Makalah Perbandingan Pemikiran dan Tekhnologi Tentang Sifat Sifat Tuhan
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Adanya perbedaan pendapat
dalam aliran-aliran ilmu kalam mengenai kekuatan akal, fungsi wahyu, dan kebebasan
atau kehendak dan perbuatan manusia telah memunculkan pula perbedaan pendapat
tentan kehendak mutlak dan keadilan Tuhan.
Persoalan
lain yang menjadi bahan perdebatan di antara aliran-aliran kalam adalah masalah
sifat-sifat Tuhan. Tarik –menarik di antara aliran-aliran kalam dalam
menyelesaikan dalam persoalan ini, tampaknya dipicu oleh truth claim
yang di bangun atas dasar kerangka berfikir masing-masing dan klaim menauhidkan
Allah. Tiap –tiap aliran mengaku bahwa fahamnya dapat menyucikan dan memelihara
keesaan Allah.
Faham keadilan Tuhan, dalam
pemikiran kalam, bergantung pada pandangan, apakah manusia mempunyai kebebasan
dalam berkehendak dan berbuat? Ataukah manusia itu hanya terpaksa saja?
Perbedaan pandangan terhadap bebas atau tidaknya manusia ini menyebabkan
perbedaan penerapan makna keadilan, yang sama-sama disepakati mengandung arti
meletakkan sesuatu pada tempatnya.
Aliran kalam rasional yang
menekankan kebebasan manusia cenderung memahami keadilan Tuhan dari sudut
kepentingan, sedangkan aliran kalam tradisional yang memberi tekanan pada
ketidakbebasan manusia di tengah kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, cenderung
memahami keadilan tuhan d ari sudut Tuhan sebagai alam semesta.
Di samping
faktor-faktor di atas, perbedaan aliran-aliran kalam dalam persoalan kehendak
mutlak dan keadilan Tuhan ini didasari pula oleh perbedaan pehaman terhadap
kekuatan akal dan fungsi wahyu. Bagi aliran yang berpendapat bahwa akal
mempuyai daya yang besar. Kekuasaan Tuhan pada hakikatnya tidak lagi bersifat
mutlak semutlak-mutlaknya. Adapun aliran yang berpendapat sebaliknya
berpendapat bahwa kekuasaan dan kehendak Tuhan tetap bersifat mutlak.
BAB II
PEMBAHASAN
Tentang Sifat –Sifat Tuhan
Pertentangan paham antara kaum mu’tazilah
dengan kaum asy’ariyah dalam masalah ini berkisar sekitar persoalan
apakah Tuhan mempunyai sifat atau tidak.
Mu’tazilah
Kaum mu’tazilah mencoba
menyelesaikan persoalan ini dengan mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai
sifat. Definisi mereka tentang Tuhan,
sebagaimana dijelaskan oleh al-asy’ari,
bersifat negatif. Tuhan tidak mempunyai pengetahuan, tidak mempunyai kekuasaan,
tidak mempunyai hajat dan sebagainya. Ini tidak berarti bahwa Tuhan bagi mereka
tidak mengetahui, tidak berkuasa, tidak hidup dan sebagainya. Tuhan tetap
mengetahui, berkuasa,dan sebagainya, tetapi mengetahui, berkuasa, dan
sebagainya tersebut bukanlah sifat dalam arti kata sebenarnya.[1][1]
Pandangan tokoh-tokoh mu’tazilah tentang
sifat-sifat Tuhan :
Arti “Tuhan mengetahui“ kata Abu
al-huzail,ialah Tuhan mengetahui dengan perantara pengetahuan dan
pengetahuan tersebut adalah Tuhan sendiri. Dengan demikian, pengetahuan Tuhan
sebagaimana dijelaskan oleh Abu huzail adalah Tuhan sendiri, yaitu dzat atau
esensi Tuhan.
Arti “Tuhan mengetahui dengan esensinya”
kata al-jubba’i, ialah untuk mengetahui, Tuhan tidak berhajat kepada
suatu sifat dalam bentuk pengetahuan atau keadaan mengetahui.
Sebaliknya Abu hasyim berpendapat
bahwa arti “Tuhan mengetahui melalui esensinya”, ialah Tuhan mempunyai keadaan
mengetahui.
Asy’ariyah
Kaum Ay’ariyah membawa
penyelesaian yang berlawanan dengan mu’tazilah di atas. Mereka dengan tegas
mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat. Menurut al-asy’ari sendiri tidak dapat
di ingkari bahwa Tuhan mempunyai sifat karena perbuatan-perbuatanya, disamping
menyatakan Tuhan mengetahui, menghendaki, berkuasa, dan sebagainya juga
menyatakan bahwa Tuhan mempunyai pengetahuan, kemauan, dan daya.
Dan menurut al- baghdadi, terdapat
konsesus di kalangan kaum asy’ariah bahwa daya, pengetahuan, hayat, kemauan,
pendengaran, penglihatan dan sabda Tuhan adalah kekal.
Sifat –sifat ini kata al- ghazali,
tidaklah sama dengan, malahan lain dari, esensi Tuhan, tetapi berwujud dalam
esensi itu sendiri.
Uraian –uraian ini juga membawa paham
banyak yang kekal, dan untuk mengatasinya kaum asy’ariah mengatakan bahwa
sifat-sifat itu bukanlah Tuhan, tetapi tidak pula lain dari Tuhan.
Maturidiyah
Kaum maturidiyah golongan bukhara, karena
juga mempertahankan kekuasaan mutlak Tuhan, berpendapat bahwa Tuhan mempunyai
sifa-sifat. Persoalan banyak yang kekal, mereka selesaikan dengan mengatakan
bahwa sifat-sifat Tuhan kekal melalui kekekalan sifat-sifat itu sendiri, juga
dengan mengatakan bahwa Tuhan bersama-sama sifat-Nya kekal,tetapi sifat-sifat
itu sendiri tidaklah kekal.
Sedangkan kaum maturidiyah golongan
samarkand dalam hal ini kelihatanya tidak sepaham dengan mu’tazilah karena
al- matuiridi mengatakan bahwa sifat bukanlah Tuhan tetapi pula tidak lain dari
Tuhan.
Tentang kehendak mutlak dan keadilan
Tuhan
Pangkal persoalan kehendak mutlak dan
keadilan Tuhan adalah keberadaan Tuhan sebagai pencipta alam semesta. Sebagai
pencipta alam, Tuhan haruslah mengatasi segala yang ada, bahkan harus melampaui
segala aspek yang ada itu. Ia adalah eksisten[4]si
yang mempunyai kehendak dan kekuasaan yang tidak terbatas karena tidak ada
eksistensi lain yang mengatasi dan melampaui eksistensi-Nya.
Mu’tazilah
Kaum mu’tazilah
mengatakan bahwa kekuasaan Tuhan sebenarnya tidak mutlak lagi. Ketidak mutlakan
kekuasaan Tuhan itu disebabkan oleh kebebasan yang diberikan Tuhan terhadap
manusia srta adanya hukum alam ( sunatullah ) yang menurut Al- Qur’an. Oleh
sebab itu, dalam pandangan mu’tazilah kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan
berlaku dalam jalur hukum-hukum yang tersebar di tengah alam semesta.
Selanjutnya, aliran mu’tazilah mengatakan, sebagaimana yang dijelaskan oleh Abd
Al-jabbar bahwa keadilan Tuhan mengandung arti Tuhan tidak berbuat dan tidak
memilih yang buruk, tidak melalaikan kewajiban-kewajiban-Nya kepada manusia,
dan segala perbuatan-Nya adalah baik.
Asy’ariyah
Kaum asy’ariyah , karena
percaya pada kemutlakan kekuasaan Tuhan, berpendapat bahwa perbuatan Tuhan
tidak mempunyai tujuan. Yang mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu semata-mata
adalah kekuasaan dan kehendak mutlak-Nya dan bukan karena kepentingan manusia
atau tujuan yang lain. Mereka mengartikan eadilan dengan menempatkan sesuatu
pada tempat yang sebenarnya, yaitu mempunyai kekuasaan mutlak terhadap harta
yang dimiliki serta mempergunakanya sesuai dengan kehendak-Nya.
Karena
menekankan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, aliran asy’ariyah memberi makna
keadilan keadilan Tuhan dengan pemahaman bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak
terhadap makhluk-Nya dan dapat berbuat sekehendak hati-Nya.
Maturidiyah
Dalam memahami kehendak mutlak dan
keadilan Tuhan, aliran ini terpisah menjadi dua, yaitu maturidiyah samarkand
dan maturidiyah bukhara. Pemisahan ini disebabkan perbedaan keduanya dalam menentukan
porsi penggunaan akal dan pemberian batas terhadap kekuasaan mutlak Tuhan. Kaum
maturidiyah samarkand mempunyai posisi yang lebih dekat kepada
mu’tazilah,tetapi kekuatan akal dan batasan yang diberikan kepada kekuasaan
mutlak Tuhan lebih kecil daripada yang diberikan aliran mu’tazilah.
Kehendak mutlak Tuhan, menurut maturidiyah
samarkand,dibatasi oleh keadilan Tuhan. Tuhan adil mengandung arti bahwa
segala perbuatan-Nya adalah baik dan tidak mampu untuk berbuat buruk serta
tidak mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia.
Adapun
maturidiyah bukhara berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak.
Tuhan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya dan menentukan segala-galanya.
Tidak ada yang dapat menentang atau memaksa Tuhan dan tidak ada larangan bagi
Tuhan.
Dengan demikian dapat diambil pengertian
bahwa keadilan Tuhan terletak pada kehendak mutlak-Nya, tak ada satu dzat pun
yang lebih berkuasa daripada-Nya dan tidak ada batasan-batasan bagi-Nya. Aliran
maturidiyah samarkand lebih dekat dekat dengan asy’ariyah.
Lebih jauh lagi, maturidiyah bukhara
berpendapat bahwa ketidak adilan Tuhan haruslah di pahami dalam konteks
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Secara jelas, al- bazdawi mengatakan bahwa
Tuhan tidak mempunyai tujuan dan tidak mempunyai unsur pendorong untuk
menciptakan kosmos, Tuhan berbuat sekehendak-Nya sendiri. Ini berarti, bahwa
alam tidak diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia atau dengan kata lain,
konsep keadilan Tuhan bukan diletakkan untuk kepentingan manusia, tetapi pada
Tuhan sebagai pemilik mutlak.
KESIMPULAN
Adanya
perbedaan pendapat dalam aliran-aliran ilmu kalam mengenai kekuatan akal,
fungsi wahyu, dan kebebasan atau kehendak dan perbuatan manusia telah
memunculkan pula perbedaan pendapat tentan kehendak mutlak dan keadilan Tuhan.
Persoalan lain yang menjadi bahan perdebatan di antara aliran-aliran kalam
adalah masalah sifat-sifat Tuhan.
Semua
uraian tersebut di atas menunjukkan bahwa dalam faham mu’tazilah kekusaan
mutlak tuhan mempunyai batasan-batasan. Adapun kaum maturidi golongan bukhara’
menganut pendapat bahwa tuhan mempunyai kekuasaan mutlak. Maturidiah golongan
samarkan, tidaklah sekeras golongan bukhara’. Maka dari itu tidak perlu
ditegaskan bahwa yang menentukan batasan-batasan itu bukanlah dzat selain dari
tuhan, karena diatas tuhan tidak ada suatu dzatpun yang lebih berkuasa. Tuhan
adalah diatas segala-galanya. Batasan-batasan itu di tentukan oleh tuhan
sendiri dan dengan kemauan-Nya sendiri pula
DAFTAR PUSTAKA
Muh.amirudin.dasar
dasar ilmu kalam.pustaka abadi.jakarta.1998
Abd.aziz.ilmu
kalam.bintang usaha.surabaya.2004
Azhari
nata.ilmu kalam.sarana ilmu.bandung.2001