Makalah UT Konsep Dasar Ilmu Pengetahuan Sosial
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pertama kali Social Studies
dimasukkan secara resmi ke dalam kurikulum sekolah adalah di Rugby (Inggris)
pada tahun 1827, atau sekitar setengah abad setelah Revolusi Industri (abad
18), yang ditandai dengan perubahan penggunaan tenaga manusia menjadi tenaga
mesin. Alasan dimasukannya social studies (IPS) ke dalam kurikulum sekolah
karena berbagai ekses akibat industrialisasi di berbagai negara di belahan
dunia juga terjadi, di antaranya perubahan perilaku manusia akibat berbagai
kemajuan dan ketercukupan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
mendorong industrialisasi telah menjadikan bangsa semakin maju dan modern,
tetapi juga menimbulkan dampak perilaku sosial yang kompleks. Para ahli ilmu
sosial dan pendidikan mengantisipasi berbagai kemungkinan ekses negatif yang
mungkin timbul di masyarakat akibat dampak kemajuan tersebut. Sehingga untuk
mengatasi berbagai masalah sosial di lingkungan masyarakat tidak hanya
dibutuhkan kemajuan ilmu dan pengetahuan secara disipliner, tetapi juga dapat
dilakukan melalui pendekatan program pendidikan formal di tingkat sekolah.
Program pendidikan antar disiplin (interdiscipline)
di tingkat sekolah merupakan salah satu pendekatan yang dianggap lebih efektif
dalam rangka membentuk perilaku sosial siswa ke arah yang diharapkan. Bahkan
program pendidikan ini di samping sebagai bentuk internalisasi dan transformasi
pengetahuan juga dapat digunakan sebagai upaya mempersiapkan sumberdaya manusia
yang siap menghadapi berbagai tantangan dan problematika yang makin komplek di
masa datang.
Oleh karenanya latar belakang perlu
dimasukkannya Social studies dalam kurikulum sekolah di beberapa negara
lain juga memiliki sejarah dan alasan yang berbeda-beda. Amerika Serikat
berbeda dengan di Inggris karena situasi dan kondisi yang menyebabkannya juga berbeda.
Penduduk Amerika Serikat terdiri dari berbagai macam ras di antaranya ras
Indian yang merupakan penduduk asli, ras kulit putih yang datang dari Eropa dan
ras Negro yang didatangkan dari Afrika untuk dipekerjakan di
perkebunan-perkebunan negara tersebut.
Memandang perlunya pendidikan IPS
bagi setiap warga negara Apresiasi terhadap social studies (pendidikan
IPS) terus bertambah dari berbagai negara, terutama di Amerika, Inggris, dan
berbagai negara di Eropa, dan baru berkembang ke berbagai negara di Australia
dan Asia termasuk Indonesia.
Latar belakang dimasukkannya bidang
studi IPS ke dalam kurikulum sekolah di Indonesia juga hampir sama dengan di
beberapa negara lain, di antaranya situasi kacau dan pertentangan politik
bangsa, kondisi keragaman budaya bangsa (multikultur) yang sangat rentan
terjadinya konflik. Sehingga, sebagai akibat konflik dan situasi nasional
bangsa yang tidak stabil, terlebih adanya pemberontakan G30S/PKI dan berbagai
masalah nasional lainnya di pandang perlu memasukan program pendidikan sebagai
propaganda dan penanaman nilai-nilai sosial budaya masyarakat, berbangsa dan
bernegara ke dalam kurikulum sekolah.
Oleh karenanya, dalam beberapa
pertemuan ilmiah dibahas Istilah IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) sebagai program
pendidikan tingkat sekolah di Indonesia, dan pertama kali muncul dalam Seminar
Nasional tentang Civic Education tahun 1972 di Tawangmangu Solo Jawa
Tengah. Dalam laporan seminar tersebut, muncul 3 istilah dan digunakan secara
bertukar pakai, yaitu :
1. Pengetahuan Sosial
2. Studi Sosial
3. Ilmu Pengetahuan Sosial
Konsep IPS untuk pertama kalinya
masuk ke dunia persekolahan di Indonesia pada tahun 1972-1973 yang diujicobakan
dalam Kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PSSP) IKIP Bandung.
Kemudian secara resmi dalam kurikulum 1975 program pendidikan tentang masalah
sosial dipandang tidak cukup diajarkan melalui pelajaran sejarah dan geografi
saja, maka dilakukan reduksi mata pelajaran di tingkat SD-SMA untuk beberapa
mata pelajaran ilmu sosial yang serumpun digabung ke dalam mata pelajaran IPS.
Oleh karena itu, pemberlakuan istilah IPS (social studies) dalam
kurikulum 1975 tersebut, dapat dikatakan sebagai kelahiran IPS secara resmi di
Indonesia.
Sejak pemerintahan Orde Baru keadaan
tenang, pemerintah melancarkan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).
Pada masa Repelita I (1969-1974) Tim Peneliti Nasional di bidang pendidikan
menemukan lima masalah nasional dalam bidang pendidikan. Kelima masalah
tersebut antara lain:
1. Kuantitas, berkenaan dengan
perluasan dan pemerataan kesempatan belajar.
2. Kualitas, menyangkut peningkatan
mutu lulusan
3. Relevansi, berkaitan dengan
kesesuaian sistem pendidikan dengan kebutuhan pembangunan.
4. Efektifitas sistem pendidikan dan efisiensi penggunaan
sumber daya dan dana.
5. Pembinaan generasi muda dalam rangka
menyiapkan tenaga produktif bagi kepentingan pembangunan nasional.
Oleh karena itu, upaya pembangunan
sektor pendidikan oleh pemerintah menjadi prioritas. Program pembangunan
pendidikan bidang sosial semakin ditingkatkan untuk mengatasi dan menanamkan
kewarganegaraan serta cinta tanah air Indonesia. Upaya memasukan materi
ilmu-ilmu sosial dan humaniora ke dalam kurikulum sekolah di Indonesia disajikan
dalam mata pelajaran dan bidang studi/ jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)
secara resmi pada kurikulum 1975. Kurikulum ini merupakan perwujudan dari
perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen,
bertujuan bahwa pendidikan ditekankan pada upaya untuk membentuk manusia
Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan
keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama. Isi
pendidikan diarahkan pada kegiatan mempertinggi kecerdasan dan keterampilan,
serta mengembangkan fisik yang sehat dan kuat. Kurikulum pendidikan 1975
menggunakan pendekatan-pendekatan di antaranya sebagai berikut :
1. Berorientasi pada tujuan
2. Menganut pendekatan integratif
3. Menekankan kepada efisiensi dan
efektivitas dalam hal daya dan waktu.
4. Menganut pendekatan sistem
instruksional yang dikenal dengan Prosedur
5. Pengembangan Sistem Instruksional
(PPSI).
6. Dipengaruhi psikologi tingkah laku
dengan menekankan kepada stimulus respon
dan latihan.
Konsep pendidikan IPS tersebut lalu
memberi inspirasi terhadap kurikulum 1975 yang menampilkan empat profil, yaitu
:
- Pendidikan Moral Pancasila
menggantikan Kewargaan Negara sebagai bentuk pendidikan IPS khusus.
- Pendidikan IPS terpadu untuk SD
- Pendidikan IPS terkonfederasi
untuk SMP yang menempatkan IPS sebagai konsep peyung untuk sejarah,
geografi dan ekonomi koperasi.
- Pendidikan IPS terisah-pisah
yang mencakup mata pelajaran sejarah, ekonomi dan geografi untuk SMA, atau
sejarah dan geografi untuk SPG, dan IPS (ekonomi dan sejarah) untuk SMEA
/SMK..
Konsep pendidikan IPS seperti itu
tetap dipertahankan dalam Kurikulum 1984 yang secara konseptual merupakan
penyempurnaan dari Kurikulum 1975 khususnya dalam aktualisasi materi, seperti
masuknya Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) sebagai materi pokok
PMP. DalamKurikulum 1984, PPKn merupakan mata pelajaran sosial khusus yang
wajib diikuti semua siswa di SD, SMP dan SMU. Sedangkan mata pelajaran IPS diwujudkan
dalam :
1. Pendidikan IPS terpadu di SD kelas
I-VI.
2. Pendidikan IPS terkonfederasi di
SLTP yang mencakup geografi, sejarah dan
ekonomi koperasi.
3. Pendidikan IPS terpisah di SMU yang
meliputi Sejarah Nasional dan Sejarah Umum di kelas I-II; Ekonomi dan Geografi
di kelas I-II; Sejarah Budaya di kelas III program IPS.
Dimensi konseptual mengenai
pendidikan IPS telah berulang kali dibahas dalam rangkaian pertemuan ilmiah,
yakni pertemuan HISPISI pertama di Bandung tahun 1989, Forum Komunikasi
Pimpinan HIPS di Yogyakarta tahun 1991, di Padang tahun 1992, di Ujung Pandang
tahun 1993, Konvensi Pendidikan kedua di Medan tahun 1992. Salah satu materi
yang selalu menjadi agenda pembahasan ialah mengenai konsep PIPS. Dalam
pertemuan Ujung Pandang, M. Numan Soemantri, pakar dan ketua HISPISI menegaskan
adanya dua versi PIPS sebagaimana dirumuskan dalam pertemuan di Yogyakarta,
yaitu :
a. Versi PIPS untuk Pendidikan Dasar
dan Menengah. PIPS adalah penyederhanaan, adaptasi dari disiplin Ilmu-ilmu
Sosial dan humaniora, serta kegiatan dasar manusia yang duorganisir dan
disajikan secara ilmiah dan pedagogis/psikologis untuk tujuan pendidikan.
b.
Versi PIPS
untuk Jurusan Pendidikan IPS-IKIP. PIPS adalah seleksi dari disiplin Ilmu-ilmu
Sosial dan humaniora serta kegiatan dasar manusia yang diorganisir dan
disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan.
PIPS untuk tingkat perguruan tinggi
pendidikan Guru IPS (eks IKIP, FKIP, STKIP),direkonseptualisasikan sebagai
pendidikan disiplin ilmu, sehingga menjadi Pendidikan Disiplin Ilmu Pengetahuan
Sosial, seperti pendidikan Geografi, Pendidikan Ekonomi, Pendidikan
Kewarganegaraan, Pendidikan sosiologi, Pendidikan Sejarah dsb).
Bentuk keseriusan ahli pendidikan
dan ahli ilmu-ilmu sosial khususnya mereka yang memiliki komitmen terhadap social
studies atau pendidikan IPS sebagai program pendidikan di tingkat sekolah,
maka mereka berusaha untuk memasukkan ilmu-ilmu sosial ke dalam kurikulum
sekolah lebih jelas lagi. Namun karena tidak mungkin semua disiplin ilmu sosial
diajarkan di tingkat sekolah, maka kurikulum ilmu sosial itu disajikan secara
terintegrasi atau interdisipliner ke dalam kurikulum IPS (social studies).
Jadi untuk program pendidikan ilmu-ilmu sosial di tingkat pendidikan
dasar dan menengah harus sudah mulai di ajarkan. Program pendidikan dasar di SD
dan SMP penyajiannya secara terpadu penuh, sementara itu untuk pembelajaran IPS
di tingkat SMA/MA dan SMEA penyajiannya bisa dilakukan secara terpisah antar
cabang ilmu-ilmu sosial, tetapi tetap memperhatikan keterhubungannya antara
ilmu sosial yang satu dengan ilmu sosial lainnya, terutama dalam rumpun jurusan
IPS di SMA dan juga di SMEA. Sementara itu, pada tingkat perguruan tinggi
pendidikan ilmu-ilmu sosial disajikan secara terpisah atau fakultatif,
seperti FE, FH, FISIP dsb. Namun untuk pendidikan IPS di FKIP/IKIP/STKIP yang
mempersiapkan calon guru atau mendidik calon guru di tingkat sekolah, maka
pendidikan IPS di berikan secara interdisipliner dan juga secara disipliner.
Secara interdisipliner karena ilmu yang diperoleh nantinya untuk program
pembelajaran untuk usia anak sekolah, dan secara disipliner karena sebagai guru
juga harus menguasai ilmu yang diajarkan.
Bertitik tolak dari pemikiran
mengenai kedudukan konseptual Pendidikan IPS, dapat diidentifikasi sekolah
objek telaah dari system pendidikan IPS, yaitu :
1. Karakteristik potensi dan perilaku
belajar siswa SD, SLTP dan SMU.
2. Karakteristik potensi dan perilaku
belajar mahasiswa FPIPS-IKIP atau JPIPS-
STKIP/FKIP.
3. Kurikulum dan bahan belajar IPS SD,
SLTP dan SMU.
4. Disiplin ilmu-ilmu sosial, humaniora
dan disiplin lain yang relevan.
5. Teori, prinsip, strategi, media
serta evaluasi pembelajaran IPS.
6. Masalah-masalah sosial, ilmu
pengetahuan dan teknilogi yang berdampak sosial.
7. Norma agama yang melandasi dan
memperkuat profesionalisme.
Kurikulum 1994 dilaksanakan secara
bertahap mulai ajaran 1994-1995 merupakan pembenahan atas pelaksanaan kurikulum
1984 setelah memperhatikan tuntutan perkembangan dan keadaan masyarakat saat
itu, khususnya yang menyangkut perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
serta seni, kebutuhan pembangunan dan gencarnya arus globalisasi, dan evaluasi
pelaksanaan kurikulum 1984 itu sendiri. Upaya pembaharuan kurikulum pendidikan
nampak saat diadakannya serangkaian Rapat Kerja Nasional Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan dari tahun 1986 sampai 1989.
Pembenahan kurikulum ini juga didorong oleh amanat GBHN 1988 yang intinya; 1) perlunya diteruskan upaya peningkatan mutu pendidikan di berbagai jenis dan jenjang pendidikan, 2) perlunya persiapan perluasan wajib belajar pendidikan dasar dari enam tahun menjadi sembilan tahun, dan 3) perlunya segera dilahirkan undang-undang yang mengatur tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Pembenahan kurikulum ini juga didorong oleh amanat GBHN 1988 yang intinya; 1) perlunya diteruskan upaya peningkatan mutu pendidikan di berbagai jenis dan jenjang pendidikan, 2) perlunya persiapan perluasan wajib belajar pendidikan dasar dari enam tahun menjadi sembilan tahun, dan 3) perlunya segera dilahirkan undang-undang yang mengatur tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Pada tahun 2004, pemerintah
melakukan perubahan kurikulum kembali yang dikenal dengan Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK). Namun pengembangan kurikulum IPS diusulkan menjadi
Pengetahuan Sosial untuk merespon secara positif berbagai perkembangan
informasi, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Hal ini dilakukan untuk
meningkatkan relevansi program pembelajaran Pengetahuan Sosial dengan keadaan
dan kebutuhan setempat. Di samping itu, khusus dalam kurikulum SD, IPS pernah
diusulkan digabung dengan Pendidikan kewarganegaraan yaitu menjadi pendidikan
kewrganegaraan dan pengetahuan sosial (PKnPS), namun akhirnya kurikulum
disempurnakan ke dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) tahun 2006,
antara IPS dan PKn dipisahkan kembali. Hal ini memperhatikan berbagai masukan
dan kritik ahli pendidikan serta kepentingan pendidikan nasional dan politik
bangsa yaitu perlunya pendidikan kewarganegaraan bangsa, maka antara IPS dan
PKn meskipun tujuan dan kajiannya adalah sama yaitu membentuk warganegara
yang baik, maka PKn tetap diajarkan sebagai mata pelajaran di sekolah secara
terpisah dengan IPS. Jadi wajarlah kalau mata pelajaran PKn hanya ada di
Indonesia, sementara di negara lain disebut Civic education . IPS (social
studies) dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan di Indonesia terus
melakukan beberapa tinjauan dan kritik terutama untuk perbaikan IPS sebagai
program pendidikan ilmu sosial di tingkat sekolah melalui seminar dan lokakarya
serta pertemuan ilmiah bidang IPS lainnya, terutama oleh kelompok pakar HISPISI
(Himpunan sarjana pendidikan ilmu sosial Indonesia) dalam kongresnya di
beberapa tempat di Indonesia.
Mempelajari Konsep dasar IPS berisi
tentang konsep, hakikat, dan karakteristik pendidikan IPS. Dengan mempelajari
materi Konsep dasar IPS ini, diharapkan dapat menjelaskan konsep-konsep IPS
yang berpengaruh terhadap kehidupan masa kini dan masa yang akan datang secara
kritis dan kreatif. Pembahasan materi ini menerapkan pendekatan antar disiplin
yang mengintegrasikan ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Adapun media yang
digunakan adalah bahan ajar cetak dan non cetak (web).
Sebagai guru/calon guru hendaknya
menguasai materi IPS sebagai program
pendidikan. Untuk membantu menguasai
materi tersebut maka dalam Konsep Pendidikan IPS, disajikan pembahasan hal-hal
pokok dan latihan sebagai berikut :
1. konsep pendidikan IPS
2. hakikat pendidikan IPS
3. karakteristik pendidikan IPS
B. TUJUAN
Setelah mempelajari materi Konsep
Pendidikan IPS, diharapkan dapat menjelaskan tentang :
1. Pengertian IPS
2. Sejarah IPS di Indonesia dan di
Negara lain
3. Rasional mempelajari IPS
4. Hakikat pengajaran IPS
5. Tujuan pembelajaran IPS
6. Karakteristik pembelajaran IPS
C. RUMUSAN MASALAH
Adapun masalah-masalah yang akan
dibahas dalam makalah ini adalah :
1. Bagaimana pengertian IPS dan konsep
Pendidikan IPS?
2. Bagaimana sejarah perkembangan IPS
di Indonesia dan di Negara lain?
3. Apakah hakikat pendidikan atau
pengajaran IPS?
4. Apa tujuan dari pembelajaran IPS ?
5. Apa saja Karakteristik pembelajaran
IPS ?
BAB II
PERBEDAAN PENDIDIKAN IPS
mengembangkan keterampilan dalam pendidikan IPS
1. Perbedaan
pendidikan IPS Indonesia dengan Amerika Serikat
Pada awalnya penduduk Amerika
Serikat yang multi ras itu tidak menimbulkan masalah. Baru setelah berlangsung
perang saudara antara utara dan selatan atau yang dikenal dengan Perang Budak
yang berlangsung tahun l861-1865 di mana pada saat itu Amerika Serikat siap
untuk menjadi kekuatan dunia, mulai terasa adanya kesulitan, karena penduduk
yang multi ras tersebut merasa sulit untuk menjadi satu bangsa.
Selain itu juga adanya perbedaan
sosial ekonomi yang sangat tajam. Para pakar kemasyarakatan dan pendidikan
berusaha keras untuk menjadikan penduduk yang multi ras tersebut menjadi merasa
satu bangsa yaitu bangsa Amerika. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan
memasukkan social studies ke dalam kurikulum sekolah di negara bagian
Wisconsin pada tahun 1892. Setelah dilakukan penelitian, maka pada awal abad
20, sebuah Komisi Nasional dari The National Education Association
memberikan rekomendasi tentang perlunya social studies dimasukkan ke
dalam kurikulum semua sekolah dasar dan sekolah menengah di Amerika Serikat.
Adapun wujud social studies ketika lahir merupakan semacam ramuan dari
mata pelajaran sejarah, geografi dan civics.
Jadi Social studies yang dalam istilah Indonesianya
disebut Pendidikan IPS, dalam perjuangannya tentang eksistensi terdapat dalam ”The
National Herbart Society papers of 1896-1897” yang menegaskan bahwa Social
Studies sebagai delimiting the social sciences for pedagogical use (upaya
membatasi ilmu-ilmu sosial untuk kepentingan pedagogik/ mendidik).
Memperhatikan pentingnya social studies bagi generasi muda, istilah IPS
(social studies) ini kemudian mulai digunakan oleh beberapa negara
bagian di Inggris dan Amerika untuk mengembangkan program pendidikan ilmu-ilmu
sosial di tingkat sekolah. Pengertian ini juga dipakai sebagai dasar
dalam dokumen ”Statement of the Chairman of Commitee on Social studies”
yang dikeluarkan oleh comittee on Social Studies (CSS) tahun 1913. Dalam
dokumen tersebut dinyatakan bahwa social studies sebagai specific
field to utilization of social sciences data as a force in the improvement of
human welfare (bidang khusus dalam pemanfaatan data ilmu-ilmu sosial
sebagai tenaga dalam memperbaiki kesejahteraan umat manusia).
Sebagai upaya melestarikan program
pendidikan IPS dalam kurikulum sekolah, maka beberapa kelompok pakar yang
memiliki kepedulian terhadap pendidikan ilmu-ilmu sosial di tingkat sekolah
mengembangkan usahanya agar social studies bisa diaplikasikan untuk
program pendidikan di tingkat sekolah dengan membentuk organisasi profesi social
studies. Kemudian pada tahun 1921, berdirilah ”National Council for the
Social Studies” (NCSS), sebuah organisasi profesional yang secara khusus
membina dan mengembangkan social studies pada tingkat pendidikan
dasar dan menengah serta keterkaitannya dengan disiplin ilmu-ilmu sosial dan
disiplin ilmu pendidikan sebagai program pendidikan syntectic.
Pada waktu berdirinya NCSS hanya
bertugas sebagai organisasi yang akan memaksimalkan hasil-hasil pendidikan bagi
tujuan kewarganegaraan yang sudah dicapai oleh CSS sebelumnya. Sehingga baru
setelah 14 tahun kemudian NCSS mengeluarkan karya berbasis
intelektual-keilmuan. Dalam perkembangannya banyak naskah dan penelitian
tentang social studies, yang mengharapkan perlunya perhatian terhadap
pendidikan anak tentang social studies, dengan harapan dapat membantu
anak didik menjadi warga negara yang baik. Pada pertemuan pertama tahun
1935, lahirlah kesepakatan yang dikeluarkan NCSS dengan menegaskan bahwa “Social
sciences as the core of the curriculum”(kurikulum IPS bersumber dari
ilmu-ilmu sosial).
Pada perkembangan selanjutnya,
terutama setelah berdirinya NCSS, pengertian social studies yang paling berpengaruh
hingga akhir abad 20 adalah definisi yang dikemukakan oleh Edgar Wesley
pada tahun 1937. Wesley menyatakan bahwa “the social studies are the social
sciences simplified for pedagogical purposes”. Definisi ini menjadi lebih
populer saat itu karena kemudian dijadikan definisi “resmi” social studies
oleh “the united states of education’s standard terminology for curriculum
and instruction” hingga NCSS mengeluarkan definisi resmi yang membawa social
studies sebagai kajian yang terintegrasi, dan mencakup disiplin ilmu yang
semakin luas.
Sehingga pada tahun 1993 NCSS
merumuskan social studies sebagai berikut:
Social studies is the integrated
study of the social sciences and humanities to promote civic competence. Within
the school program,social studies provides coordinated,systematic study drawing
upon such diciplines as antrophology, archaeology, economics, geography,
history, law, philosophy, political science, psychology, religion, and
sosiology, as well as appropriate content from the humanities, mathematics, and
natural sciences. The primary purpose of social studies is to help young people
develop the ability to make informed and reasoned decisions for the public good
as citiziens of a culturally diverse,democratic society in an interdependent world.
Sebenarnya
banyak sekali perbedaan antara pendidikan di Jerman dengan Indonesia. Dari sisi
sistem saja, pendidikan itu sudah berbeda. Di Jerman, jenjang pendidikan Pra
Perguruan Tinggi itu hanya ada 2 macam, yaitu pendidikan dasar (Grundschule)
dan pendidikan lanjutan (Gymnasium, Realschule, atau Berufschule).
Kalau di Indonesia, pendidikan Pra Perguruan Tinggi ada 3 macam, yaitu
SD-SMP-SMA. Dari sisi waktu juga berbeda, di Indonesia memerlukan waktu 12
tahun (normal) sebelum ke jenjang Perguruan Tinggi, sedangkan di Jerman butuh
waktu 13 tahun.
Yang ingin saya
bahas bukan masalah “teknis” pendidikan seperti di atas. Saya tertarik dengan
tulisan I Made Wiryana dalam sebuah
milis tentang pendidikan di Jerman. Dia menuliskan bahwa konsep pendidikan di
Jerman adalah cenderung pemerataan hak mendapatkan pendidikan. Ini berlaku
untuk orang asing atau orang Jerman yang tinggal di Jerman. Artinya secara
konsep yang diutamakan adalah pemerataan pendidikan daripada pencapaian
puncak-puncak hasil pendidikan.
Dia memberikan
contoh bahwa ketika hasil PISA rendah, seluruh Jerman panik. Akan
tetapi, ketika ada anak-anak Jerman yang dapat hadiah “the best xxxx dalam
lomba sains”, orang menganggap hal itu biasa saja. Hal ini terbalik dengan
Indonesia yang sangat bangga terhadap prestasi anak bangsa yang mengharumkan
nama Indonesia di dunia.
Contoh lain
adalah jika karier anda sebagai orang lembaga pendidikan ingin maju di Jerman,
anda harus pindah ke kampus-kampus kecil (di kota kecil). Beliau menjelaskan
bahwa prinsip ini membuat pemerataan kualitas pendidikan terjadi secara alami.
Dan lagi-lagi, ini berbeda dengan Indonesia. Orang Indonesia cenderung memiliki
kebiasaan “pintar kumpul dengan pintar” dan “kaya kumpul dengan kaya”.
Melihat kondisi di atas, membuat saya
tersenyum. Saya yakin kualitas pendidikan Indonesia bisa meningkat drastis.
Syarat utama hanya 2 macam, pemeratan pendidikan dan penghargaan terhadap
prestasi pendidikan. Itu saja. Bila kedua syarat terpenuhi, saya yakin
semakin banyak anak-anak Indonesia yang berprestasi pada ajang internasional
dan semua anak-anak Indonesia bisa masuk ke bangku sekolah.
Sebagai reaksi para pakar Ilmu
Sosial terhadap situasi sosial di Inggris dan Amerika Serikat, pemasukan Social
Studies ke dalam kurikulum sekolah juga dilatarbelakangi oleh keinginan
para pakar pendidikan, khususnya pakar social studies. Hal ini
disebabkan mereka ingin agar setelah meninggalkan sekolah dasar dan menengah,
para siswa: menjadi warga negara yang baik, dalam arti mengetahui dan
menjalankan hak-hak dan kewajibannya;
dapat hidup bermasyarakat secara
seimbang, dalam arti memperhatikan kepentingan pribadi dan masyarakat. Untuk
mencapai tujuan tersebut, para siswa tidak perlu harus menunggu kuliah atau
belajar Ilmu-ilmu Sosial di perguruan tinggi, tetapi sebenarnya mereka sudah
mendapat bekal pelajaran social studies di sekolah dasar dan
menengah.
Pertimbangan lain dimasukkannya social
studies ke dalam kurikulum sekolah adalah karena kebutuhan siswa sekolah,
di mana kemampuan siswa sangat menentukan dalam pemilihan program pendidikan
lanjut dan pengorganisasian materi social studies.
Agar materi pelajaran social
studies lebih menarik dan lebih mudah dicerna oleh siswa sekolah dasar dan
menengah, bahan-bahannya diambil dari kehidupan nyata di lingkungan masyarakat.
Bahan atau materi yang diambil dari pengalaman pribadi, teman-teman sebaya,
serta lingkungan alam, dan masyarakat sekitarnya. Hal ini akan lebih mudah
dipahami karena mempunyai makna lebih besar bagi para siswa dari pada bahan
pengajaran yang abstrak dan rumit dari Ilmu-ilmu Sosial.
Kurikulum
Berbasis Kompetensi dalam IPS di New Zealand menekankan pada penguasaan
disiplin ilmu sosial (Sejarah, geografi, ilmu politik, civics, ekonomi) juga
mengembangkan delapan ketrampilan penting (essensial skills) yang
juga diajarkan pada semua mata pelajaran dan pada semua jenjang
pendidikan di New Zealand, meliputi :
a.
komunikasi
b.
kemampuan dalam
matematika
c.
informasi
d.
pemecahan
masalah
e.
manajemen diri
dan kompetitif
f.
sosial dan
koperasi
g.
phisik
h.
pekerjaan dan studi
Kedelapan kemampuan esensial (essential skills)
tersebut diramu dalam proses belajar PIPS melalui inkuiri,
penggalian nilai (values exploration), dan pengambilan keputusan sosial
(social decision making).
4. Perbedaan
Pendidikan IPS Indonesia dengan Curriculum Canada
Dasar perubahan kurikulum dalan
studi sosial (IPS) dan sejarah Canada merupakan bagian dari satu rangkaian
perubahan kurikulumdalam studi sosial yang dikerjakan oleh saskatchewan
pendidikan. Proses pengembangan kurikulum dimulai dengan
penetapaan gugus tugas studi sosial (IPS) tahun 1981. Gugus tugas terdiri
dari orang-orang refresentatif dari berbagai sektor masyarakat
skatchewan. Mereka mensurvei pendapat umum dan atas dasar penemuan nya
dihasilkan suatu laporan yang menguraikan suatu filosofi untuk pendidikan IPS. Di
dalam kurikulum Canada dikembangkan core curriculum yang merupakan kemampuan
dasar yang menjadi landasan pembentukan kurikulum sekolah di Kanada dari
jenjang Kidergarten, Elementery level, middle level sampai secondary
level.
Terdapat dua komponen penting
dalam core curicullum yaitu Required Areas of Study dan Common
Essential Learning. Pengembangan core curicullum menjadi Required Areas
of Study menjadi tujuh yaitu : language Art, Mathematics, Science,
Social studies, Health education, art education dan physical education.
Pengembangan Common essential learning (CELS) atau kompetensi yag harus
dikembangkan terus menerus dan oleh semua mata pelajaran, yang meliputi
enam kemampuan, yaitu komunikasi (communication), kemampuan dalam
matematika (numeracy), berpikir kritis dan kreatif (critical
and creative thinking), melek teknologi (technology literacy),
nilai dan keterampilan personal dan sosial (personal and social values and
skills), belajar mandiri (independent learning).
a. Komunikasi (communication),
difokuskan pada meningkatkan pemahaman siswa terhadap bahasa yang digunakan di
dalam setiap bidang studi.
b. Kemampuan dalam
matematika (numeracy), melibatkan dan membantu siswa mengembangkan
tingkatan kompetensi yang akan mendorong mereka untuk menggunakan konsep
matematika di dalam kehidupan sehari-hari.
c. Berpikir kritis
dan kreatif (critical and creative thinking), dimaksudkan untuk membantu
para siswa mengembangkan kemampuan untuk menciptakan dan dengan kritis
mengevaluasi gagasan, proses, pengalaman, dan object berhubungan dengan area
masing-masing bidang studi.
d. Melek teknologi
(technology literacy), membantu siswa mengapresiasi bahwa system
teknologi merupakan integral dalam system social dan tidak bisa dipisahkan dari
budaya di dalamnya yang mereka bentuk.
e. Nilai dan
keterampilan personal dan sosial (personal and social values and skills
berhadapan dengan pribadi, moral, sosial, dan aspek budaya dari tiap
sekolah dan mempunyai sasaran utama mengembangkan warga negara yang penuh cinta
kasih dan bertanggung jawab, yang memahami dasar pemikiran (rasional) untuk
pengakuan moral.
f. Belajar mandiri
(independent learning), melibatkan siswa pada upaya untuk menciptakan
peluang/kesempatan dan pengalaman yang diperlukan siswa untuk menjadi mampu (capable),
percaya diri, motivasi diri, dan pembelajar sepanjang hayat yang melihat
belajar sebagai kegiatan pemberdayaan potensi diri dan sosial paling berharga.
Dalam kurikulum
Kanada, Social Studies merupakan salah satu dari tujuh mata pelajaran yang harus
diajarkan di sekolah mulai dari TK sampai SMA (Required Areas of Study).
Dimana dalam social studies ini pun harus dikembangkan keamampuan siswa untuk
berkomunikasi, matematika, berpikir kritis dan kreatif, melek
teknologi, nilai dan keterampilan personal dan sosial, dan belajar
mandiri sebagai Common essential learning (CELS).
5.
Perbedaan Pendidikan IPS Indonesia dengan Curriculum Hongkong
Arti Pendidikan
Kecakapan Hidup adalah pendidikan kemampuan,
kesanggupan dan keterampilan yang
diperlukan oleh seseorang untuk menjaga kelangsungan hidup dan pengembangan
dirinya. Kemampuan mencakup daya pikir, daya kalbu, daya raga. Kesanggupan
sangat dipengaruhi oleh kepentingan yaitu sesuatu yang dianggap penting oleh
siapa dalam bentuk apa. Keterampilan adalah kecepatan, kecekatan, dan ketepatan
orang yang terampil mengerjakan sesuatu adalah orang cepat, cekat, dan tepat
dalam mengerjakan sesuatu.
Tujuan
pendidikan Kecakapan hidup adalah untuk meningkatkan relevansi pendidikan
dengan nilai-nilai kehidupan nyata, baik nilai yang bersifat preservatif maupun
progresif. Tegasnya tujuan pendidikan kecakapan hidup adalah mempersiapkan
peserta didik agar memiliki kemampuan, kesanggupan, dan keterampilan yang
diperlukan untuk menjaga dan mengembangkan dirinya. Lebih spesifiknya,
pendidikan kecakapan hidup dna kelangsungan hidup memberdayakan aset kualitas
batiniyah, sikap dan perbuatan lahiriyah peserta didik melalui pengenalan nilai
(logos), penghayatan nilai (etos), dan penerapan nilai (patos) sehingga dapat
digunakan untuk menjaga kelangsungan hidup dan memberi bekal dasar dan
latihan-latihan yang dilakukan secara benar mengenai kehidupan sehari-hari yang
dapat memapukan peserta didik untuk berfungsi menghadapi masa depan yang penuh
persaingan dan kolaborasi sekaligus; dan memfasilitasi peserta didik dalam
memecahkan permasalahan hidup yang dihadapi sehari-hari atau yang akan dihadapi
, misal menjaga kesehatan mental dan fisikm mencari nafkah, dan memilih serta
mengembangkan karir.
B.
Kurikulum Berbasis Kompetensi
Secara teoritis
atau konseptual, kurikulum berdasarkan kompetensi masuk ke dalam kelompok yang
dinamakan ”outcomes-based curriculum” (Olivia, 1997:521). Dalam
bentuknya yang masih awal, Olia (1997:512) mengemukakan bahwa perkembangan ide
kurikulum berbasis kompetensi ”outcomes-based” dapat ditelusuri sejauh
pertengahan abad ke XIX (sembilan belas) oleh seorang pendidik terkenal Herbert
Spencer. Perkembangan ide kurikulum berbasis ”outcomess” di Amerika Serikat
dapat dikatakan pada awal abad ke-XX yaitu tahun 1918 atau menurut Tuxworth
(Burke, 1995:10) pada tahu 1920-an. Pemikiran itu kemudian diikuti oleh Ralph
Tyler tahun 1950 yang mengembangkan proyek kurikulum yang bertahap nasional
dan menjadi terkenal dengan nama ”mastery learning and competency
based” oleh Benjamin Bloom.
Dalam
perkembangan pemikiran tentang kompetensi, lebih banyak digunakan untuk
kurikulum vokasional dan profesional sebagai jawaban atas tuntutan
perkembangan dunia industri, yaitu kebutuhan akan tenaga kerja yang mampu
melakukan pekerjaan ketika yang bersangkutan diterima di tempat kerja (Loon,
2001:2; Cinterfor, 2001:1; Tuxworth, 1995:11). Sebenarnya tidak ada masalah
dengan kurikulum IPS yang berdasarkan kompetensi sepajang orientasi fislosofis
kurikulum IPS berubah dari esensialisme dan perenialisme ke rekonstruksi
sosial. Kurikulum IPS harus mampu mengembangkan kompetensi yang dipelrukan
peserta didik untuk hidup di masyarakatnya berdasarkan permasalahan sosial yang
ada.
Kata kompetensi
diartikan sebagai kemampuan yang harus dikuasai seorang peserta didik. Becker
(1977) dan Gordon (1988) mengemukakan bahwa kompetensi meliputi ”pengetahuan,
pemahaman, keterampilan, nilai, sikap, dan minat”. Dalam pengertian yang lebih
konseptual McAsham (1981) merumuskan kompetensi sebagai berikut: ”Competency
is knowledge, skills, and abilities that a person can learn and develop, which
become parts of his or her being ti the extent he or she can satisfactorily
perform particular cognitive, affective, and psychomotor behavior”.
Pengertian di atas sejalan dengan pendapat Wolf (1995), Debling (1995, Kupper
dan Palthe (wolf, 1995:40) mengatakan bahwa esensi dari pengertian “is the
ability to perform”. Debling (1995:80) mengatakan “competence pertains to
the ability to perform the activities within a function or an occupational area
to the level of performance expected in employment”. Kupper dan Palthe (Wolf,
1995:40) mengatakan “competencies as the ability of a student/worker enabling
him to accomplish tasks adequately, to find solutions and to realize them in
work situations.
Dengan demikian kurikulum berbasis
kompetensi adalah kurikulum yang pada tahap perecanaan (terutama dalam tahap
perkembangan ide) dipengaruhi oleh kemungkinan-kemungkinan kemampuan pendekatan
kompetensi dalam menjawab tantangan yang muncul di masyarakat. Oleh karena itu
terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pengembangan kurikulum
berbasis kompetensi, yaitu:
a. Pada waktu
mengembangkan atau megadopsi pemikiran kurikulum berbasis kompetensi maka
pengembang kurikulkum harus mengenal benar landasan filosofis, kekuatan dan
kelemahan pendekatan kompetensi dalam menjawab tantangan serta jangkauan
validitas pendekatan tersebut ke masa depan. Qullen (2001) mengatakan ”the
firs part of the process of integration is to understand the theoritical and
practical basis of a competency-based educational system”.
b. Kompetensi
bersifat terus berkembang sesuai dengan tuntutan dunia kerja dan perubahan
masyarakat. Perkembangan tuntutan dunia kerja atau permasalahan yang berkembang
di masyarakat menghendaki adanya kompetensi baru yang harus dikuasai oleh
peserta didik. Kupper dan Palthe (Wolf, 1995:45) mengingatkan hal ini
dengan mengatakan bahwa dalam penentuan kompetensi suatu lembaga pendidikan
haruslah ”has regular contacts with industry and busiess regarding the
qualifications expected from our graduates”. Sedangkan Ferguson (2000:1)
menyuarakan kepentingan masyarakat dan tidak membatasi diri pad dunia industri,
”when designing a course or a program using an outcomes based curriculum
framework, the educator/designer begins by envisioning what students need to be
able to do in their lives and what part of that is the responsibility of the
course or program”. Kurikulum IPS yang berdasarkan kompetensi harus
mengarah kepada what the students need to be able to do di masyarakat. Kompetensi
bersifat dinamis dan berkembang terus sesuai dnegan perkembangan dalam berbagai
bidang kehidupan.
c. Memperhatikan prinsip ”no one
course is strictly responsible for any one competency” dalam pengembangan
program atau dokumen kurikulum (Indiana University Medical Science Program). Artinya seperti
yang dikembangkan oleh Canada, maka ada essential learning abilities
atau kompetensi yag harus dikembangkan terus menerus dan oleh banyak mata
pelajaran.
Kompetensi yang dikembangkan dalam kurikulum IPS harus bersifat terus menerus
(developmental) dan ini merupakan suatu prinsip penting ketika menerjemahkan
dokumen kurikulum menjadi suatu proses pembelajaran.
C. Model
Pengembangan
IPS merupakan seperangkat fakta, peristiwa, konsep, dan
generalisasi yang berkaitan dnegan perilaku dan tindakan manusia untuk
membangun dirinya, masyarakatnya, bangsanya, dan lingkungannya berdasarkan pada
pengalaman masa lalu yang dapat dimaknai untuk masa kini, dan diantisiapsi
untuk masa yang akan datang.
Tujuan IPS
a. Mengembangkan
pengetahuan kesosilogian, kegeografian, keekonomian, dan kesejarahan.
b. Mengembngkan
kemampuan berpikir, inquiri, pemecahana masalah, dan keterampilan sosial
c. Membangun
komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan.
Meningkatkan
kemampuan berkomuniaksi dan bekerjasama dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat
lokal, nasional, dan global.
Untuk mencapai tujuan tersebut dikembangkan standar
kompetensi lintas kurikulum yang merupakan kecakapan untuk hidup (lifeskills)
dan belajar sepanjang hayat yang dibakukan dan harus dicapai oleh peserta didik
melalui pengalaman belajar. Standar kompetensi lintas kurikulum ini meliputi:
a. memiliki
keyakinan, menyadari serta menjalankan hak dan kewajiban, saling menghargai dan
memberi rasa aman, sesuai dengan agama yang dianutnya.
b. Menggunakan
bahasa untuk memahami, mengembangkan, dan mengkomuniaksikan gagasan dan
informasi, serta untuk berinteraksi dengan orang lain.
c. Memilih,
memadukan, dan menerapkan konsep-konsep, teknik-teknik, pola, struktur, dan
hubungan.
d. Memilih,
mencari, dan menerapkan teknologi dan informasi yang diperlukan dari berbagai
sumber.
e. Memahami dan
menghargai lingkungan fisik, makhluk hidup, dna teknologi, dna menggunakan
pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai untuk mengambil keputusan yang
tepat.
f. Beraprtisipasi,
berinteraksi, dan berkontribusi aktif dalam masyarakat dan budaya global
berdasarkan pemahaman kontkes budaya, geografis, dan historis.
g. Berkreasi dan
menghargai karya artistik, budaya, dan intelektual, serta menerapkan
nilai-nilai luhur untuk meningkatkan kematangan pribadi menuju masyarakat
beradab.
h. Berpikir logis,
kritis, dan lateral dengan mempertimbangkan potensi dan peluang untuk
menghadapi berbagai kemungkinan.
i.
Menunjukkan motivasi belajar, percaya
diri, bekerja amndiri, dna bekerja sama dengan orang lain.
D.
Sandar Kompetensi Bahan kajian IPS
a. Kemampuan
memahami fakta, konsep, dan generalisasi tentang sistem sosial dan budaya serta
menerapkannya untuk
1)
Mengembangkan
sikap kritis dalam situasi sosial yang timbul sebagai akibat perbedaan yang ada
di masyarakat.
2)
Menentukan
sikap terhadap proses perkembangan dan perubahan sosial
3)
Menghargai
keanekaragaman sosial budaya dalam masyarakat multikultur.
b. Kemampuan memahami fakta, konsep, dan
generalisasi tentang manusia, tempat dan lingkungan serta menerapkannya untuk:
1)
Menganalisis
proses kejadian, interaksi dan saling ketergantungan antara gejala alam dan
kehidupan di muka bumi dalam dimensi ruang dan waktu.
2)
Terampil dalam
memperoleh, mengolah, dan menyajikan informasi geografis.
c.
Kemampuan
memahami fakta, konsep, dan generalisasi tentang perilaku ekonomi dan
kesejahteraan serta menerapkannya untuk:
1)
Berperilaku
yang rasional dan manusiawi dalam memanfaatkan sumber daya ekonomi.
2)
Menumbuhkan
jiwa, sikap, dan perilaku kewirausahaan
3)
Menganalisis
sistem informasi keuangan lembaga-lembaga ekonomi.
4)
Terampil dalam
praktik usaha ekonomi sendiri.
d. Kemampuan memahami fakta, konsep, dan
generalisasi tentang waktu, keberlanjutan, dan perubahan serta menerapkannya
untuk:
1)
Menganalisis
keterkaitan antara manusia, waktu, tempat, dan kejadian.
2)
Merekonstruksi
masa lalu, memaknai masa kini, dan memprediksi amsa depan.
3)
Menghargai
berbagai erbedaan serta keragaman sosial, kulturan, agama, etnis, dna politik
dalam masyarakat dari pengalaman belajar peristiwa sejarah.
Standar
kompetensi tersebut dijabarkan ke dalam kompetensi dasar. Untuk menjamin bahwa
kompentensi dasar yang telah ditentukan dapat dicapai maka perlu prinsip
ketuntasan belajar (mastery learning) dalam pembelajaran dan penilaian.
Sebenarnya KBK itu sendiri adalah kurikulum ideal yang tidak saja akan berhasil
meningkatkan kualitas pendidikan di negara kita, tetapi juga menuntut para
praktisi pendidikan khususnya para guru untuk mempersiapkan seluruh potensi
Guru itu sendiri. Tujuan diterapkannya kurikulum berbasis kompetensi ini adalah
untuk menghasilkan terjadinya demokratisasi pendidikan.Diharapkan hasil
keluaran KBK dapat menciptakan lulusan yang menghargai keberagaman (misalnya
dalam perbedaan pendapat, agama, ras maupun budaya). Pengkonstuksian dan penyusunan
pengetahuan berlangsung dan dilakukan dari, oleh dan untuk para peserta didik.
Dengan demikian, dalam penyusunan rencana pembelajaran, seorang guru harus
mampu menyusunnya sehingga kelas dapat berlangsung dalam Susana fun (menyenangkan)
demokratis dan terbuka.
Pendekatan
pembelajaran yang dapat dilakukan adalah pendekatan kontruktivisme, sains,
teknologi dan pendekatan inkuiri secara utuh. Keutuhan suatu materi pelajaran
tentu parameternya harus komprehensif. Misalnya guru harus cerdas , tepat seta
efektif dalam menafsirkan dan mengimplementasikan KBK yang menjamin tercapainya
kompetensi-kompetensi lulusan. Dengan ketiga pola pendekatan tersebut di atas,
para peserta didik diberikan kesempatan untuk menemukan suatu konsep dengan menggunakan
kompetensi yang dimiliki. Ketercapaian penggalian dan penemuan kompetensi ,
dilakukan oleh peserta didik itu sendiri sehingga mereka mampu menghayati dan
mengamalkan untuk bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa , rasa ingin tahu,
toleransi, berfikir terbuka, percaya diri, kasih sayang, peduli sesama,
kebersamaan, kekeluargaan dan persahabatan.
IPS merupakan suatu program
pendidikan dan bukan sub-disiplin ilmu tersendiri, sehingga tidak akan
ditemukan baik dalam nomenklatur filsafat ilmu, disiplin ilmu-ilmu sosial
(social science), maupun ilmu pendidikan (Sumantri. 2001:89). Social Scence
Education Council (SSEC) dan National Council for Social Studies (NCSS),
menyebut IPS sebagai “Social Science Education” dan “Social Studies”. Dengan
kata lain, IPS mengikuti cara pandang yang bersifat terpadu dari sejumlah mata
pelajaran seperti: geografi, ekonomi, ilmu politik, ilmu hukum, sejarah,
antropologi, psikologi, sosiologi, dan sebagainya
Dalam bidang pengetahuan sosial, ada
banyak istilah. Istilah tersebut
meliputi : Ilmu Sosial (Social
Sciences), Studi Sosial (Social Studies) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).
1. Sosial (Social Science)
Achmad Sanusi memberikan batasan
tentang Ilmu Sosial (Saidihardjo,1996.h.2) adalah sebagai berikut: “Ilmu Sosial
terdiri disiplin-disiplin ilmu pengetahuan sosial yang bertarap akademis dan
biasanya dipelajari pada tingkat perguruan tinggi, makin lanjut makin ilmiah”.
Menurut Gross (Kosasih
Djahiri,1981.h.1), Ilmu Sosial merupakan disiplin intelektual yang mempelajari
manusia sebagai makluk sosial secara ilmiah, memusatkan pada manusia sebagai
anggota masyarakat dan pada kelompok atau masyarakat yang ia bentuk.
Nursid Sumaatmadja, menyatakan bahwa
Ilmu Sosial adalah cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku
manusia baik secara perorangan maupun tingkah laku kelompok. Oleh karena
itu Ilmu Sosial adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dan
mempelajari manusia sebagai anggota masyarakat.
2. Studi Sosial (Social Studies).
Perbeda dengan Ilmu Sosial, Studi
Sosial bukan merupakan suatu bidang keilmuan atau disiplin akademis, melainkan
lebih merupakan suatu bidang pengkajian tentang gejala dan masalah social.
Tentang Studi Sosial ini, Achmad Sanusi (1971:18) memberi penjelasan sebagai
berikut : Sudi Sosial tidak selalu bertaraf akademis-universitas, bahkan
merupakan bahan-bahan pelajaran bagi siswa sejak pendidikan dasar.
3. Pengetahuan Sosial (IPS)
Harus diakui bahwa ide IPS berasal
dari literatur pendidikan Amerika Serikat. Nama asli IPS di Amerika Serikat
adalah “Social Studies”. Istilah tersebut pertama kali dipergunakan sebagai
nama sebuah komite yaitu “Committee of Social Studies” yang didirikan pada
tahun 1913. Tujuan dari pendirian lembaga itu adalah sebagai wadah himpunan
tenaga ahli yang berminat pada kurikulum Ilmu-ilmu Sosial di tingkat sekolah
dan ahli-ahli Ilmu-ilmu Sosial yang mempunyai minat sama.
Definisi IPS menurut National
Council for Social Studies (NCSS), mendifisikan IPS sebagai berikut: social
studies is the integrated study of the science and humanities to promote civic
competence. Whitin the school program, socisl studies provides coordinated,
systematic study drawing upon such disciplines as anthropology, economics,
geography, history, law, philosophy, political science, psychology, religion,
and sociology, as well as appropriate content from the humanities, mathematics,
and natural sciences. The primary purpose of social studies is to help young
people develop the ability to make informed and reasoned decisions for the
public good as citizen of a culturally diverse, democratic society in an
interdependent world.
Pada dasarnya Mulyono Tj. (1980:8)
memberi batasan IPS adalah merupakan suatu pendekatan interdsipliner
(Inter-disciplinary Approach) dari pelajaran Ilmu-ilmu Sosial. IPS merupakan
integrasi dari berbagai cabang Ilmu-ilmu Sosial, seperti sosiologi, antropologi
budaya, psikologi sosial, sejarah, geografi, ekonomi, ilmu politik, dan
sebagainya. Hal ini lebih ditegaskan lagi oleh Saidiharjo (1996:4) bahwa IPS
merupakan hasil kombinasi atau hasil pemfusian atau perpaduan dari sejumlah
mata pelajaran seperti: geografi, ekonomi, sejarah, sosiologi, antropologi,
politik.
F. Sejarah Pertumbuhan Ilmu
Pengetahuan Sosial
Bidang studi IPS yang masuk ke
Indonesia adalah berasal dari Amerika Serikat, yang di negara asalnya disebut
Social Studies. Pertama kali Social Studies dimasukkan dalam kurikulum sekolah
adalah di Rugby (Inggris) pada tahun 1827, atau sekitar setengah abad setelah
Revolusi Industri (abad 18), yang ditandai dengan perubahan penggunaan tenaga
manusia menjadi tenaga mesin.
Latar belakang dimasukkannya Social
studies dalam kurikulum sekolah di Amerika Serikat berbeda dengan di Inggris
karena situasi dan kondisi yang menyebabkannya juga berbeda. Penduduk Amerika
Serikat terdiri dari berbagai macam ras diantaranya ras Indian yang merupakan
penduduk asli, ras kulit putih yang datang dari Eropa dan ras Negro yang
didatangkan dari Afrika untuk dipekerjakan di perkebunan-perkebunan negara
tersebut.
Pada awalnya penduduk Amerika
Serikat yang multi ras itu tidak menimbulkan masalah. Baru setelah berlangsung
perang saudara antara utara dan selatan atau yang dikenal dengan Perang Budak
yang berlangsung tahun l861-1865 dimana pada saat itu Amerika Serikat siap
untuk menjadi kekuatan dunia, mulai terasa adanya kesulitan, karena penduduk
yang multi ras tersebut merasa sulit untuk menjadi satu bangsa.
Selain itu juga adanya perbedaan
sosial ekonomi yang sangat tajam. Para pakar kemasyarakatan dan pendidikan
berusaha keras untuk menjadikan penduduk yang multi ras tersebut menjadi merasa
satu bangsa yaitu bangsa Amerika. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan
memasukkan social studies ke dalam kurikulum sekolah di negara bagian Wisconsin
pada tahun 1892. Setelah dilakukan penelitian, maka pada awal abad 20, sebuah
Komisi Nasional dari The National Education Association memberikan rekomendasi
tentang perlunya social studies dimasukkan ke dalam kurikulum semua sekolah
dasar dan sekolah menengah Amerika Serikat. Adapun wujud social studies ketika
lahir merupakan semacam ramuan dari mata pelajaran sejarah, geografi dan
civics.
Di samping sebagai reaksi para pakar
Ilmu Sosial terhadap situasi sosial di Inggris dan Amerika Serikat, pemasukan
Social Studies ke dalam kurikulum sekolah juga dilatarbelakangi oleh keinginan
para pakar pendidikan. Hal ini disebabkan mereka ingin agar setelah
meninggalkan sekolah dasar dan menengah, para siswa: (1) menjadi warga negara
yang baik, dalam arti mengetahui dan menjalankan hak-hak dan kewajibannya; (2)
dapat hidup bermasyarakat secara seimbang, dalam arti memperhatikan kepentingan
pribadi dan masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut, para siswa tidak perlu
harus menunggu belajar Ilmu-ilmu Sosial di perguruan tinggi, tetapi sebenarnya
mereka sudah mendapat bekal pelajaran IPS di sekolah dasar dan menengah.
Pengembangan Pendidikan IPS SD
Pertimbangan lain dimasukkannya
social studies ke dalam kurikulum sekolah adalah kemampuan siswa sangat
menentukan dalam pemilihan dan pengorganisasian materi IPS. Agar materi
pelajaran IPS lebih menarik dan lebih mudah dicerna oleh siswa sekolah dasar
dan menengah, bahan-bahannya diambil dari kehidupan nyata di lingkungan
masyarakat. Bahan atau materi yang diambil dari pengalaman pribadi, teman-teman
sebaya, serta lingkungan alam, dan masyarakat sekitarnya. Hal ini akan lebih
mudah dipahami karena mempunyai makna lebih besar bagi para siswa dari pada
bahan pengajaran yang abstrak dan rumit dari Ilmu-ilmu Sosial.
Latar belakang dimasukkannya bidang
studi IPS ke dalam kurikulum sekolah di Indonesia sangat berbeda dengan di
Inggris dan Amerika Serikat. Pertumbuhan IPS di Indonesia tidak terlepas dari
situasi kacau, termasuk dalam bidang pendidikan, sebagai akibat pemberontakan
G30S/PKI, yang akhirnya dapat ditumpas oleh Pemerintahan Orde Baru. Setelah
keadaan tenang pemerintah melancarkan Rencana Pembangunan Lima Tahun
(Repelita). Pada masa Repelita I (1969-1974) Tim Peneliti Nasional di bidang
pendidikan menemukan lima masalah nasional dalam bidang pendidikan. Kelima
masalah tersebut antara lain:
1. Kuantitas, berkenaan dengan
perluasan dan pemerataan kesempatan belajar.
2. Kualitas, menyangkut peningkatan
mutu lulusan
3. Relevansi, berkaitan dengan
kesesuaian sistem pendidikan dengan kebutuhan pembangunan.
4. Efektifitas sistem pendidikan dan
efisiensi penggunaan sumber daya dan dana.
5. Pembinaan generasi muda dalam rangka
menyiapkan tenaga produktif bagi kepentingan pembangunan nasional.
Pada tahun 2004, pemerintah
melakukan perubahan kurikulum kembali yangn dikenal dengan Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK). Dalam kurikulum SD, IPS berganti nama menjadi Pengetahuan
Sosial. Pengembangan kurikulum Pengetahuan Sosial merespon secara positif
berbagai perkembangan informasi, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Hal ini
dilakukan untuk meningkatkan relevansi program pembelajaran Pengetahuan Sosial
dengan keadaan dan kebutuhan setempat.
Rasional Mempelajari IPS.
Rasionalisasi mempelajari IPS untuk
jenjang pendidikan dasar dan menengah adalah agar siswa dapat:
1.
Mensistematisasikan
bahan, informasi, dan atau kemampuan yang telah dimiliki tentang manusia dan
lingkungannya menjadi lebih bermakna.
2.
Lebih peka
dan tanggap terhadap berbagai masalah sosial secara rasional dan bertanggung
jawab.
3.
Mempertinggi
rasa toleransi dan persaudaraan di lingkungan sendiri dan antar manusia.
IPS atau disebut Pengetahuan Sosial
pada kurikulum 2004, merupakan satu mata pelajaran yang diberikan sejak SD dan
MI sampai SMP dan MTs. Untuk jenjang SD dan MI Pengetahuan Sosial memuat materi
Pengetahuan Sosial dan Kewarganegaraan.
Pada haikatnya, pengetahuan Sosial
sebabagi suatu mata pelajaran yang menjadi wahana dan alat untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan, antara lain:
1. Siapa diri saya?
2. Pada masyarakat apa saya berada?
3. Persyaratan-persyaratan apa yang
diperlukan diri saya untuk menjadi anggota suatu kelompok masyarakat dan
bangsa?
4. Apa artinya menjadi anggota
masyarakat bangsa dan dunia?
5. Bagaimanakah kehidupan manusia dan
masyarakat berubah dari waktu ke waktu?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut harus
dijawab oleh setiap siswa, dan jawabannya telah dirancang dalam Pengetahuan
sosial secara sistematis dan komprehensip. Dengan demikian, Pengetahuan Sosial
diperlukan bagi keberhasilan siswa dalam kehidupan di masyarakat dan proses
menuju kedewasaan.
G. Hasil belajar curikulum KTSP
Indonesia
1. Kurikulum KTSP
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) merupakan revisi dan pengembangan dari kurikulum KBK. KTSP lahir karena
dianggap masih sarat dengan beban belajar dan pemerintah pusat dalam hal ini
Depdiknas masih dipandang terlalu intervensi dalam pengembangan kurikulum. Oleh
karena itu dalam KTSP beban belajar siswa sedikit berkurang dan tingkat satuan
pendidikan (sekolah, guru, dan komite sekolah) diberi kewenangan untuk
mengembangkan kurikulum , seperti membuat indikator, silabus, dan beberapa
komponen kurikulum lainnya.
Dari perubahan kurikulum di atas
terlihat adanya inovasi-inovasi untuk menjawab tantangan perkembangan zaman.
Seperti kita melihat adanya perubahan sifat kurikulum, mulai dari Correlated
Subject Curriculum (1968), Integrated Curriculum Organization (1975),
Content Based Curriculum (1984), Objective Based Curriculum (1994),
sampai Competency Based Curriculum (2004).
IPS dalam Standar Nasional
Pendidikan
Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 7
menyebutkan bahwa:
Konsep Dasar Pembelajaran IPS
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan salah satu mata
pelajaran yang diberikan mulai dari SD/MI/SDLB sampai SMP/MTs/SMPLB. IPS
mengkaji seperangkat peristiwa, fakta, konsep, dan generalisasi yang berkaitan
dengan isu sosial. Pada jenjang SMP/MTs mata pelajaran IPS memuat materi Geografi,
Sejarah, Sosiologi, dan Ekonomi. Melalui mata pelajaran IPS, peserta didik
diarahkan untuk dapat menjadi warga negara Indonesia yang demokratis, dan
bertanggung jawab, serta warga dunia yang cinta damai.
Mata pelajaran IPS terpadu pada jenjang pendidikan dasar dan menengah termasuk
rumpun ilmu sosial, seharusnya merupakan mata pelajaran yang menarik, apabila
disajikan oleh guru dengan menggunakan teknik-teknik pembelajaran yang dapat
memotivasi siswa. Namun dalam kenyataannya banyak para siswa mengeluh karena
bahan-bahan materi pelajaran disajikan kurang menarik serta membosankan di
samping guru kurang mampu memilih metode pembelajarannya.
Akar masalah
dari problem mata pelajaran sosial tersebut adalah bahwa pembelajaran
pengetahuan sosial lebih menekankan pada aspek pengetahuan, fakta dan
konsep-konsep yang bersifat hapalan belaka. Hal ini sejalan dengan pendapat
Somantri, 2001 yang menyatakan bahwa pembelajaran IPS di sekolah selalu
disajikan dalam bentuk faktual, konsep yang kering, guru hanya mengejar target
pencapaian kurikulum, tidak mementingkan proses. Hal ini menyebabkan
pembelajaran IPS selalu menjenuhkan dan membosankan dan dianggap oleh peserta
didik sebagai pelajaran kelas dua.
Standar
kompentensi dari mata pelajaran IPS menurut Depdiknas (2003: 5) adalah peserta
didik diarahkan, dibimbing dan dibantu untuk menjadi warga negara Indonesia dan
warga dunia yang baik. Hal ini merupakan tantangan yang berat karena masyarakat
global selalu mengalami perubahan yang besar setiap saat.
Kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi menambah pengetahuan kita tentang bumi. Namun
demikian kemajuan teknologi yang mendorong industrialisasi telah menghasilkan
dampak negatif berupa polusi dan limbah industri yang mengotori tanah, air
serta udara baik secara lokal, regional bahkan secara global.
Untuk
menanamkan betapa berharganya bumi, dan bagaimana memelihara serta
melestarikannya sebaiknya dalam materi yang akan diberikan kepada para siswa
dimasukan pengetahuan dan pemahaman tentang bumi berserta substansinya seperti
terbentunya dan evolusi bumi sebagai salah satu planet dalam sistem alam
semesta, siklus iklimnya, kekayaan alam dan lain-lain. Selanjutnya perlu juga
dipelajari tentang kesehatan masyarakat, kependudukan, kekayaan alam, ilmu
pengetahuan dan teknologi serta tantangan lokal, regional, nasional dan global.
Perubahan-perubahan
yang terjadi sebagai dampak kemajuan ilmu dan teknologi serta dengan masuknya
arus globalisasi, membawa pengaruh yang multidimensional. Di bidang pendidikan
perubahan itu dituntut oleh kebutuhan siswa, masyarakat, dan lapangan kerja.
Salah satu bentuk perubahan yang dituntut dari kurikulum IPS adalah
menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi secara global tersebut. Oleh karena
itu, pendidikan IPS harus berkualitas internasional seperti yang dikatakan oleh
Alfin Tofler yaitu harus berpikir global dan bertindak lokal.
Dalam rangka
memenuhi tuntutan tersebut, materi IPS harus berwawasan global, yaitu meliputi:
1. Kesadaran diri; sebagai makhluk Tuhan, eksistensi, potensi dan jati
diri sebagai warga dari sebuah bangsa yang berbudaya dan bermartabat dengan
bangsa lain di dunia (tidak lebih rendah dari bangsa lain)
2. Tentang kecakapan berpikir
seperti kecakapan berpikir kritis, menggali informasi, mengolah informasi,
mengambil keputusan dan memecahkan masalah.
3. Tentang
kecakapan akademik; tentang ilmu-ilmu sosial seperti kemampuan memahami fakta,
konsep dan generalisasi tentang sistem sosial budaya, lingkungan hidup,
perilaku ekonomi dan kesejahteraan serta tentang waktu dan keberlanjutan
perubahan yang terjadi di dunia.
4. Mengembangkan sosial skill
dengan maksud supaya pada masa mendatang kita tidak hanya menjadi obyek
penguasaan globalisasi belaka.
Menurut Marsh Colin dalam Nana Supriatna (2002: 15), keterampilan sosial adalah
keterampilan memperoleh informasi, berkomunikasi, pengendalian diri, bekerjasama,
menggunakan angka, memecahkan masalah serta keterampilan membuat
keputusan. Hal ini diperkuat oleh Ancss (1984: 249) dalam Rahmania (2006)
yang menyatakan
bahwa keterampilan sosial adalah keterampilan dalam memperoleh informasi
(keterampilan membaca, keterampilan belajar, mencari informasi dan keterampilan
menggunakan alat-alat teknologi), keterampilan yang berkaitan dengan hubungan
sosial serta partisipasi dalam masyarakat.
Keterampilan
sosial tersebut sangat relevan untuk dikembangkan dalam mata pelajaran IPS di
Indonesia, agar diharapkan para peserta didik dapat hidup sebagai warga negara
, warga masyarakat dan warga dunia yang dapat berperan dalam masyarakatnya.
Untuk mencapai
sasasaran tersebut, menurut Wiraatmadja (2002: 276), guru harus selalu
memperbaharui kemahiran profesionalnya (professional skill) yaitu
meliputi kemampuan mengajar (teaching skill) melalui loka karya, seminar,
pertemuan MGMP (musyawarah guru mata pelajaran) atau dengan mendatangkan nara
sumber.
Nana Supriatna
(2002: 18) menyebutkan ada beberapa strategi dalam mengajarkan keterampilan
sosial kepada peserta didik melalui IPS, di antaranya:
1. Guru IPS harus
menyajikan pembelajaran IPS dengan menggunakan pendekatan-pendekatan dan
model-model pembelajaran yang relevan dengan tujuan pembelajarannya. Salah satu
model pembelajaran yang relevan adalah cooperative learning.
Dengan pembelajaran cooperative learning, maka siswa tidak saja menghafal
fakta, konsep dan pengetahuan yang bersifat kognitif rendah dan guru sebagai
satu-satunya sumber informasi, melainkan akan membawa siswa untuk
berpartisipasi aktif karena siswa akan diminta melakukan tugas-tugas seperti
bekerja kelompok, melakukan inkuiri dan melaporkan hasil kegiatannya kepada
kelas. Ini artinya guru bukan satu-satunya sumber informasi karena siswa akan
mencari sumber yang beragam dan terlibat dalam berbagai kegiatan belajar yang
beragam pula. Guru selain berperan sebagai fasilitator dalam semua kegiatan
siswa, juga harus mengamati proses pembelajaran untuk memberikan penilaian (assessment)
baik untuk pengetahuan ke-IPS-an juga menilai keterampilan social (social
skill) selama kegiatan pembelajaran berlangsung.
2. Strategi serta
pendekatan konstruktivisme yang menempatkan siswa sebagai mitra pembelajaran
dan pengembangan materi pelajaran dapat digunakan oleh guru IPS dalam
mengembangkan keterampilan social. Keterampilan siswa dalam hal memperoleh,
mengolah dan memanfaatkan informasi untuk memiliki, berdayakan dirinya dapat
dilakukan melalui proses pembelajaran di kelas. Guru IPS konstruktivis harus
dapat memfasilitasi para siswanya dengan kesempatan untuk berlatih dalam
mengklasifikasi, menganalisis, dan mengolah informasi berdasarkan sumber-sumber
yang mereka terima. Sikap kritis siswa terhadap informasi harus dapat
dikembangkan dalam proses pembelajaran di kelas. Guru juga harus selalu
membiasakan siswa untuk memprediksi, mengklasifikasi dan menganalisis dengan
demikian aspek kognitif siswa yang dikembangkan tidak hanya keterampilan dalam
menghafal dan mengingat melainkan juga menganalisis, memprediksi, mengkritisi
dan mengevaluasi informasi yang diterima.
3.
Strategi
inkuiri yaitu stratgei yang menekankan peserta didik menggunkan keterampilan
social dan intelektual dalam memperoleh pengalaman baru atau informasi baru
melalui investigasi yang sifatnya mandiri. Menurut Supriatna ada beberapa
keuntungan dari strategi ini, yaitu:
a. Strategi ini
memungkinkan peserta didik melihat isi pelajaran lebih realistic dan positif
ketika menganalisis dan mengklasifikasikan data dalam memcahkan masalah.
b. Memberi
kesempatan kepada siswa untuk merefleksikan isu-isu tertentu, mencari data yang
relevan serta membuat keputusan yang bermakna bagi mereka secara pribadi.
c. Menempatkan
guru sebagai fasilitator belajar sekaligus mengurangi perannya sebagai pusat
kegiatan belajar.
Wiraatmadja
(2002: 205-306) mengatakan belajar mengajar ilmu-ilmu social agar menjadi
berdaya apabila proses pembelajarannya bermakna (meaningfull), yaitu:
a. Siswa belajar menjalin pengetahuan,
keterampilan, kepercayaan dan sikap yang mereka anggap berguna bagi
kehidupannya di sekolah atau di luar sekolah.
b. Pengajaran ditekankan kepada pendalaman
gagasan penting yang terdapat dalam topic-topik yang dibahas, demi pemahaman,
apresiasi dan aplikasi siswa.
c.
Kebermaknaan
dan pentingnya materi pelajaran ditekankan bagaimana cara penyajiaannya dan
dikembangkannya melalui kegiatan aktif.
d. Interaksi di dalam kelas difokuskan
pada pendahuluan topic-topik terpilih dan bukan pada pembahasan sekilas
sebanyak mungkin materi.
e. Kegiatan belajar yang bermakna dan
strategi assessment hendaknya difokuskan pada perhatian siswa terhadap
pikiran-pikiran atau gagasan-gagasan yang penting dan terpateri dalam apa yang
mereka pelajari.
f.
Guru hendaknya berpikir reflektif dalam
melakukan perencanaan/ persiapan, perberlakuan dan assessment pembelajaran.
Namun tugas
besar dari pembelajaran IPS tersebut ternyata tidak berjalan sesuai dengan
harapan. Hal ini Karena adanya beberapa hambatan yang menjadikan pembelajaran
IPS tidak berhasil bahkan cenderung membosankan, yaitu:
1. Sebagian besar guru IPS belum terampil
menggunakan beberapa model mengajar yang dapat merangsang motivasi belajar
siswa
2. Ketersediaan alat dan bahan belajar di
sebagian besar sekolah ikut mempengaruhi proses belajar IPS
3. Proses belajar mengajar IPS masih
dilakukan dalam bentuk pembelajaran konvensional, sehingga peserta didik hanya
memperoleh hasil faktual saja dan tidak mendapat hasil proses.
4. Dalam hal
implementasi atau proses pelaksanaan kurikulum ini guru yang mendapat
sosialisasi dalam bentuk penataran atau diklat sangat terbatas sekali, sehingga
faktor ini juga menyebabkan mereka masih belum memahami hakekat kurikulum baru
ini sebagaimana mestinya.
Salah satu tugas sekolah adalah
memberikan pengajaran kepada siswa. Mereka harus memperoleh kecakapan dan
pengetahuan dari sekolah, di samping mengembangkan pribadinya. Pemberian
kecakapan dan pengetahuan kepada siswa, yang merupakan proses belajar-mengajar
dilakukan oleh guru di sekolah dengan menggunakan cara-cara atau metode-metode
tertentu (B. Suryosubroto, 1997:148).
Mata pelajaran Ilmu Pengetahuan
Sosial (IPS) di SD dan SMP/MTs berfungsi untuk mengembangkan pengetahuan,
nilai, sikap, dan keterampilan siswa tentang masyarakat, bangsa, dan negara
Indonesia (Puskur Balitbang Depdiknas, 2003:2). Terkait dengan tujuan mata
pelajaran IPS yang sedemikian fundamental maka guru dituntut untuk memiliki
pemahaman yang holistik dalam upaya mewujudkan pencapaian tujuan tersebut.
Ranah Hasil Belajar IPS
Pemerintah
indikator dalam pembelajaran mengacu pada hasil belajar yang harus dikuasai siswa.
Dalam pencapaian hasil belajar siswa, guru dituntut untuk memadukan ranah
kognitif, afektif, dan psikomotor secara proporsional. Horward Kingsly membagi
tiga macam hasil belajar,yakni (a)ketrampilanda kebiasaan, (b)
pengetahuan dan pengertian, (c) sikap dan cita-cita. Masing-masing
jenis hasil belajar dapat diisi dengan bahan yang telah ditetapkan dalam
kurikulum. Sedangkan Gagne membagi lima hasil belajar, yakni (a) informasi
verbal, (b) keterampilan verbal, (c) strategi kognitif, (d) sikap, dan (e)
ketrampilan motoris.
Dalam
dalam sistem pendidikan nasional rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan
kurikuler maupun tujuan instraksional, menggunakan klasikfikasi hasil belajar
dari Benyamin Bloom yang secara garis besar membaginya menjadi tiga ranah yakni
ranah kognitif, ranah efektif, dan ranah pisikmotoris (Nana Sudjana, 2002:22).
Ranah
kognitif berkenan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam
aspek, yakni pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis sintensis,
dan evaluasi. Ranah efektif berkenan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek,
yakni penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian, organisasi, dan
internalisasi. Ranah psikomotoris berkenan dengan hasil belajar
ketrampilan dan kemampuan bertindak. Ada enam aspek ranah psikmotoris,(a)
gerakan refleks, (b) keterampilan gerakan dasar, (c) kemampuan perseptual, (d)
keharmonisan atau ketepataan, (e) gerakan keterampilan, (f) gerakan ekspresif
dan interpretatif.
Berdasarkan
konsep di atas maka dapat diperoleh suatu pengertian bahwa hasil belajar IPS
adalah kemampuan yang dimiliki oleh siswa setelah belajar, yang wujudnya berupa
kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor. Derajat kemampuan yang diperoleh
siswa diwujudkan dalam bentuk nilai hasil belajar IPS.
5.2 Kurikulum IPS di
Perancis
Subjects - in the seconde
Semua siswa di akhir pelajaran pokok
di Perancis, dalam seconde kelas the lycée d'enseignement
générale et technologique (LEGT), mengikuti suatu kurikulum umum;
karena yang akhir tahun kedua (post-compulsory) siswa memilih
kuliah pokok spesialis yang tergantung pada kecakapan yang spesifik yang mereka
putuskan. Pelajaran di seconde pada umumnya meliputi pokok / wajib. para siswa
memilih pelajaran pokok yang disajikan.
Mata pelajaran pokok
- Bahasa Perancis;
- Matematika;
- Ilmu
fisika Dan Ilmu kimia;
- Ilmu pengetahuan Bumi;
- Bahasa asing modern;
- Sejarah dan geografi;
- Pendidikan jasmani dan
olahraga; an
- Pendidikan
Kewarganegaraan, Hukum, dan Pendidikan social (Social Studies)
Ditambah
dengan:
- Dukungan Individual
(Individual support)
- Teknologi Informasi
(Information technology)
- Jam Kelas (Class hours)
- Workshop Ekspresi Seni/Artistik
(Artistic expression workshops)
- Praktek sosial budaya Social
and cultural practices)
Pendidikan Kewarganegaraan
Pada tingkat sekolah menengah
dinamakan "education civique, juridique et sociale" (civic, legal
and social education). Ini mengarahkan untuk mencerminkan arti
penting Pemerintahan pada warganegara nya mempunyai suatu pengetahuan hukum dan
sistem yang undang-undang yang sah. Silabus dirancang untuk memungkinkan para
siswa untuk berdebat sosial dari sudut pandang pelajaran sebelumnya mereka. Di
seconde, pelajaran kewarga negaraan pendidikan mempunyai empat tema utama:
·
Kewarga
negaraan Dan Civility/Incivilas
·
Kewarga
negaraan Dan Integration/Exclusion (dengan tema kebangsaan)
·
Kewarganegaraan,
hukum dan hubungan di tempat kerja
·
Kewarga
negaraan dan kehidupan keluarga
Karena
yang akhir tahun ke dua pendidikan sekunder tema yang luas di dalam tem diskusi
adalah 'institutions and citizenship in practice' and 'citizenship in a
changing world'.
Pendidikan religius
Di Perancis pelajaran agama tidaklah
diajar sebagai pokok disekolah walaupun mungkin saja di lain area kurikulum.
Satu-Satunya perkecualian adalah di Upper Rhine, Lower Rhine, and Moselle
départements , yang sudah bertahan sejak tahun 1918. Pendidikan
Perancis mengumumkan program acara baru untuk pelajaran religius untuk sekolah.
Program acara yang baru tidak memperkenalkan studi religius sebagai pokok
tetapi lebih memperkuat topik pengintegrasian seluruh kurikulum. diarahkan
untuk memperluas pemahaman dan pengetahuan peristiwa dunia siswa dan
budaya.
Pengaturan waktu belajar
the
seconde class of the lycée d'enseignement générale et
technologique
(LEGT)
Compulsory subject
|
Weekly allocation, hours
|
French
|
4
+ (0.5 Mod)
|
Mathematics
|
3
+ (1 Mod)
|
Physics, chemistry
|
2
+ (1.5)
|
Earth and life sciences
|
0.5
+ (1.5)
|
First modern foreign
language |
2
+ (1 Mod)
|
History, geography
|
3
+ (0.5 Mod)
|
Physical education and sport
|
2
|
Civic, legal and social
education |
(0.5)
|
Plus:
|
|
Individual support
|
2 hours per week
|
Information technology
|
18 hours per year
|
Class hours
|
10 hours per year
|
Artistic expression workshops
|
72 hours per year
|
Social and cultural practices
|
72 hours per year
|
5.3 New Jersey (Standar Isi Core
Curriculum New Jersey)
Tujuan IPS
Menyediakan para siswa dengan
pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang diperlukan untuk menjadi aktif,
menguasai informasi, warganegara bertanggung jawab dan berkontribusi terhadap
masyarakatnya.
Kompetensi yang
harus dimiliki siswa dari IPS
a.
Memperoleh
suatu pemahaman dan apresiasi dasar tentang Tradisi dan nilai Amerika
berdasarkan pada pengetahuan sejarah dan pengembangan dan berfungsinya sistem
pemerintah konstitusional Amerika
b.
Mengembangkan
keterampilan berpikir kritis yang memungkinkan mereka melaksanakan fungsi
pembelajaran sepanjang hayat dan menguji serta mengevaluasi isu penting untuk
seluruh Amerika.
c.
Memperoleh
literacy dasar di dalam disiplin inti social studies dan memiliki
pemahaman yang dasar yang diperlukan untuk menerapkan pengetahuan ini untuk
hidup mereka sebagai warga negara.
d.
Memahami
sejarah dunia sebagai konteks untuk sejarah amerika serikat dan sebagai record/
catatan kultur dan peradaban yang besar masa lalu dan sekarang
e.
Berpartisipasi
dalam aktivitas yang meningkatkan kebaikan umum dan meningkatkan kesejahteraan
umum
Keterampilan
IPS
Semua siswa
akan menggunakan pemikiran historis, pemecahan masalah, suatu ketrampilan riset
untuk memaksimalkan pemahaman terhadap pelajaran kewarganegaraan,
sejarah, geografi, dan ekonomi.
Pada Akhir
Kelas 2, Para Siswa Akan:
a.
menjelaskan
konsep [panjang/lama]yang lalu dan jauh sekali
b.
[menerapkan/berlaku]
terminologi berhubungan dengan waktu termasuk masa lampau, [kini/hadir], dan
masa depan
c.
mengidentifikasi
sumber informasi terpasang lokal, nasional dan internasional peristiwa
d.
menceritakan
[kepada] kembali peristiwa atau cerita dengan ketelitian dan peruntunan
e.
mengembangkan timelines sederhana
Pada Akhir Kelas 4, Para Siswa Akan
a.
menjelaskan
bagaimana peristiwa [kini/hadir] dihubungkan terhadap masa lampau
b.
menerapkan
terminologi berhubungan dengan waktu meliputi tahun, dekade, berabad-abad, dan
generasi.
c.
menempatkan
sumber untuk informasi yang sama i (ramalan cuaca di tv,internet
atau surat kabar)
d.
mengorganisir
peristiwa di (dalam) suatu garis waktu
e.
membedakan
antara suatu sumber langsung dan sumber sekunder dari suatu peristiwa
f.
membedakan fakta dari fiksi
Pada Akhir
Kelas 6, Para Siswa Akan
b.
meneliti
bagaimana peristiwa terkait dari waktu ke waktu
c. menggunakan
keterampilan berpikir kritis berpikir ketrampilan untuk menginterpretasikan
peristiwa, mengenali penyimpangan, pandangan, dan konteks
d.
menilai
kredibilitas sumber utama (primar) dengan sumber sekunder
e.
menganalisis
data dalam rangka melihat orang dan peristiwa di dalam konteks
f.
menguji isu,
peristiwa, atau tema sekarang dan menghubungkannya dengan peristiwa yang lampau
Pada Akhir
Kelas 8, Para Siswa Akan
a.
merumuskan
pertanyaan mendasarkan pada kebutuhan informasi
b.
menggunakan
strategi efektif untuk menempatkan informasi
c.
membandingkan
dan mengkontraskan penafsiran ttg peristiwa sekarang dan peristiwa historis
Pada Akhir
Kelas 10, Para Siswa Akan
a.
menginterpretasikan
peristiwa dengan mempertimbangkan kesinambungan dan perubahan,
kekhilafan dan kesalahan, dan mengubah penafsiran sejarawan
b.
menciri fakta
dari fiksi dengan membandingkan sumber tentang figur dan peristiwa dengan
karakter fictionalized dan peristiwa
c.
meringkas
informasi dalam tulisan, grafis, dan format lisan
Pada Akhir
Nilai/Kelas 12, Para Siswa Akan
a.
meneliti
bagaimana peristiwa historis membentuk dunia modern
b.
merumuskan
pertanyaan dan hipotesis
c.
menyatukan,
menganalisis informasi dari sumber primer dan sekunder untuk
mendukung atau menolak hipotesis
d.
menguji data
sumber di dalam konteks historis, sosial, politis, mengenai ilmu bumi, atau
konteks ekonomi di mana dikreasikan, menguji kredibilitas dan mengevaluasi
bias.it apakah
e.
engevaluasi isu
sekarang, peristiwa, atau tema dan melacak evolusi mereka melalui periode
historis
f.
menerapkan
keterampilan problem-solving untuk memecahkanmasalah nasional, negara,
atau lokal
g.
menganalisis
perubahan sosial, politis, dan budaya dan mengevaluasi dampak
masing-masing pada peristiwa dan isu lokal, negara, nasional dan internasional
h.
mengevaluasi
komunikasi historis dan kontemporer untuk mengidentifikasi akurasi
fakta, ketelitian bukti, dan ketidakhadiran bias dan
mendiskusikan strategi yang digunakan oleh pemerintah, politis calon, dan media
untuk komunikasi dengan masyarakat.
Dari grade 2
sampai 12 keterampilan atau kompetensi social studies menunjukkan
kontinuitas atau kesinambungan antar level dalam esensial komptenesi yang
diharapkan. Disamping itu menunjukkan semakin tinggi level, semakin tinggi dan
mendalam pula keterampilan yang diharapkan siswa pada pelajaran social
studies. Social Studies diajarkan di Amerika Serikat pada semua
jenjang pendidikan. Pada jejang sekolah menengah meliputi Civics, Ekonomi,
Geografi, dan Sejarah yang diajarkan pada semua jenjang kelas.
Proses pembelajaran menuntut
keterlibatan peserta didik secara aktif dan bertujuan agar penguasaan dari
kognitif , afektif, serta psi-komotorik terbentuk pada diri siswa (Moh. Amin,
1987:42), maka alat ukur hasil belajarnya tidak cukup jika hanya dengan tes
obyektif atau subyektif saja. Dengan cara penilaian tersebut keterampilan siswa
dalam melakukan aktivitas baik saat melakukan percobaan maupun menciptakan
hasil karya belum dapat diungkap. Demikian pula tentang aktivitas siswa selama
mengerjakan tugas dari guru. Baik berupa tugas untuk melakukan perco-baan,
peragaan maupun pengamatan.
Penilaian merupakan bagian yang
tidak dapat dipisahkan dari tujuan pendidikan dasar maupun penyelenggaraan
kegiatan belajar mengajar. Tujuan pembelajaran yang dirumuskan pada langkah
awal pembelajaran digunakan sebagai acuan dalam kegiatan pem-belajaran dan
proses penilaian yang akan dilakukan. Menurut Davis (dalam Sudarsono Sudirdjo
dkk., 1991:94) tujuan tidak hanya merupakan arah yang dapat membentuk atau
mewarnai kurikulum dan memimpin kegiatan pen-gajaran, tetapi juga dapat
menyediakan spesifikasi secara terperinci bagi penyusunan dan penggunaan
teknik-teknik penilaian. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan
pembelajaran yang dirumuskan secara je-las dan spesifik akan menunjang proses
penilaian yang tepat dan dapat membantu di dalam menetapkan kualitas dan
efektivitas pengalaman belajar siswa.
BAB III
STUDI KOMPARATIF PENDIDIKAN IPS
3.1 Studi Komparatif
pendidikan IPS
Pendidikan IPS adalah pendidikan
yang penuh tantangan tetapi tetap kerdil karena landasan filosofis esensialisme
dan perenialisme yang digunakan. Berdasarkan filosofi ini maka peserta didik
IPS hanya belajar pengetahuan yang sudah jadi sebagaimana terdapat di dalam buku
teks, terpisah dari sumber informasi primer yaitu masyarakat, dan tidak
berorientasi kepada lingkungan masyarakat terdekat. Model ECA yang kental
dengan prinsip dan dikembangkan Hanna tidak pernah mendapatkan perhatian
dan kajian lebih lanjut karena orientasi pendidikan yang lebih mementingkan
disiplin ilmu sebagai alat pengembangan intellectual skills. Desain kurikulum
“transfer of information” yang digunakan pendidikan IPS memang sesuai dengan
kedua filosofi tersebut tetapi sangat tidak sesuai dengan filosofi yang
menghendaki peserta didik mengembangkan berbagai social skills, communicative
skills, dan citizenship education
Sejak dikembangkan sistem pendidikan
sekolah formal di Amerika, setidak-tidaknya ada empat paradigma pendidikan yang
saling bersaing dan mengkritik, tetapi juga saling silang-kait antara yang satu
dengan yang lainnya (Lapp:1975). Salah satu paradigma yang dikenal adalah
paradigma klasik yaitu perennialisme dan esensialisme yang berasumsi
bahwa pendidikan sebagai aktivitas enkulturasi, pelestarian dan pewarisan
gagasan dan nilai-nilai lama dari generasi ke generasi, dikritik karena
memposisikan anak sebagai penerima pasif tanpa memiliki hak dan kebebasan
memilih dan tidak lebih dari sekedar tunnel education yang hanya
menyampaikan pengetahuan yang sudah fixed dan taken for granted
sebagai kebenaran.
Persoalan yang dihadapi oleh PIPS
sejak awal perkembangannya sampai sekarang berada pada tataran paradigmatik
(Lybarger, 1991; Fullinwider 1991; Brophy & Alleman, 1991; Hursh &
Ross, 2000; Winataputra, 2001) yaitu belum tercapainya visi bersama atau
konsensus profesional dan akademik di kalangan pakar tentang fitrah PIPS
sebagai salah satu model “pendidikan untuk anak” (social studies as
education for children). Beberapa pakar bidang PIPS melihat bahwa
munculnya persoalan dilematis yang berkaitan dengan “konflik internal”
komunitas PIPS tersebut melahirkan berbagai spekulasi diantaranya:
Ø Bidang kajian PIPS sendiri sudah
lama sekali disadari dalam keadaan carut marut. Pertentangan dalam definisi di
antara para pakar, fungsi yang tumpang tindih, kekaburan dalam landasan
filosofis, serta distorsikonseptual di kalangan para pemraktik PIPS di lapangan
sehingga ada indikasi kuat bahwa praktik PIPS sudah keluar dari jalur. (Barr,
Shermis, & Barth; 1978,1987).
Ø Konseptualisasi PIPS sarat
kepentingan (very Interested), tidak lepas dari perjuangan berbagai
kelompok kepentingan[2] di dalam masyarakat agar gagasan,
aspirasi dan kepentingannya dimasukkan sebagi inti kurikulum PIPS di sekolah. (Kliebard
dalam Lybarger, 1991; Brophy & Alleman, 1996).
Sistem pendidikan yang berlaku
(Rogers, 1989:11-17) gagal mempertemukan kebutuhan-kebutuhan nyata siswa dan
masyarakatnya karena sekolah umumnya masih sangat tradisional, konservatif,
kaku, birokratis, dan resisten terhadap perubahan. Dilema yang dihadapi oleh
dunia pendidikan, kata Rogers, juga akibat dari:
a) aturan-aturan sekolah yang
birokratis, sehingga para guru terikat oleh pendekatan tradisional dan
konvensional,
b) mengembangkan sistem pertahanan diri
(self-defeating system),
c) takut membuat kejutan (fear
making waves),
d) tidak tahu langkah-langkah yang
harus diambil untuk mengimplementasikan alternatif-alternatif yang
praktis.
Kalaupun ada sebagian guru yang mau
bersikap terbuka dan humanistik, mereka justru merasa sebagai orang yang
teralinasi dalam realitas sistem pendidikan yang masih konvensional. Hal ini
tentu saja menimbulkan keprihatinan dan juga pertanyaan di kalangan pakar PIPS
luar dan dalam negeri, seperti:
Ø Burke & Hill (1990:1)
Sejauh ini, para guru PIPS senantiasa diingatkan perlunya
memahami kecenderungan-kecenderungan mutakhir di dalam disiplin mereka (PIPS).
Reformasi kurikulum, pelatihan dan pelatihan ulang bagi guru, serta perubahan
sekuensi bidang kajian pun sudah diikhtiarkan untuk memecahakan masalah
kejenuhan, kesalahan persepsi dan relevansi… (akan tetapi) mengapa pula hingga
sejauh ini masih begitu banyak siswa sekolah dasar yang melihat PIPS sebagai
kajian yang tidak relevan tentang fakta-fakta, data-data dan
peristiwa-peristiwa?
Ø Stopsky & Lee (1994:xvii-xviii)
Mengapa gagasan-gagasan pembaharuan PIPS yang telah
dilakukan selama ini tidak juga membangkitkan minat dan harapan siswa bahkan
sejak masuknya PIPS dalam kurikulum sekolah masih ditemukan 10 mitos tentang
PIPS.[3]
Ø Fouts (1990:418)
Fakta dari perspektif gender, baik siswa laki-laki maupun
perempuan secara ekstrem sama-sama memiliki pandangan negatif terhadap PIPS.
Dari 1.174 siswa sampel, maksimal hanya 20-an persen saja yang menjadikan PIPS
sebagai mata pelajaran yang disukai. Penyebabnya antara lain karena
materi kurikulum, metodologi pembelajaran dan lingkungan kelas yang kurang
menarik, pasif, kurang menantang siswa untukbelajar dan terlalu sarat beban.
Ø Sumantri (2001)
Dari aspek proses, praktik PIPS baru sebatas transfer
informasi dan bahan hafalan, peranbuku teks dan guru sangat dominan (masih
menggunakan pendekatan ekspositorik/teacher talk oriented).
Ø Al-Muchtar (1991)
Dari aspek materi, PIPS dipandang kurang memuat masalah
sosial, budaya dana nilai dalam hidup keseharian anak, kurang dikemas sebagai “problematic
statement”, lebih berorientasi pada penguasaan struktur keilmuan daripada
realitas sosial budaya keseharian sebagai sumber nilai ajukan bagi anak,
terlalu sarat beban muatan, kurang sesuai dengan motivasi dan orientasi belajar
anak.
Ø Hasan (1996)
PIPS belum sepenuhnya mampu mengembankan kemampuan berpikir
tingkat tinggi dan pembentukan karakter atau kepribadian umum, sebagai dua hal
yang seharusnya menjadi kepedulian dalam pengembangan PIPS pada masa mendatang.
Ø Drost (2001:251-255)
Terjadi proses ideologisasi yang disebabkan oleh
kondisi internal mikro PIPS[4] dan kondisi eksternal makro yaitu politik
pendidikan nasional yang terlalu berorientasi pada sains dan teknologi, serta
mentalitas masyarakat Indonesia yang juga amat mementingkan ilmu eksakta dan
teknologi. Kondisi ini akhirnya berpengaruh pula terhadap minat dan hasrat
siswa untuk memilih PIPS sebagai bidang studi atau jurusan yang layak ditekuni.
Oleh karena itu PIPS perlu
dirumuskan dan dikembangkan dengan mempertimbangkan eksistensi siswa dan segala
kapasitas yang dimilikinya. Pengembangan dasar-dasar pemikiran dan program PIPS
juga sudah menjadi komitmen bersama di kalangan komunitas PIPS di berbagai
negara. HISPIPSI misalnya, sejak tahun 1989 hingga seminar nasionalnya tahun
2001 di Semarang, telah menjadikan pertimbangan minat, kepentingan, kebutuhan
atau tahapan perkembangan anak (psikologis) sebagai prinsip pedagogis utama
dalam pengembangan IPS-SD (Somantri, 2001). Sementara komunitas PIPS di Amerika
sebagai “centre of excellence” dalam pengembangan pemikiran PIPS juga
menegaskan bahwa anak perlu dijadikan sebagai salah satu basis pengembangannya
(psikologis, etis, moral) untuk mencapai tujuan-tujuan PIPS (pengetahuan,
sikap-nilai dan keterampilan) yang diharapkan.
Dalam dokumen PIPS pertama, “Statements
of Chairman of the Social Studies”, Thomas Jesse Jones selaku pimpinan
Komisi PIPS (Committee on Social Studies = CSS) 1913 menegaskan bahwa:
(PIPS) tidak dimaksudkan memberikan pengetahuan lengkap atau
mendetail kepada setiap anak, melainkan lebih pada upaya memberikan kepada
mereka arahan betapa signifikan materi tersebut bagi mereka…,sehingga dalam
diri mereka bangkit hasrat untuk mengerti lingkungannya. Juga membantu
mereka agar mampu berpikir sebagai warganegara (to think civically), dan
jika mungkin hidup sebagai layaknya warganegara (to live civically)…
(Saxe, 1991: 182, 184 dalam lampiran)
Komisi PIPS, NCSS dan Pakar PIPS,
sepakat bahwa konstruksi program PIPS perlu diorganisasi secara “sekuensial”
bermula dari lingkungan (institusi dan komunitas) sekitar, yang paling dekat
atau akrab dengan anak, hingga ke lingkungan yang paling jauh dan luas
(mendunia). Gagasan ini melahirkan sebuah konsepsi kurikulum dari Hanna
yang dikenal sebagai “expanding communities approach” atau Model
ECA (Hasan, 1996:145-146). Model ini digunakan untuk pendidikan sosial yang
mempersiapkan siswa terutama untuk berkiprah dalam masyarakat sebgai anggota
biasa suatu masyarakan dan bukan sebagai calon untuk dididik sebagai ilmuwan
atau tenaga kerja tingkat perguruan tinggi. Fokus kajiannya adalah
“sembilan aktivitas dasar manusia” (the nine basic human activities).
Namun model Hanna walaupun diakui
dan diformalkan oleh NCSS sebagai model kurikulum nasional PIPS, mendapat
kritik dari Ravitch (1996). Ravitch mengkritik bahwa model Hanna telah
menjadikan PIPS semacam “tot sociology” (sosiologi untuk
anak-anak) dan mengalami pengosongan (vuocusness) dan penyucian (sterility)
dari materi lokal. Atas keberatan dan penolakan Ravicth terhadap kurikulum
model Hanna di atas, Brophy & Alleman (1996) berasumsi bahwa kegagalan PIPS
sebagai program pendidikan sesungguhnya bukan pada kerangka berpikir yang
meletakkan konstruksi PIPS dalam konteks “expanding communities of men”,
melainkan lebih pada “cara topik-topik PIPS tersebut dipikirkan”.
Maksudnya, kekeliruan tadi terletak
pada cara pandang para pakar cenderung meletakkan topik-topik PIPS menurut
cara-cara berpikir ilmuwan sosial yang menganut prinsip “cultural universals”
dengan asumsi bahwa kebutuhan-kebutuhan dasar dan pengalaman-pengalaman sosial
manusia selalu ada dalam semua kelompok masyarakat sehingga para pakar
beranggapan bahwa siswa bisa mendapatkan pengertian mendasar atas konsep-konsep
atau prinsip-prinsip universalitas tersebut. Padahal yang esensial bagi siswa
adalah bagaimana memahamkan mereka tentang kerja sistem sosial berlangsung,
mengapa pula terdapat perbedaan-perbedaan dalam konteks geografis dan waktu,
serta bagaimana pula signifikansi kerja sistem sosial tersebut terhadap
keputusan-keputusan sosial yang harus diambil sebagai pribadi, anggota
masyarakat atau sebagai warga negara.
Untuk itu jika model Hanna akan
dikembangkan kembali dalam kurikulum PIPS, model tersebut memerlukan berbagai
modifikasi, elaborasi, dan pengayaan. Diperlukan pula perpaduan dengan suatu pendekatan
yang disebut “holistic-interactive approach”, agar anak dapat lebih
memperoleh suatu pandangan yang kompleks dan utuh atas dunianya (Parker,
1991:108). Diharapkan anak ada dalam posisi being itself sehingga muncul
pemikiran radikal dari aluran interksional yang mengasumsikan pendidikan
sebagai aktivitas interdependensi dan dialogis antara siswa dengan dunia nyata
untuk suatu kehidupan bersama yang lebih baik sebagai rumah budayanya (cultural
home), juga perlu mendapat perhatian. Tujuan akhirnya adalah
pembentukan meaning and identity bagi anak sendiri sebagai makhluk yang
memiliki kesadaran sosial dan kesadaran diri (Lapp, 1975). Program-program PIPS
haruslah dikembangkan berpusat pada diri siswa dan memberikan berbagai peluang
bagi mereka untuk menjadi partisipan aktif dan telibat dalam pembelajaran,
serta membelajarkan anak tentang keterampilan-keterampilan kewarganegaraan
secara aktif dan bertanggung jawabbukan hanya mendidik mereka untuk sekedar
menerima peran-peran sebagai warga negara pasif (Cleaf, 1991:ix).
Hal ini penting agar mereka bisa
mencapai tingkat pengertian yang sangat dibutuhkan agar mereka bisa berfungsi
secara efektif sebagai orang dewasa nanti yang mengharuskan mereka
mengembangkan karakter dasar kewarganegaraan agar bisa menjadi warganegara
efektif dan bertanggung jawab sebagai atribut mendasar bagi kelangsungan sebuah
masyarakat demokrasi dan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh
PIPS.
Pembelajaran IPS akan dimulai dengan pengenalan diri
(self), kemudian keluarga, tetangga, lingkungan RT, RW, kelurahan/desa,
kecamatan, kota/kabupaten, propinsi, negara, negara tetangga, kemudian dunia.
Anak bukanlah sehelai kertas putih yang menunggu untuk ditulisi, atau replika
orang dewasa dalam format kecil yang dapat dimanipulasi sebagai tenaga buruh
yang murah, melainkan, anak adalah entitas yang unik, yang memiliki berbagai
potensi yang masih latent dan memerlukan proses serta sentuhan-sentuhan
tertentu dalam perkembangannya. Mereka yang memulai dari egosentrisme dirinya
kemudian belajar, akan menjadi berkembang dengan kesadaran akan ruang dan waktu
yang semakin meluas, dan mencoba serta berusaha melakukan aktivitas yang
berbentuk intervensi dalam dunianya. Maka dari itu, pendidikan IPS adalah salah
satu upaya yang akan membawa kesadaran terhadap ruang, waktu, dan lingkungan
sekitar bagi anak (Farris and Cooper, 1994 : 46).
Pendidikan IPS disajikan dalam
bentuk synthetic science, karena basis dari disiplin ini terletak pada fenomena
yang telah diobservasi di dunia nyata. Konsep, generalisasi, dan temuan-temuan
penelitian dari synthetic science ditentukan setelah fakta terjadi atau
diobservasi, dan tidak sebelumnya, walaupun diungkapkan secara filosofis. Para
peneliti menggunakan logika, analisis, dan keterampilan (skills) lainnya untuk
melakukan inkuiri terhadap fenomena secara sistematik. Agar diterima, hasil
temuan dan prosedur inkuiri harus diakui secara publik (Welton and Mallan, 1988
: 66-67). Hal ini dikemukakan oleh Jhon Dewey, (dalam Numan, S,
dkk, 1997: 23) mengungkapkan bahwa: “Masalah yang utama dalam pengajaran sosial
ialah bagaimana menemukan bahwa pelajaran yang dapat memberikan dorongan siswa
untuk melakukan kegiatan-kegiatan yag cocok dengan waktu, kebutuhan serta
cita-cita peserta didik, karenanya guru seyogyanya berusaha mencari dan
merumuskan stimuli-stimuli yang mampu membina respon murid ke arah terciptanya
kecakapan intelektual dan pertumbuhan rasa yang dikehendaki. Untuk itu program pengajaran harus
mampu menyajikan masalah lingkungan kehidupan anak”.
Kalau kita perhatikan, banyak sekali
sumber daya potensial yang berada di sekolah yang dapat kita jadikan sebagai
sumber belajar. Di sekitar sekolah kita terdapat masjid, toko, pasar, kolam,
tempat rekreasi, kebun, pabrik, grup seni, dan lain-lainnya. Secara
fungsional itu semua dapat dimanfaatkan untuk kepentingan dalam proses belajar
mengajar siswa. “Secara umum, proses belajar mengajar dengan mengaplikasikan
lingkungan alam sekitar adalah upaya pengembangan kurikulum dengan
mengikutsertakan segala fasilitas yang ada di lingkungan alam sekitar sebagai
sumber belajar”. (Lily Barlia. 2002 : 2).
Penggunaan
lingkungan sebagai sumber belajar, akan memberikan pengetahuan nyata bagi
siswa, juga dimaksudkan untuk menghindari verbalisme, sebab menurut Piaget,
anak usia SD pada umumnya yaitu pada taraf anak belajar mengenal sesuatu
melalui benda yang nyata terlihat di lingkungan sekitarnya.
Pemanfaatan
lingkungan sebagai sumber belajar dapat mempermudah siswa menyerap bahan
pelajaran, lebih mengenal kondisi lingkungannya, menerapkan pengetahuan dan
keterampilan yang dipelajarinya, serta akrab dengan lingkungannya.
Dalam hal
ini Lily Barlia (2002: 1) menyatakan bahwa: “Kebiasaan untuk memanfaatkan
fasilitas yang tersedia di lingkungan sekitar dalam proses belajar mengajar
merupakan wujud proses belajar mengajar dengan pendekatan ekologi”.
Salah satu
tantangan mendasar dalam pengajaran IPS saat ini adalah bagaimana mecari
strategi pembelajaran yang inovatif yang memungkinkan meningkatnya mutu proses
pembelajaran. Perkembangan dan kemajuan IPTEK membuka kemungkinan siswa tidak
hanya belajar di dalam kelas akan tetapi peserta didik dapat belajar di luar
kelas. Dengan belajar di luar kelas peserta didik akan lebih leluasa menemukan
ide-ide yang diperoleh dari informasi berbagai sumber, melatih siswa utuk
memecahkan suatu masalah yang ada di masyarakat. Maka dengan demikian siswa
bisa secara kritis dan kreatif serta dapat melakukan aktivitas dalam belajar.
JJ. Rouseau,
(dalam Lily, B 2002: 3) menyatakan bahwa: “Anak-anak sebaiknya belajar langsung
dari pengalamannya sendiri, dari pada hanya mengandalkan perolehan informasi
dari buku-buku, guru pertamaku adalah kakiku, tanganku dan mataku, karena
dengan inderaku itu mengajariku berpikir”.
Hubungan timbal balik antara isi
bahan pengajaran dengan fakta, konsep dan generalisasi. Isi bahan pengajaran memberi
makna kepada fakta, konsep dan generalisasi, isi bahan pengajaran akan lebih
mudah dipahami dan lama diingat jika berfokus kepada gagasan kunci, seperti
konsep dan generalisasi. Dalam perkembangan IPS dewasa ini diakui bahwa
kekuatan pengajaran IPS itu terletak di dalam kemampuannya untuk mengungkapkan
sesuatu yang terintegrasi, menantang dan aktiv. Artinya materi IPS harus
berlandaskan nilai, mengungkapkan fakta, dan materi secara keseluruhan yang
esensial, terpadu (sebagaimana aspek-aspek dalam kehidupan manusia dan
melibatkan segenap potensi aktif siswa). Dengan demikian, IPS berkontribusi
kepada pengembangan keterampilan siswa (intelektual, personal, dan sosial)
adalah tanggung jawab guru sebagai pengembang kurikulum untuk mengolah materi
IPS ini agar memenuhi harapan seperti dikemukakan di atas.
3.2 Social skills, communicative skills, dan
citizenship education.
Ø Keterampilan
Sosial (Social Skills) dalam NCSS (1984:249) adalah
a) Keterampilan
dalam memperoleh informasi, (keterampilan membaca, keterampilan belajar,
mencari informasi, dan keterampilan dalam menggunakan alat-alat teknologi),
b) Keterampilan
yang berkaitan dengan hubungan sosial serta partisipasi dalam masyarakat
(keterampilan diri yang sesuai dengan kemampuan dan bakat, bekerja sama,
berpartisipasi dalam masyarakat)”.
Keterampilan sosial yang perlu dimiliki
oleh peserta didik (Marsh Colin dalam Nana Supriatna (2002:15)
adalah: keterampilan memperoleh informasi, berkomunikasi, pengendalian
diri, bekerja sama, menggunakan angka, memecahkan masalah, serta keterampilan
dalam membuat keputusan.
Ø Keterampilan
berkomunikasi (communicative skills) adalah Kemampuan untuk
menyampaikan informasi dari komunikator kepada komunikan dengan menggunakan
media dan cara penyampaian informasi yang dipahami oleh kedua pihak, serta
saling memiliki kesamaan arti lewat trasnsmisi pesan secara simbolik.
(Marpaung, 2001:5). Di dalam komunikasi hal ini diperlukan karena manusia
memiliki naluri untuk berinteraksi, berhubungan dan bergaul dengan sesamanya
sejak dilahirkan sampai sepanjang hidupunya. Interaksi dapat semakin bertambah
sejalan dengna semakin meluasnya pergaulan dan seiring dengan bertambahnya
usia.
Mengkomunikasikan pokok pikiran maupun
hasil temuan dalan PIPS dapat dilakukan secara langsung secara lisan dan dapat
pula melalui pemanfaatan media melalui latihan yang rutin (Hasan, 1996:230).
Seseorang akan dikatakan berhasil dalam komunikasi jika dapat memperhatikan dua
hal berikut:
1. Kemauan dan
keberanian untuk mengemukakan hasil.
2. Kemampuan untuk
mengemukakan hasil
Suatu kenyataan yang harus disadari
oleh guru-guru IPS melihat kenyataan budaya yang berlaku di Indonesia bahwa
guru selalu benar, orang tua harus dihormati dan tidak boleh bersilang pendapat
dengan orang yang lebih tua.
Ø Dalam konteks
pemikiran PIPS sebagai Pendidikan Kewarganegaraan (citizenship education)
dalam Sunal (1991:290) berargumentasi bahwa di rumah, anak belajar
menjadi warga masyarakatnya. Tatkala dia masuk sekolah mereka sudah siap
mengembangkan pengertiannya tentang peran-peran sosial di rumahnya, berhubung
dengan teman-temannya, dan sebagai warga masyarakatnya. Rumah memberikan
pengaruh pertama dalam pembentukan pengertian anak tentang peran-peran yang
saling berkaitan, keragaman di dalam intensitas dan arti pentingnya sesuai
dengan usia anak .... pengaruh rumah sangat kuat .... di rumah anak belajar
bagaimana mencapai sesuatu ; berhubungan dengan orang lain ; berinisiatif dan
mengukuhkan hubungan-hubungan sosialnya ; berhubungan dengan yang lain dari
anggota keluarga mereka secara rasial, ekonomi, atau budaya ; hidup
sebagai pribadi bermoral ; ..... ini menegaskan bahwa para pendidik PIPS
memahami dan menyadari betapa kuat dan berlanjutnya pengaruh keluarga,
saudara-saudara mereka, serta lingkungan rumah, dalam menciptakan konsepsi anak
mengenai peran-peran dirinya sebagai seorang warga negara.
Ø Pendidikan
ilmu-ilmu sosial perlu mengembangkan aspek sikap, nilai, dan moral, dasarnya
adalah ”tidak ada disiplin ilmu yang bekerja dalam suasana value and moral
free (Nagel, 1961 ; Hasan, 1977 ; Lincoln dan Guba, 1985 ; Trigg, 1991).
Bahwa selama ilmu itu dikembangkan, maka tidak mungkin ilmu bebas dari orang
yang mengembangkannya. Sebagai manusia selalu terikat nilaidanmoral yangberlaku
di masyarakat. selain itu kedudukan ilmu-ilmu sosial sebagai wahana untuk
menarik perhatian generasi muda sehingga bagaimana mereka tertarik belajar ilmu
sosial. Khususnya berhubungan dengan kedudukan ilmu-ilmu sosial sebagai wahan
pendidikan, ia memiliki tugas mengembangkan kepribadian siswa yang utuh dan
sesuai dengan tuntutan masyarakat. Yang pada akhirnya sikap, nilai, danmoral
dapat dikembangkan pendidikan ilmu-ilmu sosial adalah (Hasan, 1996:114-116):
· Pengetahuan dan
pemahaman tentang nilai dan moral yang berlaku dalam masyarakat seperti
religius, penghormatan terhadap keteladanan, prestasi, sifat kepedulian sosial,
menghormati orang tua, kepedulian terhadap tetangga, dan sebagainya.
· Toleransi.
· Kerja sama /
gotong royong.
·
Hak azasi
manusia
3.3 Jenis Kecakapan
Hidup
Kecakapan hidup
dapat dikategorikan menjadi dua yaitu kecakapan dasar dan kecakapan
instrumental/fungsional Kecakapan dasar adalah ekcakapan yang bersifat
universal dan merupakan fondasi/pilar bagi peserta didik untuk bisa
mengembangkan kecakapan hidup yang bersifat instrumental/fungsional. Sedang
kecakapan hidup yang bersifat instrumental adalah ekcakapan hidup yang bersifat
kondisional dan dapat berubah-ubah sesuai dengan derap perubahan waktu,
situasi, dan harus diperbarui secara terus menerus sesuai dengan perubahan .
Mengingat perubahan kehidupan berlangsung secara terus menerus, maka kecakapan
yang mutakhir, adaptif dan antisiaptif. Oleh karena itu prinsip belajar sekali
tidak perlu belajar algi, sudah tidak relevan.
Slamet (http://pelangi.dit-plp.go.id/artikelmbs.htm)
mengidentifikasi kategori dimensi hidup bersifat dasar dan instrumental
yang dirinci sebagai berikut:
a. Kecakapan
Dasar
1) Kecakapan belajar terus
menerus
2)
Kecakapan membaca, menulis, dan mendengar
3) Kecakapan
berkomunikasi secara lisan, tertulis, tergambar.
4) Kecakapan berfikir induktif, deduktif,
ilmiah, nalar, kritis, kreatif, literal, eksploratif, diskoveri, dan
berpikir sistem.
5)
Kecakapan kalbu: spiritual, emosional, rasa, moral, dsb.
6)
Kecakapan mengelola kesehatan badan
7) Kecakapan
merumuskan kepentingan dan upaya-upaya yang diperlukan untuk memenuhinya, dan
8) Kecakapan
berkeluarga dan bersosial.
b. Kecakapan
Instrumental/Fungsional
1)
Kecakapan menggunakan dan memanfaatkan teknologi dalam kehidupan
2) Kecakapan
mengelola sumber daya manusia dan sumber daya selebihnya, (peralatan,
perlengkapan, bahan, dsb)
3)
Kecakapan bekerjasama dnegan orang lain
4)
Kecakapan memanfaatkan informasi
5)
Kecakapan menggunakan sistem dalam kehidupan
6)
Kecakapan berwirausaha
7)
Kecakapan keterampilan kejuruan, termasuk olah raga dan seni (cita rasa).
8) Kecakapan
memilih, menyiapkan, dan mengembangkan karir
9)
Kecakapan menjaga harmoni dengan lingkungan (fisik dan nirpisik)
10)
Kecakapan menyatukan bangsa berdasarkan nilai-nilai Pancasila
3.4 Model
Pengembangan
Berdasarkan
hasil kajian terhadap handout “12a-life-skill-hongkong.pdf” dapat
dideskripsikan beberapa hal yang berkaitan dengan life skills Kurikulum
Hongkong sebagai berikut:
Terdapat sebelas tema yang berkaitan
dengan lifeskills kurikulum Hongkong , yaitu:
1. Ikhtisar Perubahan
Kurikulum– Refleksi Kekuatan dan menjadi siap untuk tindakan
2. Seluruh
perencanaan kurikulum sekolah– Menuju keberhasilan mencapai tujuan
belajar dan target jangka pendek pengembangan kurikulum sekolah
3. Empat tugas
pokok– Menuju keberhasilan pembelajaran untuk belajar
4. Belajar dan
Mengajar efektif– Akting untuk mencapai
5. Kebijakan
Sekolah atas penilaian– Mengubah praktek penilaian.
6. Belajar
Life-Wide – Memperkaya pelajaran melalui pengalaman asli
7. Mutu sumber
belajar dan mengajar dan pengembangan perpustakaan sekolah- membawa
pembelajaran efektif
8. Pekerjaan rumah
penuh arti– Memperkuat pelajaran, memperdalam pemahaman dan membangun
pengetahuan.
9. Hubungkan pada
berbagai tingkatan pendidikan yang diterima di sekolah–mendukung transisi
10. Pengembangan professional pengembangan
dan pengembangan kurikulum berbasis sekolah, menopang dan meningkatkan
kapasitas untuk perubahan.
11. Kontribusi
dari pesta yang berbeda – Partnerships untuk pertumbuhan.
1. Ikhtisar
Perubahan Kurikulum– Refleksi Kekuatan dan menjadi siap untuk tindakan, meliputi:
Kurikulum sekolah terdiri drai:
Tujuh tujuan
belajar:
a. Tanggung jawab
b. identitas
nasional
c. kebiasaan
membaca
d. keterampilan
bahasa
e. keterampilan
belajar
f.
pengetahuan
luas
g. gaya
hidup sehat.
Lima pengalaman
belajar, meliputi:
- Pendidikan
Moral dan kewarganegaraan
- Pengembangan
intelektual
- Pelayanan
masyarakat
- Pengembangan
fisik dan estetik, dan
- Karir
berkaitan pengalaman
Delapan kunci
area belajar, meliputi :
- Pendidikan
Fisik
- Pendidikan
Seni
- Pendidikan
Teknologi
- Pendidikan
Sains,
- Pendidikan
Personal, Sosial, dan Humanities
- Pendidikan
matematika
- Pendidikan
Bahasa Inggris, dan
- Pendidikan
bahasa Cina.
Tujuh tujuan belajar, 5 pengalaman
belajar, dan 8 kunci area belajar semuanya dalam upaya mengembangkan:
a. Generic skills, yaitu :
1) Keterampilan komunikasi
2) Keterampilan
berpikir kritis dan kreatif,
3) Keterampilan
kolaborasi
4) Teknologi
informasi
5) Numeracy
6) Problem
solving,
7) Manajemen diri,
dan
8) Studi
(belajar);
b. Nilai dan Sikap, yaitu:
1) Ketekunan
2) Respect
terhadap orang lain
3) Tanggung jawab
4) Identitas
nasional
5) Komitmen
2.
Empat tugas kunci, meliputi:
a. Pendidikan Moral &
Kewarganegaraan
b. Membaca untuk belajar,
c. Teknologi Informasi untuk
belajar interaktif,
d. Belajar project.
Penguatan sekolah Hongkong,
refleksi dan praktek, meliputi :
a. penguatan
budaya dan masyarakat, meliputi: usaha belajar adalah usaha bersama dan nilai
dalam masyarakat, ekspektasi tinggi untuk mutu pendidikan, prioritas utama
pendidikan, nilai orang tua terhadap pendidikan sekolah, lebih banyak sumber
masyarakat untuk pendidikan, mengekspose beberapa stimulus eksternal dan ide.
b. Penguatan
Departemen pendidikan, sekolah, dan guru, meliputi penguatan sekolah itu
sendiri; guru bekerja dengan rajin, guru sangat baik dalam membuat yang terbaik
untuk pengajaran di kelas, guru dengan rajin mengetahui dengan baik
subjek kurikulum, masing-masing inovasi kurikulum memperkenalkan di masa
lalu telah menyajikan pengalaman bermanfaat untuk perubahan untuk
membangun, masyarakat peneliti pendidikan membuat langkah cepat dalam output
penelitian selama 10 tahun terakhir.
c. Penguatan siswa
, meliputi: kemampuan akademik tinggi dan pengembangan seluruh aspek, berkeinginan
belajar dan mempunyai potensi luar biasa untuk belajar
d. Belajar dan
Mengajar efektif – Akting untuk mencapai, meliputi Prinsip untuk tindakan &
mengacu pada KLA spesifik, memperhatikan keanekaragaman siswa, menyediakan
layanan khasus untuk siswa yang kemampuannya di bawah rata-rata dan yang
berbakat.
e. Kebijakan
Sekolah atas penilaian– Mengubah praktek penilaian, meliputi hubungkan
dengan prioritas golongan, selektif untuk menilai, model penilai beraneka
ragam, umpan balik kualitatif yang lebih banyak
f. Belajar
Life-Wide – Memperkaya pelajaran melalui pengalaman asli, meliputi Life-Wide
belajar dan 5 belajar pengalaman, emphases pada Langkah Kunci
masing-masing, memeprtimbangkan Kunci untuk perencanaan LWL, dna isu
g. Mutu sumber
belajar dan mengajar dan pengembangan perpustakaan sekolah- membawa
pembelajaran efektif, meliputi seleksi buku teks, pengoperasian perpustakaan
sekolah, peran guru perpustakaan.
h. Pekerjaan rumah
penuh arti– Memperkuat pelajaran, memperdalam pemahaman dan membangun
pengetahuan, meliputi hubungan antara Pekerjaan Rumah, belajar mengajar dan
penilaian, PR efektif, frekuensi dan kuantitasnya, petunjuk dan umpan balik PR,
kebijakan sekolah, dan peran orang tua.
i. Hubungkan pada
berbagai tingkatan pendidikan yang diterima di sekolah–mendukung transisi,
meliputi peningkatan praktek kurikulum, dan pendekatan kooperatif dan
komprehensif, program acara menyeluruh, induksi sebelum istilah mulai, mata rantai
kurikulum sesuai, informasi komprehensif untuk siswa, pilihan subject sesuai
dengan minat dan kemampuan siswa.
10. Pengembangan professional pengembangan
dan pengembangan kurikulum berbasis sekolah, menopang dan meningkatkan
kapasitas untuk perubahan. Hal ini meliputi pengetahuan guru: untuk praktek, di
dalam praktek, dan tentang praktek, auditing, rencana pengembangan staff
strategis, kursus yang ditetapkan;perbaiki, wktu persiapan
pelajaran kolaboratif, penelitian tindakan dan praktek reflektif.
11. Kontribusi dari pihak yang berbeda – Partnerships
untuk pertumbuhan, meliputi siswa, guru, kepala sekolah, guru perpustakaan,
orang tua, dan masyarakat.
Jika
membandingkan core curriculum Canada, Life Skills kurikulum Hongkong
dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi IPS, maka diperoleh persamaan, bahwa
ketiganya mengembangkan kompetensi tertentu yang harus dikuasai siswa, artinya
menggunakan model ”outcome-based curriculum”.
Akan tetapi
terdapat perbedaan dalam pengembangan struktur kurikulum, di Canada disamping
dikembangkan kompetensi untuk 7 mata pelajaran yang diajarkan di sekolah yaitu
bahasa, matematika, sains, pendidikan kesehatan, pendidikan seni dan pendidikan
olah raga, juga dikembangkan core curriculum atau common essential
learnings (C.E.L.S) yang perlu dikembangkan dan disatukan ke dalam tujuh
bidang studi tersebut. Keenam common essential learnings ini merupakan
area yang saling berhubungan yang berisi pengetahuan, ketrampilan, sikap, dan
kemampuan dasar yang harus dimiliki siswa dalam kehidupan sehari-hari,
meliputi komunikasi (communication), kemampuan dalam
matematika (numeracy), berpikir kritis dan kreatif (critical
and creative thinking), melek teknologi (technology literacy),
nilai dan keterampilan personal dan sosial (personal and social values and
skills), belajar mandiri (independent learning). Sehingga pada
setiap mata pelajaran, disamping mengembangkan kompetensi mata pelajarannya
juga harus dipadukan dengan pengembangan common essential learnings yang
berguna bagi kehidupan siswa sehari-hari.
Dalam life
skills kurikulum Hongkong, struktur kurikulum meliputi 8 mata pelajaran yaitu :
Pendidikan Fisik
, Pendidikan Seni, Pendidikan Teknologi, Pendidikan Sains, Pendidikan Personal,
Sosial, dan Humanities, Pendidikan matematika, Pendidikan Bahasa Inggris, dan
Pendidikan bahasa Cina. Di dalam kedelapan mata pelajaran tersebut selain
mengembangkan tujuan masing-masing mata pelajaran, juga hendaknya mengusung
tujuan belajar meliputi tanggung jawab, identitas nasional,
kebiasaan membaca, keterampilan bahasa, keterampilan belajar,
pengetahuan luas, dan gaya hidup sehat. Dan melalui lima pengalaman belajar
meliputi: Pendidikan Moral dan kewarganegaraan, Pengembangan intelektual,
Pelayanan masyarakat, Pengembangan fisik dan estetik, dan Karir berkaitan
pengalaman. Kesemua itu dalam upaya mengembangkan life skills peserta didik
yang meliputi:
a. Generic skills, yaitu :
- Keterampilan
komunikasi
- Keterampilan
berpikir kritis dan kreatif,
- Keterampilan
kolaborasi
- Teknologi
informasi
- Numeracy
- Problem
solving,
- Manajemen
diri, dan
- Studi
(belajar);
b. Nilai dan Sikap, yaitu:
- Ketekunan
- Respect
terhadap orang lain
- Tanggung
jawab
- Identitas
nasional
- Komitmen
Life skills tersebut merupakan
keterampilan yang harus dikuasai oleh peserta didik sebagai bekal bagi
kelangsungan hidup.
Dalam kurikulum
berbasis kompetensi tidak secara tegas dikembangkan common essential
learnings seperti di Canada atau life skills kurikulum Hongkong,
tetapi menggunakan istilah lain yaitu standar kompetensi lintas kurikulum yang
sebenarnya hampir sama dengan common essensial learning Canada, Life
Skills di Hongkong merupakan kecakapan untuk hidup (lifeskills)
dan belajar sepanjang hayat yang dibakukan dan harus dicapai oleh peserta didik
melalui pengalaman belajar.
Perbedaannya,
dalam implementasi KBK di Indonesia, setiap mata pelajaran seolah-olah membawa
kompetensinya sendiri-sendiri terpisah dengan kompetensi mata pelajaran lain
dan juga terpisah dari tujuan mengembangkan kemampuan dasar yang penting bagi
hidup siswa sehari-hari. Misalnya dalam kurikulum IPS kurang dikembangkan
kemampuan dasar reading habits (kebiasaan membaca), keterampilan
berpikir kritis dan kreatif, melek teknologi. kemampuan numerik, dan motivasi
belajar mandiri. Di samping itu IPS tidak menerapkan pendekatan Science,
Technology, and Society (sains, teknologi, dan masyarakat), dimana dalam
pembelajaran IPS seolah terjauh dari materi sains dan teknologi karena dianggap
bukan garapan IPS tetapi garapan IPA dan pelajaran TIK. Sebaliknya dalam
mata pelajaran lain, misalnya IPA terjauh dari upaya mengembangkan pengetahuan,
sikap dan keterampilan sosial. Sebenarnya kemampuan tersebut hendaknya
dikembangkan oleh seluruh mata pelajaran.
Akan tetapi,
KBK di Indonesia memiliki kelebihan karena lebih menerapkan rancangan kurikulum
yang didasarkan pada konsep kompetensi secara luas yaitu bertujuan
mengembangkan kemampuan pendidikan meliputi : kecakapan, kebiasaan,
keterampilan yang diperlukan seseoramg dalam kehidupannya, baik sebagai
pribadi, warga masyarakat, siswa dan karyawan. Sehingga bertujuan menerapakan
pedidikan sebagai Life Skill. Sehingga KBK bertujuan tidak sekedar
sebagai “seperangat kemampuan semata” namun menerapkan kompetensi secara luas.
Namun kelemahan KBK di indonesia ini adalah kurang feasible-nya untuk
penerapan di Indonesia dikarenakan : kultur dan adminisrasi kurikulum
sebelumnya yang belum diterapkan secara konsisten, kelemahan yang lain adalah
tidak disiapkan secara bertahap sehingga kesiapan guru dalam melakukan
kreatifitas pernacangan kurilukulum belum siap. Dikarenakan ketidaksiapan guru
dalam menyusun kurikulum sehingga pada akhirnya lebih untuk statis dan
menggunakan content-content lama dalam pengajarannya. Sehingga ada paradigma
baru yang menyatakan bahwa KBK merupakan kurikulum lama, padahal ini semua
terjadi karena ketidakmengertian GURU dan implementasi yang terlalu prontal.
3.4
Hahikat
dan tujuan pendidikan IPS
Hakikat IPS, adalah telaah tentang
manusia dan dunianya. Manusia sebagai makhluk sosial selalu hidup bersama
dengan sesamanya. Dengan kemajuan teknologi pula sekarang ini orang dapat
berkomunikasi dengan cepat di manapun mereka berada melalui handphone dan
internet. Kemajuan Iptek menyebabkan cepatnya komunikasi antara orang yang satu
dengan lainnya, antara negara satu dengan negara lainnya. Dengan demikian maka
arus informasi akan semakin cepat pula mengalirnya. Oleh karena itu diyakini
bahwa “orang yang menguasai informasi itulah yang akan menguasai dunia”.
Suatu tempat atau ruang dipermukaan
bumi, secara alamiah dicirikan oleh kondisi alamnya yang meliputi iklim dan
cuaca, sumber daya air, ketinggian dari permukaan laut, dan sifat-sifat alamiah
lainnya. Jadi bentuk muka bumi seperti daerah pantai, dataran rendah, dataran
tinggi, dan daerah pegunungan akan mempengaruhi terhadap pola kehidupan
penduduk yang menempatinya. Lebih jelasnya Anda dapat mencermati contoh berikut
ini.
• Corak kehidupan
masyarakat di tepi pantai utara Jawa yang bentuknya landai dengan laut yang
tenang dan tidak begitu tinggi serta arus angin yang tidak begitu kencang,
sangat menguntungkan bagi masyarakat untuk mencari ikan. Hal ini disebabkan
ikan banyak berkumpul di kawasan laut yang dangkal yang masih tertembus sinar
matahari. Oleh karena itu mayoritas masyarakatnya bermata pencaharian sebagai
nelayan. Hampir semua pelabuhan-pelabuhan besar di pulau Jawa sebagian besar
terletak di pantai utara Jawa.
• Dataran rendah
yang meliputi daerah pantai sampai ketinggian 700 meter di atas permukaan laut
merupakan kawasan yang cadangan airnya cukup, didukung oleh iklimnya yang
cocok, merupakan potensi alam yang cocokuntuk dikembangkan sebagai areal
pertanian, misalnya Karawang, Bekasi, Indramayu, Subang dan sebagainya. Dataran
tinggi yang beriklim sejuk, dengan cadangan air yang sudah semakin berkurang
maka sistem pertanian yang dikembangkan adalah pertanian lahan kering dan
holtikultura seperti sayuran, buah-buahan, da tanaman hias.
• Lain dengan
daerah pegunungan yang memiliki corak tersendiri. Karena sedikitnya persediaan
air tanah, mengakibatkan pemukiman penduduk terpusat di lembah-lembah atau
mendekati alur sungai. Hal ini dikarenakan mereka berusaha untuk mendapatkan
sumber air yang relatif mudah. Ladang yang mereka usahakan biasanya terletak di
lembah pegunungan.
Aspek pengaturan dan kebijakan ini
termasuk aspek politik
Marilah kita cermati kembali apa
yang sudah kita pelajari di atas. Setelah kita pelajari ternyata kehidupan itu
banyak aspeknya, meliputi aspek-aspek:
1.
hubungan
sosial: semua hal yang berhubungan dengan interaksi manusia tentang proses,
faktor-faktor, perkembangan, dan permasalahannya dipelajari dalam ilmu
sosiologi
2.
ekonomi:
berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan manusia, perkembangan, dan
permasalahannya dipelajari dalam ilmu ekonomi
3.
psikologi:
dibahas dalam ilmu psikologi
4.
budaya:
dipelajari dalam ilmu antropologi
5.
sejarah:
berhubungan dengan waktu dan perkembangan kehidupan manusia dipelajari dalam
ilmu sejarah
6.
geografi:
hubungan ruang dan tempat yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan manusia
dipelajari dalam ilmu geografi
7.
politik:
berhubungan dengan norma, nilai, dan kepemimpinan untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat dipelajari dalam ilmu politik
1. Tujuan Pendidikan IPS
Berdasarkan pada falsafah negara
tersebut, maka telah dirumuskan tujuan pendidikan nasional, yaitu: membentuk
manusia pembangunan yang ber-Pancasila dan untuk membentuk manusia yang sehat
jasmani dan rokhaninya, memiliki pengetahuan dan keterampilan, dapat
mengembangkan kreativitas dan tanggung jawab, dapat menyuburkan sikap demokrasi
dan penuh tenggang rasa, dapat mengembangkan kecerdasan yang tinggi dan
disertai budi pekerti yang luhur, mencintai bangsanya, dan mencintai sesama
manusia sesuai ketentuan yang termaksud dalam UUD 1945.
Berkaitan dengan tujuan pendidikan
di atas, kemudian apa tujuan dari pendidikan IPS yang akan dicapai? Tentu saja
tujuan harus dikaitkan dengan kebutuhan dan disesuaikan dengan
tantangan-tantangan kehidupan yang akan dihadapi anak. Berkaitaan dengan hal
tersebut, kurikulum 2004 untuk tingkat SD menyatakan bahwa, Pengetahuan Sosial
(sebutan IPS dalam kurikulum 2004), bertujuan untuk:
1. mengajarkan konsep-konsep dasar
sosiologi, geografi, ekonomi, sejarah, dan kewarganegaraan, pedagogis, dan
psikologis.
2.
mengembangkan
kemampuan berpikir kritis dan kreatif, inkuiri, memecahkan masalah, dan
keterampilan sosial
3.
membangun
komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan
4. meningkatkan kemampuan bekerja sama
dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, baik secara nasional maupun
global.
Sejalan dengan tujuan tersebut
tujuan pendidikan IPS menurut (Nursid Sumaatmadja. 2006) adalah “membina anak
didik menjadi warga negara yang baik, yang memiliki pengetahuan, keterampilan,
dan kepedulian social yang berguna bagi dirinya serta bagi masyarakat dan
negara” Sedangkan secara rinci Oemar Hamalik merumuskan tujuan pendidikan IPS
berorientasi pada tingkah laku para siswa, yaitu : (1) pengetahuan dan
pemahaman, (2) sikap hidup belajar, (3) nilai-nilai sosial dan sikap, (4)
keterampilan (Oemar hamalik. 1992 : 40-41).
Untuk lebih jelasnya akan dibahas
satu persatu.
2.
Pengetahuan
dan Pemahaman
Salah satu fungsi pengajaran IPS
adalah mentransmisikan pengetahuan dan pemahaman tentang masyarakat berupa
fakta-fakta dan ide-ide kepada anak.
1) Sikap belajar
IPS juga bertujuan untuk mengembangkan
sikap belajar yang baik. Artinya dengan belajar IPS anak memiliki kemampuan
menyelidiki (inkuiri) untuk menemukan ide-ide, konsep-konsep baru sehingga
mereka mampu melakukan perspektif untuk masa yang akan datang.
2) Nilai-nilai sosial dan sikap
Anak membutuhkan nilai-nilai untuk
menafsirkan fenomena dunia sekitarnya, sehingga mereka mampu melakukan
perspektif. Nilai-nilai sosial merupakan unsur penting di dalam pengajaran IPS.
Berdasar nilai-nilai sosial yang berkembang dalam masyarakat, maka akan
berkembang pula sikap-sikap sosial anak. Faktor keluarga, masyarakat, dan
pribadi/tingkah laku guru sendiri besar pengaruhnya terhadapa perkembangan
nilai-nilai dan sikap anak.
3) Keterampilan dasar IPS
Anak belajar menggunakan keterampilan
dan alat-alat studi sosial, misalnya mencari bukti dengan berpikir ilmiah,
keterampilan mempelajari data masyarakat, mempertimbangkan validitas dan
relevansi data, mengklasifikasikan dan menafsirkan data-data sosial, dan
merumuskan kesimpulan.
4) Karakteristik Pendidikan IPS
Untuk membahas karakteristik IPS,
dapat dilihat dari berbagai pandangan. Berikut ini dikemukakan karakteristik
IPS dilihat dari materi dan strategi penyampaiannya.
1. Materi IPS
Ada 5 macam sumber materi IPS antara
lain:
a. Segala sesuatu
atau apa saja yang ada dan terjadi di sekitar anak sejak dari keluarga,
sekolah, desa, kecamatan sampai lingkungan yang luas negara dan dunia dengan
berbagai permasalahannya.
b. Kegiatan manusia misalnya: mata pencaharian, pendidikan,
keagamaan, produksi, komunikasi, transportasi.
c. Lingkungan
geografi dan budaya meliputi segala aspek geografi dan antropologi yang
terdapat sejak dari lingkungan anak yang terdekat sampai yang terjauh.
d. Kehidupan masa
lampau, perkembangan kehidupan manusia, sejarah yang dimulai dari sejarah
lingkungan terdekat sampai yang terjauh, tentang tokoh-tokoh dan
kejadian-kejadian yang besar.
e. Anak sebagai
sumber materi meliputi berbagai segi, dari makanan, pakaian, permainan,
keluarga.
2. Strategi Penyampaian Pengajaran
IPS
Strategi penyampaian pengajaran IPS,
sebagaian besar adalah didasarkan pada suatu tradisi, yaitu materi disusun
dalam urutan: anak (diri sendiri), keluarga, masyarakat/tetangga, kota, region,
negara, dan dunia. Tipe kurikulum seperti ini disebut “The Wedining Horizon or
Expanding Enviroment Curriculum” (Mukminan, 1996:5).
Sebutan Masa Sekolah Dasar,
merupakan periode keserasian bersekolah, artinya
anak sudah matang untuk besekolah.
Adapun kriteria keserasian bersekolah adalah sebagai berikut.
1.
Anak harus
dapat bekerjasama dalam kelompok dengan teman-teman sebaya, tidak boleh
tergantung pada ibu, ayah atau anggota keluarga lain yang dikenalnya.
2.
Anak
memiliki kemampuan sineik-analitik, artinya dapat mengenal bagian-bagian dari
keseluruhannya, dan dapat menyatukan kembali bagian-bagian tersebut.
3.
Secara
jasmaniah anak sudah mencapai bentuk anak sekolah.
Menurut Preston (dalam Oemar Hamalik. 1992 : 42-44), anak
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1.
Anak
merespon (menaruh perhatian) terhadap bermacam-macam aspek dari dunia
sekitarnya.Anak secara spontan menaruh perhatian terhadap
kejadian-kejadian-peristiwa, benda-benda yang ada disekitarnya. Mereka memiliki
minat yang laus dan tersebar di sekitar lingkungnnya.
2.
Anak
adalah seorang penyelidik, anak memiliki dorongan untuk menyelidiki dan
menemukan sendiri hal-hal yang ingin mereka ketahui.
3.
Anak ingin
berbuat, ciri khas anak adalah selalu ingin berbuat sesuatu, mereka ingin
aktif, belajar, dan berbuat
4.
Anak
mempunyai minat yang kuat terhadap hal-hal yang kecil atau terperinci yang
seringkali kurang penting/bermakna
5.
Anak kaya
akan imaginasi, dorongan ini dapat dikembangkan dalam pengalaman-pengalaman
seni yang dilaksanakan dalam pembelajaran IPS sehingga dapat memahami
orang-orang di sekitarnya. Misalnya pula dapat dikembangkan dengan merumuskan
hipotesis dan memecahkan masalah.
Berkaitan dengan atmosfir di
sekolah, ada sejumlah karakteristik yang dapat diidentifikasi pada siswa SD berdasarkan
kelas-kelas yang terdapat di SD.
1. Karakteristik pada Masa Kelas Rendah SD (Kelas 1,2, dan
3)
a. Ada hubungan kuat antara keadaan jasmani dan prestasi
sekolah
b. Suka memuji diri sendiri
c. Apabila tidak dapat menyelesaikan sesuatu, hal itu
dianggapnya tidak penting
d. Suka membandingkan dirinya dengan anak lain dalam hal
yang menguntungkan dirinya
e. Suka meremehkan orang lain
2. Karakteristik pada Masa Kelas Tinggi SD (Kelas 4,5, dan 6).
a. Perhatianya tertuju pada kehidupan praktis sehari-hari
b. Ingin tahu, ingin belajar, dan realistis
c. Timbul minat pada pelajaran-pelajaran khusus
d. Anak memandang nilai sebagai ukuran yang tepat mengenai
prestasi belajarnya di sekolah.
Menurut Jean Piagiet, usia siswa SD
(7-12 tahun) ada pada stadium operasional konkrit. Oleh karena itu guru harus
mampu merancang pembelajaran yang dapat membangkitkan siswa, misalnya penggalan
waktu belajar tidak terlalu panjang, peristiwa belajar harus bervariasi, dan
yang tidak kalah pentingnya sajian harus dibuat menarik bagi siswa.
Berdasarkan pada apa yang menjadi
focus pengajaran, sekurang-kurangnya dikenal tiga pola desain kurikulum,
(Sukmadinata,2004:113-124; Tilaar, 2003: 240-243) yaitu:
·
Subject
centered design,
suatu desain kurikulum yang berpusat pada bahan ajar.
·
Learner
centered design,
suatu desain kurikulum yang mengutamakan peranan siswa.
·
Problem
centered design,
desain kurikulum yang berpusat pada masalah-masalah yang dihadapi dalam
masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas, maka ide
atau pemikiran kurikulum IPS yang harus dikembangkan dalam era global adalah rekonstruksionisme sehingga tentunya
proses pembelajaran IPS yang dikendaki pun harus mengejawantahkan ide-ide rekonstruksionisme. Di Indonesia sendiri dalam Kurikulum
Berbasis Kompetensi dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan IPS lebih cenderung
ke arah rekonstruksionisme.
Secara tegas
dinyatakan dalam kurikulum Pendidikan IPS dalam rambu-rambu pembelajaran, bahwa
pembelajaran Pendidikan IPS hendaknya merupakan pendekatan pembelajaran
konstekstual, yang dapat dilaksanakan diantaranya melalui metode inquiry,
problem solving, dan portfolio yang sebenarnya didengungkan pula
oleh para global reformis dalam pendidikan IPS.
Di Ohama dan Newyork sudah
pendidikan lebih diarahkan kepada kemampuan siswa tersebut sehingga siswa dapat
lebih berfikir kritis dan kreatif dalam menjalankan pembelajaran mereka.
Materi yang di dapat mayoritas sama
antara negara yang satu dengan negara lainnya hanya di Indonesia, pemberian
materi hanya sekedar transfer ilmu saja sementara di Ohama dan NewYork materi
yang diajarkan lebih kepada arahan berfikir global bertindak lokal sehingga
pembahasan perekonomian di kedua negara tersebut dimulai dari perekonomian
negara sampai ke perekonomian dunia.
Di ketiga kurikulum di atas, dampak
kurikulum ekonomi untuk generasi muda adalah siswa diharapkan dapat mengetahui
kebutuhan hidup mereka. Kita harus sadar dengan kesulitan-kesulitan dan peluang
yang datang yang dapat kita manfaatkan dengan maksimal. Hanya saja di
Indonesia, dilihat dari kompetensi yang dikembangkan, masih sebatas pada wacana
teori saja tidak pada prakteknya. Siswa tidak belajar untuk langsung
mengaplikasikan pada kehidupan sehari-hari, sehingga pada waktu ilmu tersebuta
akan dipakai, siswa merasa bingung karena teori yang di dapatkan tidak dapat
diterapkan di lapangan. Sementara itu, factor lingkungan pun lebih
lengkap.
BAB IV
PENUTUP
IPS merupakan
bidang studi baru, karena dikenal sejak diberlakukan kurikulum 1975. Dikatakan
baru karena cara pandangnya bersifat terpadu, artinya bahwa IPS merupakan
perpaduan dari sejumlah mata pelajaran sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi,
antropologi. Adapun perpaduan ini disebabkan mata pelajaran-mata pelajaran
tersebut mempunyai kajian yang sama yaitu manusia.
Pendidikan IPS
penting diberikan kepada siswa pada jenjang pendidikan dasar dan menengah,
karena siswa sebagai anggota masyarakat perlu mengenal masyarakat dan
lingkungannya. Untuk mengenal masyarakat siswa dapat beljar melalui media
cetak, media elektronika, maupun secara langsung melalui pengalaman hidupnya
ditengah-tengah msyarakat. Dengan pengajaran IPS, diharapkan siswa dapat
memiliki sikap peka dan tanggap untuk bertindak secara rasional dan
bertanggungjawab dalam memecahkan masalah-masalah sosial yang dihadapi dalam
kehidupannya.
Latar belakang dimasukkannya bidang
studi IPS ke dalam kurikulum sekolah di Indonesia sangat berbeda dengan di
Inggris dan Amerika Serikat. Pertumbuhan IPS di Indonesia tidak terlepas dari
situasi kacau, termasuk dalam bidang pendidikan, sebagai akibat pemberontakan
G30S/PKI, yang akhirnya dapat ditumpas oleh Pemerintahan Orde Baru. Setelah
keadaan tenang pemerintah melancarkan Rencana Pembangunan Lima Tahun
(Repelita). Pada masa Repelita I (1969-1974) Tim Peneliti Nasional di bidang
pendidikan menemukan lima masalah nasional dalam bidang pendidikan. Kelima
masalah tersebut antara lain:
1.
Kuantitas,
berkenaan dengan perluasan dan pemerataan kesempatan belajar.
2.
Kualitas,
menyangkut peningkatan mutu lulusan
3. Relevansi, berkaitan dengan
kesesuaian sistem pendidikan dengan kebutuhan pembangunan.
4.
Efektifitas
sistem pendidikan dan efisiensi penggunaan sumber daya dan dana.
5.
Pembinaan
generasi muda dalam rangka menyiapkan tenaga produktif bagi kepentingan
pembangunan nasional.
Dalam berbagai literatur, kurikulum
diartikan sebagai suatu dokumen atau rencana tertulis mengenai kualitas pendidikan
yang harus dimiliki oleh peserta didik melalui suatu pengalaman belajar.
Pengertian ini mengandung arti bahwa kurikulum harus tertuang dalam satu atau
beberapa dokumen atau rencana tertulis, yang berisikan pernyataan mengenai
kualitas yang harus dimiliki seorang peserta didik yang mengikuti kurikulum
tersebut. Kualitas pendidikan di atas mengandung arti bahwa kurikulum
sebagai dokumen merencanakan kualitas hasil belajar yang harus dimiliki peserta
didik, kualitas bahan/konten pendidikan yang harus dipelajari peserta didik, kualitas
proses pendidikan yang harus dialami peserta didik.
DAFTAR PUSTAKA
Asmawi, Z. dan Nasution, N. (1994). Penilaian Hasil
Belajar. Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud.
Buchari Alma, 2007, Apa dan Bagaimana
Studi Sosial Diajarkan, Makalah pada Seminar Revitalisasi Ilmu Pengetahuan
Sosial dalam Perspektif Global, 21 Novwmbwr 2007, Bandung: Program Studi PIPS
Sekolah Pascasarjana UPI
Carin, A.A. & Sund, R.B. (1989). Teaching Science
Through Discovery. Columbus: Merrill Publishing Company.
Cavendish, S. et al. (1990). Observing Activities:
Assessing Science in the Primary Class-room. London: Paul Chapman
Publishing Ltd.
Course
Standards for Omaha Public Schools Required 10th Grade
Semester Course in Economics (OPS), http://ecedweb.unomaha.edu/standards/OPSstandards10.cfm
Collins,A, 1992. Potofolio for
Science Education: Issues in Purpose, Structure, and Authenticity. Science
Eduducation. 76(4): 451-463.
Departemen Pendidikan Nasional. (2003). Kurikulum 2004 :
Kompetensi Standar Mata Pelajaran Sains. Jakarta: DepdiknasRepublik
Indonesia.
Dipdiknas, 2006, Panduan
Pengembangan Silabus Mata Pelajaran IPS SMP/Mts, Jakarta: Direktorat
Pembinaan SMP.
Departemen Pendidikan Nasional. (2002). Pedoman
Pengembangan Silabus. Jakarta: DepdiknasRepublik Indonesia.
Doran, R. et al., 1998. Science Educator’s
Guide to Assesment. Virginia: NSTA
Depdiknas.
2001. Buku 1 Manajemen Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis Sekolah.
Jakarta: Depdiknas.