MAKALAH PERKEMBANGAN JIWA BERAGAMA PADA ANAK
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Manusia
dilahirkan di dunia ini dalam keadaan lemah, fisik maupun psikis. Walaupun
dalam keadaan yang demikian ia telah memiliki kemampuan bawaan yang bersifat
laten. Potensi bawaan ini memerlukan pengembangan melalui bimbingan dan
pemeliharaan yang mantap lebih-lebih pada usia dini.
Fisik
atau jasmani manusia baru akan berfungsi secara sempurna jika dipelihara dan
dilatih. Akal dan fungsi mental lainnya pun baru akan berfungsi jika kematangan
dan pemeliharaan serta bimbingan dapat diarahkan kepada pengeksplorasian
perkembangannya. Kemampuan itu tidak dapat dipenuhi secara sekaligus melainkan
melalui pentahapan. Demikian juga perkembangan agama pada diri anak.
B. Rumusan
Masalah
Adapun
rumusan masalah yang ada dalam makalah ini antara lain :
1. Kapan timbulnya
jiwa keagamaan pada anak?
2. Bagaimana proses
timbulnya kepercayaan kepada tuhan dalam diri anak?
3. Bagaimana tahapan
perkembangan beragama pada anak?
4. Apa
saja faktor-faktor dominan yang mempengaruhi perkembangan jiwa
keagamaan pada anak?
5. Bagaimana sifat-sifat
agama pada anak?
C. Tujuan
Penulisan Makalah
Adapun
tujuan penulisan makalah ini agar mahasiswa(i) memahami tentang:
1. Timbulnya
jiwa keagamaan pada anak
2. Proses
timbulnya kepercayaan kepada tuhan dalam diri anak
3. Tahapan
perkembangan beragama pada anak
4. Faktor-faktor
dominan yang mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan pada anak
5. Sifat-sifat
agama pada anak.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Timbulnya Jiwa Keagamaan pada Anak
Perkembangan
jiwa beragama pada anak – anak umumnya adalah perkembangan yang masih awal,
tetapi sebenarnya sebelum masa anak- anak pun seorang anak telah mendapatkan
sebuah pendidikan tentang keagamaan, yaitu dalam kandungan, masa pranatal dan
masa bayi. Walaupun pada saat itu penerimaan pendidikan agama itu belum dapat
diberikan secara langsung misalnya dalam kandungan, seorang janin hanya bisa
menerima rangsangan atau respon dari sang ibu, ketika ibu sedang sholat mungkin
atau mengerjakan perintah – perintah agama lainnya, begitu juga pada saat bayi
dilahirkan, ia hanya menerima rangsangan dari luar misalnya pada saat sang bayi
di azan kan. nah dari situ kita bisa menyimpulkan bahwa masa anak – anak bukan
lah masa yang paling awal mendapatkan pendidikan keagamaan.
Dari
mana timbulnya jiwa keagamaan pada anak? Sekolompok ahli yang berpendapat bahwa
timbulnya jiwa keagamaan itu dari lingkungan, karena anak dilahirkan bukanlah
sebagai makhluk yang religious. Menurut pendapat ini, anak yang baru dilahirkan
lebih mirip binatang dan bahkan anak seekor kera lebih bersifat kemanusiaan daripada
bayi manusia itu sendiri. Pendapat ini lebih melihat manusia dipandang
dari segi bentuknya, bukan dari segi kejiwaannya.
Ada
pula sekolompok ahli yang berpendapat bahwa anak sejak dilahirkan telah membawa
fitrah keagamaan. Namun fitrah ini baru berfungsi dikemudian hari setelah
melalui proses bimbingan dan latihan.
Apakah
fitrah beragama akan berkembang tanpa bimbingan? Tentu tidak, hal ini sesuai
dengan prinsip pertumbuhan “bahwa anak menjadi dewasa, termasuk dalam bidang
agama memerlukan bimbingan”.
B. Proses
Timbulnya Kepercayaan Kepada Tuhan Dalam Diri Anak
Menurut
Zakiyyah Darajat, anak mulai mengenal Tuhan melalui proses:
1. Melalui
bahasa, yaitu dari kata-kata orang yang ada dalam lingkungannya yang pada
mulanya diterimanya secara acuh tak acuh.
2. Setelah
itu karena melihat orang-orang dewasa menunjukkan rasa kagum dan takut terhadap
Tuhan, maka mulailah timbul dalam diri anak rasa sedikit gelisah dan ragu
tentang sesuatu yang haib yang tidak dapat dilihatnya itu (Tuhan).
3. Rasa
gelisah dan ragu itu mendorong anak untuk ikut membca dan mengulang kata Tuhan
yang diucapkan oleh orang tuanya.
4. Dari
proses itu, tanpa disadari anak lambat laun “pemikiran tentang Tuhan” masuk
menjadi bagian dari kepribadian anak dan menjadi objk pengalaman agamis.
Jadi pada
awalnya Tuhan bagi anak-anak merupakn nama dari sesuatu yang asing yang tidak
dikeenalnya, bahkan diragunakan kebaikannya. Pada tahap awal ini anak tidak
mempunyai perhatian pada Tuhan, hal ini dikarenakan anak belum mempunyai
pengalaman yang mempunyai pengalaman yang membawanya kesana (baik pengalaman
yang menyenangkan atau pengalaman yang menyusahkan).
Perhatian
anak pada Tuhan tumbuh dan dan berkembang setelah ia menyaksikan reaksi
orang-orang disekelilingnya tentang Tuhan yang disertai oleh emosi dan perasaan
tertentu.
Bagaimana
pengalaman awal anak-anak tentang Tuhan?
Menurut
Zakiyyah Darajat, pengalaman awal anak-anak tentang Tuhan biasanya tidak
menyenangkan, karena Tuhan merupakan ancaman bagi integritas kepribadiannya.
Oleh sebab itu maka perhatian anak tentang Tuhan pada permulaannya merupakan
sumber kegelisahan atau ketidaksenangannya. Hal inilah yang menyebabkan anak
sering bertanya tentang zat, tempat dan perbuatan Tuhan. Pertanyaan itu
betujuan untuk mengurangkan kegelisahannyaa. Lalu kemudian sesudah itu timbul
keinginan untuk menentangnya atau mengingkarinya.
Jadi,
pemikiran tentang Tuhan adalah suatu pemikiran tentang kenyatan luar, sehingga
hal itu disukai oleh anak.
Namun
untuk melanjutkan pertumbuhan dan menyesuaikan diri dengan kenyataan itu, anak
harus menderita dan mendapatkan sedikit pengalaman pahit, sehingga akhirnya ia
menerima pemikiran tentang Tuhan setelah diingkariya.
Menurut
Teori Freud, Tuhan bagi anakanak tidak lain adalah orang tua yang
diproyeksikan. Jadi Tuhan pertama anak adalah orang tuanya. Dari lingkungan
yang penuh kasih saying yang diciptakan olh orang tua, maka lahirlah pengalaman
keagamaan yang mendalam.
C.
Tahap Perkembangan Beragama pada Anak
Sebagai
makhluk Tuhan, potensi beragama sudah ada pada manusia sejak ia dilahirkan.
Potensi ini berupa: “Dorongan untuk mengabdi kepada sang pencipta”. Dalam
konsep Islam dorongan ini dikenal dengan istilah “Hidayat al Diniyyah”
yang berupa benih-benih keberagaman yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia.
Potensi inilah yang menyebabkan manusia itu menjadi makhluk beragama.
Apakah
secara empiris manusia itu memiliki potensi beragama?
Ya, ini
dapat dibukikan dari hasil kajian yang dilakukan:
1.
Edward B. Taylor (Kajian antropologi budaya)
Dia
menyebut potensi beragama itu dengan istilah “believe in spiritual being =
kepercayaan kepada adi kodrati”. Dorongan ini merupakan kepercayaan/agama pada
manusia.
Menurut
Taylor, kenyataan adanya “Believe in spiritual being“ ini ditemukan pada
suatu kehidupan yang primitif. Karena kemampuan berfikirnya masih bersifat
anthromorphistis, maka kepercayaan kepada adi kodrati itu diwujudkan dalam
bentuk benda konkrit seperti patung dll.
2.
Stanley Hal
Dia
menemukan adanya kecenderungan kepercayaan kepada adi kodrati itu dalam konsep
“Totemisme”pada suku Indian. Totem ini pada suku Indian dianggap sebagai
binatang yang dipercaya sebagai reinkarnasi leluhur nenek moyang mereka.
Binatang ini kemudian dianggap suci dan menjadi lambang ritual keagamaan suku
tersebut.
Kentalnya
ketertarikan suku Indian kepada konsep totemisme ini menyebabkan:
a. Beberapa
suku mengaitkan klan (suku) mereka dengan binatang ini.
b. Nama
binatang totem sering diletakkan dibelakang dari masing-masing suku
Sebagai
sebuah potensi, lantas bagaimana perkembangan potensi beragama tersebut?
1. Berdasarka
hasil penelitian Ernst Harms Perkembangan beragama pada anak-anak melalui
beberapa fase:
a.
Tingkat dongeng (the fairy tale stage, 3 – 6 tahun)
1) Konsep
mengenai Tuhan dipengaruhi oleh fantasi dan emosi.
2) Anak
menanggapi agama masih menggunakan konsep fantastic yang diliputi oleh
dongeng-dongeng.
3) Perhatian
anak lebih tertuju pada para pemuka agama dari pada isi ajaran agamanya.
4) Cerita
keagamaan akan menarik perhatiannya jika dikaitkan dengan masa kanak-kanaknya.
5) Padangan
teologis, pernyataan dan ungkapannya tentang Tuhan lebih bernada individual,
emosional dan spontan.
b.
Tingkat kepercayaan (the realistic stage)
1) Ide-ide
anak tentang Tuhan telah tercermin dalam konsep-konsep yang realistic.
2) Ide
keagamaan anak didasarkan atas dorongan emosional, sehingga mereka dapat
melahirkan konsep Tuhan yang formalis.
3) Anak
mulai tertarik dan senang pada lembaga keagamaan.
4) Pemikiran
anak tentang Tuhan sebagai Bapak beralih pada Tuhan sebagai pencipta.
5) Hubungan
dengan Tuhan yang pada awalnya terbatas pada emosi berubah pada hubungan dengan
menggunakan logika/akal.
6) Dalam
padangan anak, Tuhan tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk semesta.
c.
Tingkat Individu (the individual stage, usia remaja)
1) Pada
tingkat ini anak tlah memiliki kepekaan mosi yang paling tinggi sejalan dengan
perkembangan usia mereka.
2) Konsep
keagamaan yang individualis ini dibagi kepada tiga golongan:
3) Konsep
ke-Tuhanan yang konvensional dan konservatif yang masih sebagian kecil
dipengaruhi oleh fantasi.
4) Konsep
ke-Tuhanan yang lebih murni yang dinyatakan dalam pandangan yang bersifat
personal.
5) Konsep
ke-Tuhanan yang bersifat humanistik, yaitu agama telah menjadi etos humanis
dalam diri mereka dalam menghayati ajaran agama.
2. Menurut
Imam Bawani perkembangan agama pada masa anak-anak dibagi menjadi 4 bagian:
a. Fase
dalam kandungan
Pada
fase ini perkembangan agama dimulai sejal Allah meniupkan ruh pada bayi, yaitu
ketika perjanjian antara ruh manusia dengan Tuhan (al-A’raf ayat 172).
b. Fase
bayi
Pada
fase ini belum banyak diketahui perkembanan beragama ana, namun isyarat
mengenalkan ajaran agama banyak ditemukan dalam hadist, seperti anjuran
mengazankan atau mengikamatkan ketika anak baru lahir.
c. Fase
anak-anak
Anak
mengenal Tuhan melalui ucapan dan perilaku orang dewasa yang mengungkapkan rasa
kagum pada Tuhan.
Anak
mempunyai pemahaman dalam melaksanakan ajaran agama.
Tindakan
keagamaan anak didasarkan pada peniruan
d. Fase
anak prasekolah
Perkembangan
keagamaan anak menunjukkan perkembangan yang semakin realistik.
3. Menurut
Zakiyyah Darajat, perkembangan perasaan anak pada Tuhan dapat dibedakan dalam 2
bagian:
a. Usia
sebelum 7 tahun
1) Perasaan
anak pada Tuhan adalah negatif, yaitu takut, menentang dan ragu.
2) Pada
usia ini anak berusaha menerima pemikiran tentang kebesaran dan kemuliaan
Tuhan, sedangkan gambarannya terhadap Tuhan sesuai dengan emosinya.
3) Dalam
pandangan anak bersembunyi Tuhan (Tuhan tidak dapat dilihat) karena sikap Tuhan
yang negatif, yaitu Tuhan punya niat jahat yang akan dilaksanakannya.
4) Kepercayaan
anak tentang Tuhan, tempat dan bentuk Tuhan didorong oleh perasaan takut dan
ingin merasa aman.
b.
Uisa 7 tahun keatas
1) Perasaan
anak pada Tuhan adalah positif, yaitu: cinta dan hormat.
2) Hubungan
dengan Tuhan dipenuhi oleh rasa percaya dan rasa aman.
3) Tidak
terlihatnya Tuhan, tidak lagi menyebabkan anak-anak meenjadi takut/gelisah.
4) Anak
dapat menerima pemikiran tentang Tuhan adalah dalam rangka untuk menenangkan
jiwa dari pertanyaan-pertanyaan, tantangan-tantangan yang kadang tidak dapat
dijawab oleh orang dewasa.
5) Pada
usia ini anak cenderung menjauhkan Tuhan dari perbuatan-perbuatan negatif,
seperti mematikan, menyakitkan, dan mendatangkan bencana. Jadi kebutuhan anak
pada Tuhan tidak sebagai Tuhan yang sangat perkasa bagi alam, tetapi lebih
sebagai seorang bapak yang baik dan menjadi teman baginya.
6) Kepercayaan
anak pada Tuhan bukanlah merupakan suatu keyakinan, tetapi adalah sikap emosi
dimana “Tuhan adalah pemuasan keebutuhansi anak akan seorang plindung”.
7) Sampai
kira-kira usia 8 tahun, hubungan anak dengan Tuhan adalah hubungan individual,
yaitu: hubungan emosional antara ia dengan sesuatu yang tidak terlihat yang
dibayangkan cengan cara sendiri.
8) Sembahyang
bagi anak usia ini adalah untuk minta ampun atas kesalahannya atau untuk
berterima kasih.
9) Pada
usia ini anak tertarik melakukan aktivitas keagamaan di masjid atau tempat
ibadah lainnya karena ketertarikan pada pakaian seragam yang berwarna-warni.
10) Pada
usia ini anak cenderung mengikuti pengajian jika teman-temannya juga ikut
pengajian.
D. Faktor-Faktor Dominan yang Mempengaruhi
Perkembangan Jiwa Keagamaan pada Anak
1. Menurut
Teori four wishes yang dikemukakan oleh perkembangan jiwa keagamaan anak adalah
“rasa ketergantungan (sense of defendnce)”
Menurut
teori ini, manusia dilahirkan keduania memiliki empat keinginan:
a. Security:
keinginan untuk mendapatkan perlindungan
b. New
experience: keinginan untuk mendapat pengalaman
c. Response:
Keinginan untuk mendapatkan tanggapan
d. Recognition:
keinginan untuk dikenal
Kerjasama
dalam rangka memenuhi keinginan-keinginan itu, maka bayi sejak dilahirkan hidup
dalam ketergantungan, terutama orang-orang dewasa dalam lingkungannya itu maka
terbentuklah rasa keagamaan pada diri anak.
2. Instink
keagamaan
Pendapat
ini dikemukakan oleh Woodworth, menurutnya, bayi yang dilahirkan sudah memiliki
instink, diantaranya instink keagamaan, namun instink ini pada saat bayi belum
terlihat, hal itu dikarenakan “beberapa fungsi kejiwaan yang menopang
kematangan berfungsinya instink itu belum sempurna”.
Pandangan
Woodworth ini mendapat sanggahan dari sekelompok ahli dengan mengajukan
argumentasi:
a. Jika
anak sudah memiliki instink keagamaan, mengapa orang tidak terhayati secara
ototmatis ketika mendengar lonceng gereja dibunyikan?
b. Jika
anak sudah memiliki instink keagaaan, megnapa terdapat perbedaan agama di dunia
ini? Bukankah cara berenang itik dan cara brung membuat sarang yang didasari
pada tingkahlaku instingtif akan sama caranya disetiap penjuru duia ini?.
3. Fitah
keagamaan
Pendapat
ini berdasarkan konsep Islam yang didasarkan pada hadist Nabi yang berbunyi:
“Setiap
anak dialhirkan dalam keadaan fitrah, maka orang tuanyalah yang membuatnya
menjadi Yahudi, atau Nasrani aau Majusi”.
Fitrah
dalam hadist ini diartikan sebagai “potensi”. Fitrah ini baru berfungsi
dikmudian hari melalui proses bimbingan dan latihan setelah berada pada tahap
berikutnya.
E.
Sifat-Sifat Agama pada Anak
Ide
keagamaan pda anak tumbuh mengikuti pola “ideal concept in authoristy”,
artinya konsep keagamaan anak dipengaruhi oleh factor dari luar diri mereka.
Jadi ketaatan anak-anak pada ajaran agama merupakan dampak dari apa yang mereka
lihat, mereka pelajari dan dibiasakan oleh orang-orang dewasa atau orang tua di
lingkungannya.
Berdasarkan
konsep itu maka sifat dan bentuk agama anak-anak dapat dibagi atas:
1. Unreflective (tidak
mendalam)
Hal ini
ditunjukkan dengan:
Kebenaran
ajaran agama diterima anak tanpa kritik, tidak begitu mendalam dan sekedarnya
saja. Mereka sudah cukup puas dengan keterangan-keterangan walau tidak masuk
akal.
2. Egosenris
Hal ini
ditunjukkan dengan:
a. Dalam
melaksanakan ajaran agama anak lebih menonjolkan kepentingan dirinya.
b. Anak
lebih menuntut konsep keagamaan yang mereka pandang dari kesenangan pribadinya.
Misalnya: anak berdo’a/sholat yang dilakukan utuk mencapai keinginan-keinginan
pribadi.
3. Anthromorphis
Hal ini
ditunjukkan dengan:
a. Konsep
anak dengan Tuhan tampak seperti menggambarkan aspek-aspek kemanusiaan. Dengan
kata lain keadaan Tuhan sama dengan manusia, misalnya:
b. Pekerjaan
Tuhan mencari dan menghukum orang yang berbuat jahat disaat orang itu berada
dalam tempat yang gelap.
c. Yurga
terletak dilangit dan tempat bagi orang yang baik.
d. Tuhan
dapat melihat perbuatan manusia langsung kerumah-rumah mereka seperti layaknya
orang mengintai.
Menurut
hasil penelitian Praff, anak usia 6 tahun menggambarkan Tuhan seperti manusia
yang mempunyai wajah, telinga yang lebar dan besar. Tuhan tidak makan tapi
hanya minum embun saja.
Jadi
konsep Tuhan dibentuk sendiri berdasarkan fantasi masing-masing.
4.
Verbal dan ritual
Hal ini
ditunjukkan dengan:
a. Menghapal
secara verbal kalimat-kalimat keagamaan.
b. Mengerjakan
amaliah yang mereka laksanakan berdasarkan pengalaman menurut tuntutan yang
diajarkan
5.
Imitatif
Hal ini
ditunjukkan dengan:
Anak
suka meniru tindakan keagamaan yang dilakukan oleh orang-orang dilingkungannya
(orangtua).
6. Rasa
Heran
Ini
merupakn sifat keagamaan yang terakhir pada anak-anak. Hal ini ditandai dengan:
Anak
mengagumi keindahan-keindahanlahiriah pada ciptaan Tuhan, namun rasa kagum ini
belum kritis dan kreatif.
BAB III
KESIMPULAN
Agama
pada masa anak-anak terbentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diterima dari
lingkungan lalu terbentuk sifat keagamaan pada anak, Woodwort berpendapat bahwa
bayi memiliki insting keagamaan, akan tetapi disanggah oleh pemikir Islam bahwa
bayi tidak mempunyai insting keagamaan melainkan itu merupakan fitrah yang
cenderung kearah potensi keagamaan.
Tahap perkembangan keagamaan pada anak melalui tiga tahapan yaitu tingkat dongeng, tingkat kepercayaan, dan tingkat individu
Sifat Agama pada anak mengikuti pola concept on authority yaitu konsep keagamaan yang dipengaruhi oleh faktor dari luar diri mereka (anak) itu sendiri. Memahami sifat agama pada anak berarti memahami sifat agama itu sendiri.Perkembangan jiwa beragama pada anak – anak umumnya adalah perkembangan yang masih awal, tetapi sebenarnya sebelum masa anak- anak pun seorang anak telah mendapatkan sebuah pendidikan tentang keagamaan, yaitu dalam kandungan, masa pranatal dan masa bayi.
Tahap perkembangan keagamaan pada anak melalui tiga tahapan yaitu tingkat dongeng, tingkat kepercayaan, dan tingkat individu
Sifat Agama pada anak mengikuti pola concept on authority yaitu konsep keagamaan yang dipengaruhi oleh faktor dari luar diri mereka (anak) itu sendiri. Memahami sifat agama pada anak berarti memahami sifat agama itu sendiri.Perkembangan jiwa beragama pada anak – anak umumnya adalah perkembangan yang masih awal, tetapi sebenarnya sebelum masa anak- anak pun seorang anak telah mendapatkan sebuah pendidikan tentang keagamaan, yaitu dalam kandungan, masa pranatal dan masa bayi.
pada
awalnya Tuhan bagi anak-anak merupakn nama dari sesuatu yang asing yang tidak
dikeenalnya, bahkan diragunakan kebaikannya. Perhatian anak pada Tuhan tumbuh
dan dan berkembang setelah ia menyaksikan reaksi orang-orang disekelilingnya
tentang Tuhan yang disertai oleh emosi dan perasaan tertentu
DAFTAR PUSTAKA
Jalaludin dan Ramayulis, Pengantar Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Kalam Mulia, 1993..
Sururin, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
Dradjat Zakiah, Ilmu jiwa agama, cetakan ke 17, Jakarta: Bulan Bintang, 2005
Jalaludin, Psikologi Agama, cetakan ke 2, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997
Joesafira “Perkembangan Jiwa Beragama Pada Anak - anak”
http://delsajoesafira.blogspot.com/perkembangan-jiwa-beragama-pada-anak-anak.html di akses pada 10/5/2012
Nur Afifa “Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Sikap Keagamaan”
http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2184387-faktor-faktor-yang-mempengaruhi-sikap/#ixzz1uo3RrAXa di akses pada 10/5/2012