendiri oleh penghuni rumah, atau dibeli melalui
pedagang berdasarkan petunjuk seorang Sanro Bola. Bahan yang pertama
kali dicari adalah kayu untuk tiang posi bola (tiang rumah). Bagi
masyarakat Bugis, posi bola merupakan soko guru bagi sebuah
rumah. Oleh karena itu, bahannya harus dipilih dari pohon atau kayu yang kuat,
buahnya enak dimakan, mudah didapatkan, dan memiliki nilai filosofi yang
tinggi, misalnya aju panasa (kayu nangka). Panasa dalam bahasa
Bugis ditafsirkan sebagai ripomanasai, yaitu “dicita-citakan”. Hal ini
mengandung harapan agar apa yang dicita-citakan oleh si penghuni rumah dapat
tercapai. Namun, jika kayu untuk tiang pusat ini dibeli dari pedagang, maka
yang dipilih adalah kayu nangka yang disebut kalole, yaitu kayu yang
masih utuh (belum pernah dibelah). Hal ini juga mengandung harapan agar si
penghuni rumah senantiasa dalam keadaan utuh atau sempurna dan tidak pernah
kekurangan selama menempati rumah itu (Mardanas, dkk., (ed.), 1985: 41).
Setelah tiang untuk posi bola diperoleh, barulah dimulai mencari
kayu untuk tiang-tiang lainnya, kemudian dilanjutkan dengan pembuatan arateng,
pattolo, dan lain-lain. Namun yang perlu diperhatikan ketika memilih
bahan-bahan tersebut adalah harus kayu yang berkulitas tinggi dan bernilai
filosifis, misalnya kayu yang tidak pernah kena petir, ujung atau dahannya
tidak bergesekan dengan dahan pohon lain, tidak menindih makhluk hidup (apalagi
manusia) saat kayu itu ditebang, tidak dililit oleh tumbuhan lain, dan tidak
dilobangi oleh kumbang.
c.
Tahap Pembangunan
Setelah bahan-bahan yang diperlukan terkumpul, maka tahap selanjutnya
adalah pembuatan kerangka rumah, yang terdiri dari tiga bagian, yaitu awa
bola (bagian bawah), alè bola (bagian tengah), dan rakkeang
(loteng). Kerangka rumah merupakan bagian terpenting karena merupakan bagian
yang menentukan kokoh atau tidaknya sebuah Rumah Panggung Kayu. Bahan untuk
bagian bawah meliputi aliri, aratèng, pattolo riawa; bagian
tengah meliputi parè, tanebba, pattolo riase; dan bagian atas meliputi aju
lekkè, barakkapu, patteppo barakkapu, dan aju te. Untuk itu,
sebelum dilicinkan dengan menggunakan serut, bahan-bahan untuk kerangka ini
biasanya direndam dalam air sungai atau rawa-rawa dalam waktu berminggu-minggu,
yang dalam istilah Bugis disebut ibellang. Hal ini bertujuan agar
bahan-bahan tersebut menjadi kuat dan padat sehingga tidak mudah dimakan rayap
atau serangga lainnya selama rumah tersebut ditempati.
1.
Pembuatan Aliri (Tiang)
Pembuatan aliri dimulai dari membuat aliri posi bola (tiang
pusat rumah). Posisi tiang pusat rumah ini terletak pada baris ketiga dari
depan dan baris kedua dari samping kiri. Posi bola ini menyimbolkan
wanita, yaitu sebagai pemegang kendali dalam rumah tangga. Oleh karena itu,
kayu yang digunakan tidak boleh asal pilih. Bagian penting lain yang perlu
diperhatikan ketika memilih kayu untuk posi bola adalah pasu,
yaitu bekas cabang dari pohon itu. Dalam keyakinan orang Bugis, pasu
tersebut dapat mendatangkan manfaat ataupun malapetaka bagi penghuninya.
Menurut Robinson (2005: 294), sebagian besar pasu mengarah kepada
hal-hal negatif yang dapat mendatangkan malapeta.
Di antara pasu yang mendatangkan manfaat adalah pasu
parekkuseng, yang berarti gadis-gadis di rumah itu mudah mendapat jodoh,
dan pasu cabberu (tersenyum), yaitu membuat penghuni senantiasa
bergembira. Adapun pasu yang membawa malapetaka di antaranya: pasu
wuju (mayat), rumah tersebut sering menyebabkan kematian; pasu tomalasa
(orang sakit), menyebabkan penghuni sering sakit; pasu garèppu
(menghancurkan), menyebabkan tuan rumah sakit-sakitan; dan pasu panga
(pencuri), menyebabkan rumah tersebut dimasuki pencuri (Mardanas, dkk., (ed.),
1985: 42).
2.
Pembuatan Tiang Pakka (Cabang)
Tiang pakka atau cabang adalah tiang yang berfungsi sebagai
penyangga tangga depan. Tiang ini menyimbolkan laki-laki, yaitu sebagai pencari
nafkah yang setiap hari harus melewati tangga dan pintu depan. Setelah kedua
tiang tersebut selesai, maka dilanjutkan dengan pembuatan tiang-tiang lainnya
yang berjumlah sekitar 20 buah untuk bangunan Bola (rumah orang biasa).
Deretan tiang ke samping dan ke belakang masing-masing berjumlah lima buah. Jarak
deretan tiang ke belakang harus lebih besar daripada deretan tiang yang ke
samping. Itulah sebabnya, meskipun jumlah tiang ke samping dan ke kanan sama,
rumah ini tetap berbentuk persegi empat panjang.
3.
Pembuatan Parewa Mallepang
Parewa mallepang adalah bahan-bahan yang berbentuk pipih, misalnya arateng, parè,
pattolo, aju lekkè, pattepo barakkapu, tanèbba, aju te, dan termasuk pula
balok-balok kecil. Oleh karena membuat parewa mallepang memerlukan
tenaga yang banyak, maka si pemilik rumah biasanya mengundang sanak saudara
atau tetangga dalam acara mappakkatang, yaitu melicinkan kayu dengan
menggunakan serut. Namun, dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih,
kini pekerjaan ini hanya dilakukan oleh para tukang dengan menggunakan mesin
serut.
4.
Mappattama Aratèng dan Patttolo
Mappattama aratèng dan patttolo, yaitu merangkai kerangka rumah dengan cara
memasukkan aratèng dan pattolo pada tiang-tiang yang telah
dilubangi, dan semuanya harus dimulai dari posi bola. Yang perlu
diperhatikan dalam tahap ini adalah semua pangkal kayu untuk aratèng harus
berada di depan, sedangkan untuk pangkal kayu pattolo harus berada di
samping kanan.
5.
Mappatettong Bola (Mendirikan
Kerangka Rumah)
Untuk mendirikan kerangka rumah, si pemilik rumah harus mengundang sanak
keluarga dan tetangga karena pekerjaan ini memerlukan tenaga yang banyak.
Mendirikan kerangka rumah harus dimulai dari deretan tiang di mana terdapat posi
bola yang dipimpin oleh Sanro Bola, dan kemudian disusul oleh deretan
tiang-tiang lainnya. Setelah itu, mulailah dipasang pattolo riawa dan pattolo
riase untuk menahan deretan tiang agar tidak rebah. Setelah kerangka rumah
berdiri, maka dipasanglah barakkapu, yaitu balok kecil-kecil yang
merupakan lantai rakkeang. Kemudian disusul dengan pemasangan kerangka
tempat meletakkan atap, dan atap rumah.
6.
Pemasangan Pelengkap Rumah
Setelah kerangka rumah berdiri, maka
proses pembuatan rumah dilanjutkan dengan pemasangan pelengkap rumah dan
ornamen-ornamen lainnya agar menjadi sebuah rumah yang layak dan aman untuk
ditempati, di antaranya:
- Addeneng, yaitu
tangga sebagai jalan untuk masuk ke rumah. Menurut tempatnya, addeneng dibagi
menjadi tiga, yaitu addeneng pangolo (tangga depan) sebagai jalan
utama masuk ke dalam rumah; addeneng monri (tangga belakang)
sebagai jalan alternatif bagi penghuni rumah jika ada urusan di belakang
rumah; dan addeneng rakkeang (tangga loteng) sebagai jalan naik ke
loteng untuk menyimpan hasil panen. Addeneng rumah bangsawan (Saoraja)
biasanya menggunakan luccureng, yaitu tempat berpegang ketika akan
naik atau turun dari rumah. Bagi orang Bugis, kayu cendana tidak boleh
dijadikan tangga, karena dianggap rajanya kayu yang tidak boleh diinjak.
- Tanèbba,
yaitu balok kecil-kecil yang disusun sejajar dengan pattolo dan
berfungsi sebagai dasar lantai.
- Dapara,
yaitu lantai rumah yang biasanya terbuat dari kayu (papan) dan bambu yang
biasa disebut salima (bambu yang telah dibelah kecil-kecil).
- Rènring,
yaitu dinding yang biasanya terbuat dari kayu atau papan (katabang),
bambu (dèdde), dan daun kelapa atau nipah (addada). Menurut
tempatnya, rènring dibagi menjadi empat bagian, yaitu rènring
pangolo (dinding depan), rènring uluang (dinding hulu,
terletak di bagian kepala saat tidur), rènring monri (dinding
belakang), dan rènring tamping (dinding hilir, terletak di bagian
kaki saat tidur).
- Tangè, yaitu
pintu yang digunakan sebagai jalan masuk/keluar rumah. Pintu ini
menurut tempatnya terdiri dari dua, yaitu pintu depan dan pintu belakang.
- Tellongèng, yaitu
jendela yang digunakan untuk melihat keluar rumah dan sebagai ventilasi
rumah. Jendela ini terletak pada dinding dan diapit dua buah tiang.
4. Bagian-Bagian Rumah Panggung Kayu
Secara garis
besar, Rumah Panggung Kayu dapat digolongkan menjadi dua golongan, yaitu secara
spasial vertikal dan spasial horizontal. Secara spasial vertikal, Rumah
Panggung Kayu digolongkan menjadi:
- Rakkeang, yaitu
bagian atas rumah yang berada di bawah atap atau langit-langit (eternit).
Bagian atau ruang ini biasanya digunakan untuk menyimpan hasil panen
dan benda-benda pusaka.
- Alè bola,
yaitu badan rumah yang terdiri dari lantai dan dinding, yang terletak
antara lantai dan loteng. Pada bagian ini dibuat sekat-sekat sehingga terbentuk
ruang-ruang khusus seperti ruang tamu, ruang tidur, dapur, dan lain-lain.
- Awa bola
atau kolong rumah, yaitu bagian rumah yang berada di antara lantai dengan
tanah. Bagian ini biasanya digunakan untuk menyimpan alat-alat mata
pencaharian dan untuk berternak unggas, seperti ayam dan itik.
Kerangka Bola Ogi secara spasial vertikal tampak dari depan
Dari ketiga bagian rumah tersebut, alè bola atau badan rumah
merupakan bagian yang terpenting dari Rumah Panggung Kayu, karena bagian ini
merupakan tempat tinggal dan melakukan aktivitas sehari-hari. Maka secara
spasial horizontal, bagian alè bola ini dibagi berdasarkan lontang atau
lattè (petak) menjadi tiga bagian, yaitu:
- Lontang risaliwèng,
yaitu bagian depan yang berfungsi sebagai tempat menerima tamu, tempat
tidur tamu (biasanya dibuatkan sebuah kamar khusus), tempat bermusyawarah,
dan tempat membaringkan mayat sebelum dikebumikan. Sebagai tempat
berkomunikasi dengan orang luar, biasanya ruang ini dilengkapi dengan
kursi atau sofa dan perabot rumah tangga. Foto-foto keluarga juga dipajang
di ruangan untuk menambah keindahan dan kenyamanan tamu.
- Lontang ritèngngah, yaitu
ruang tengah yang berfungsi sebagai tempat tidur kepala keluarga bersama
isteri dan anak-anaknya yang belum dewasa. Ruang ini sifatnya sangat
kekeluargaan karena di ruangan inilah terjadi hubungan sosial antara
sesama anggota keluarga.
- Lontang rilalèng, yaitu
ruang belakang yang berfungsi sebagai tempat tidur anak gadis,
nenek/kakek, atau anggota keluarga yang dianggap perlu perlindungan atau
perawatan dari seluruh keluarga.
Selain ketiga bagian atau ruang-ruang tersebut, rumah tradisional Bugis
biasanya ditambahkan ruang khusus, seperti jongke/dapurang (dapur), tamping
(serambi), dan lego-lego (teras). Jongke adalah ruang
tambahan khusus yang dibuat untuk tempat memasak, dan penyimpanan peralatan
rumah tangga. Di ruangan ini biasanya juga dibuat sebuah kamar kecil untuk
keluarga. Ruangan ini terletak di bagian belakang rumah induk. Tamping
adalah ruang tambahan di bagian samping kiri dan kanan rumah induk dengan
bentuk memanjang ke belakang, yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan
barang-barang atau hasil panen. Sedangkan lego-lego adalah ruang
tambahan yang dibuat di depan rumah induk. Ruang tambahan ini berfungsi sebagai
tempat keluarga bersenda gurau dan tempat duduk tamu sebelum dipersilakan masuk
ke dalam rumah.
5.
Ragam Hias dan Ornamen
Ragam hias pada Rumah Panggung Kayu tidak hanya sebagai perhiasan,
tetapi juga mempunyai simbol status sosial bagi pemiliknya dan mengandung
nilai-nilai filosofis yang tinggi. Seperti halnya rumah-rumah tradisional pada
umumnya, ragam hias rumah tradisional ini mengambil pola dasar dari corak alam,
flora, dan fauna. Ragam hias flora yang paling menonjol pada rumah tradisional
Bugis adalah bunga parenreng, artinya bunga yang menarik. Jenis bunga
ini hidup dengan cara melata dan menjalar ke mana-mana bagai tak ada
putus-putusnya. Hal ini mengandung makna bahwa si penghuni rumah akan mendapat
rezeki yang tidak ada putus-putusnya. Ragam hias ini biasanya ditempatkan pada
jendela, induk tangga, dan tutup bubung (timpak laja). Penempatan ragam
hias ini pada tempat-tempat yang mudah dilihat dimaksudkan sebagai penguat
keyakinan bagi si penghuni rumah, bahwa rezeki akan terus mengalir jika mereka
senantiasa berusaha (Mardanas, dkk., (ed.), 1985: 55-56).
Ragam hias fauna yang menonjol pada rumah tradisional Bugis terdapat
tiga macam, yaitu ragam hias ayam jantan, kepala kerbau, dan naga. Ragam hias
ayam jantan merupakan simbol keuletan dan keberanian, sedangkan kepala kerbau
adalah simbol kekayaan dan ketinggian status sosial pemiliknya. Ragam hias
kepala kerbau ini biasanya terdapat pada rumah raja/bangsawan (Saoraja).
Adapun ragam hias bentuk naga merupakan simbol wanita yang lemah lembut tapi
memiliki kekuatan dahsyat (http://syahriartato.wordpress.com). Bentuk ragam hias fauna ini pada umumnya
ditempatkan pada bubungan atap rumah atau timpak laja.
Ragam hias Saoraja dengan corak ayam jantan
6.
Nilai-Nilai
Nilai-nilai yang terkandung dalam arsitektur Rumah Panggung Kayu di
antaranya adalah nilai falsafah, status sosial, estetika, dan kesatuan hidup
keluarga. Nilai yang paling mendasar pada konstruksi rumah ini adalah nilai
falsafah, yaitu pandangan kosmologi orang Bugis yang menganggap bahwa
makrokosmos terdiri atas tiga tingkat. Perwujudan dari pandangan ini dapat
dilihat pada konstruksi bangunan rumahnya yang dipandang sebagai mikrokosmos,
yang terdiri dari tiga tingkat yaitu rakkeang, alè bola, dan awa bola.
Mereka beranggapan bahwa menjaga keharmonisan makrokosmos dengan mikrokosmos
niscaya akan mendatangkan ketenangan, kesejahteraan, dan kedamaian.
Nilai status sosial pada bangunan Rumah Panggung Kayu dapat dilihat pada
bentuk timpak laja atau tutup bubungan rumahnya. Bentuk tutup bubungan
rumah bangsawan (Saoraja) bertingkat-tingkat, sedangkan bubungan rumah
rakyat biasa (Bola) bentuknya polos. Perbedaan lain juga dapat dilihat
dari bentuk tangga, di mana tangga rumah bangsawan memiliki luccureng
(tempat berpegang), sedangkan tangga rumah orang biasa tidak ada. Demikian pula
pada ukuran rumah, di mana rumah bangsawan umumnya lebih besar daripada
rumah orang biasa. Perbedaan-perbedaan tersebut menunjukkan bahwa di dalam
masyarakat orang Bugis terdapat perbedaan status sosial.
Nilai yang tak kalah menariknya dari bangunan Rumah Panggung Kayu ini
adalah nilai estetikanya. Bentuknya persegi empat panjang dan ditopang oleh
tiang-tiang yang diatur rapi. Seluruh sisi-sisinya dibalut dinding-dinding dan
dilengkapi dengan jendela, dan bagian atasnya ditutup dengan atap yang
berbentuk prisma. Nilai estetika lainnya terdapat pada kesatuan dan keserasian
pelengkapnya. Hal ini terlihat pada keserasian antara besar tiang dengan tebal pattolo
dan aratèng, antara tinggi kolong dengan tinggi dindingnya, maupun
keserasian antara besar badan rumah dengan tinggi puncaknya. Selain itu, rumah
tradisional Bugis juga dilengkapi dengan ragam hias yang meliputi corak alam,
flora, dan fauna, yang semuanya memiliki nilai estetika dan arti simbolik.
Bangunan rumah tradisional Bugis ini juga mengandung nilai kesatuan
hidup keluarga, yaitu kesatuan hidup suami istri dalam berumah tangga. Bagi
orang Bugis, sebuah rumah akan dianggap sempurna jika memiliki dua tiang utama,
yaitu tiang posi bola dan tiang pakka. Tiang posi bola
menyimbolkan wanita (ibu rumah tangga) yang bertugas menyimpan dan mengelola
semua nafkah yang diperoleh suami, serta menjaga keharmonisan keluarga.
Sementara tiang pakka sebagai sandaran tangga menyimbolkan laki-laki (kepala
rumah tangga) yang bertugas memikul tanggung jawab keluarga, yakni mencari
nafkah. Oleh karena itu, jika kepala rumah tangga ingin menaikkan atau
memasukkan bahan kebutuhan rumah tangga ke dalam rumah, maka ia harus melalui
tangga depan.
7.
Penutup
Arsitektur Rumah Panggung Kayu merupakan perwujudan nilai-nilai yang
dianut dan dipelihara oleh masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan. Nilai-nilai
tersebut antara lain adalah nilai falsafah hidup tentang kosmologi, nilai
sosial, nilai estetika, dan nilai tatanan hidup berumah tangga. Sebagai hasil
karya, rumah tradisional Bugis ini niscaya akan mengalami perubahan. Di daerah
perkotaan, arsitektur rumah ini cenderung mengalami perubahan, baik karena
pengaruh dari luar maupun bentuk topografi tanah di kota yang relatif sempit.
Meski demikian, rumah-rumah di perkotaan masih memperlihatkan nilai arsitektur
Bugis, misalnya masih menggunakan timpak laja atau tutup bubungan untuk
memberi identitas sosial bagi penghuninya. Hal ini membuktikan bahwa
nilai-nilai yang terkandung dalam arsitektur Rumah Panggung Kayu masih mampu
bertahan hingga zaman modern ini.
(Samsuni/bdy/01/01-10)
Referensi
- Elizabeth Morrel. 2005.
“Simbolisme, ruang, dan tatanan sosial”, dalam Tapak-tapak waktu:
kebudayaan, sejarah, dan kehidupan sosial di Sulawesi Selatan.
Makassar: ININNAWA.
- Izarwisma Mardanas, dkk.
1985. Arsitektur tradisional daerah Sulawesi Selatan. Ujung
Pandang: Proyek Inventarisassi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah
Departemen Pendidikan dan Kebudayan.
- Kathryn Robinson. 2005.
“Tradisi membangun rumah di Sulawesi Selatan”, dalam Tapak-tapak waktu:
kebudayaan, sejarah, dan kehidupan sosial di Sulawesi Selatan. Makassar:
ININNAWA.
- Nurhayati Djamas. 1998. Agama
orang Bugis. Jakarta: Badan dan Pengembangan Agama Departemen Agama
RI.
Sumber
dari internet
- “Arsitektur tradisional
Sulawesi Selatan pusaka warisan budaya lokal Indonesia”, tersedia dalam http://syahriartato.wordpress.com,
diakses pada tanggal 18 Januari 2010.
- “Mengenal budaya Bugis,”
tersedia dalam http://www.sabahforum.com,
diakses pada tanggal 18 Januari 2010.
- Napalis, “Arsitektur rumah
tradisional Bugis,” tersedia dalam http://id.shvoong.com/books/,
diakses pada tanggal 18 Januari 2010.
- http://www.flickr.com/search/?q=rumah+bugis
- http://www.kaskus.us/showthread.php?t=2549888