MAKALAH ASWAJA DAN ISU GLOBAL NAHDLATUL ULAMA
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Sebagai jam’iyyah yang
menganut paham Aswaja, NU tentu tidak bisa dilepaskan dari persoalan global.
Masalah kemanusiaan sejalan dengan perkembangan zaman dan kini sedang masuk
dalam era globalisasi, berkembang demikian pesatnya. Disini NU dituntut untuk
mampu memberikan jawaban-jawaban solutif dan menempatkan dirinya pada peran
stratregis bagi perjuangan kemanusiaan, penegakan keadilan, persamaan, dan
kesetaraan. Masalah hak asasi manusia, jender, demokrasi, dan pluralisme
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Sejak dalam
kehidupan manusia terjadi interaksi sosial, sesungguhnya pada saat
itulah masalah-masalah tersebut mulai ada.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
Konsep NU tentang Aswaja?
2. Apa saja aspek
paham Aswaja?
3 Bagaimana
Implementasi Paham Aswaja?
4 Bagaimana
NU dan Isu-isu Global (HAM, Jender, dan demokrasi)?
C. Tujuan
1. Untuk Memahami Konsep NU
tentang Aswaja
2. Untuk memahami aspek paham
Aswaja
3. Untuk mengetahui bagaimana
implementasi Paham Aswaja
4. Untuk mengetahui secara
mendalam isu-isu global Nahdlatul Ulama.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
KONSEP NU TENTANG ASWAJA
1.
PENGERTAN ASWAJA
Aswaja adalah sebuah
singkatan yang umum digunakan dikalangan kaum nahdliyyin, kepanjangannya adalah
ahlus sunah waljama’ah . Secara bahasa ahlus sunnah wal jamaah terdiri dari
tiga kata, yaitu :
Ahlun bermakna:
1. Keluarga (اَهْلُ الْبَيْت, keluarga dalam rumah tangga)
2. Pengikut (اَهْلُ السُّنَّة, pengikut sunnah)
3. Penduduk (اَهْلُ الْجَنَّةِ, penduduk surga)
As sunnah bermakna segala sesuatu yang disandarkan pada nabi muhammad saw baik berupa ucapan, perbuatan ataupun ketetapan beliau.
Al jamaah bermakna segala sesuatu yang telah menjadi kesepakatan para sahabat Nabi SAW pada masa Khulafaur Rasyidin yang empat,
Ahlun bermakna:
1. Keluarga (اَهْلُ الْبَيْت, keluarga dalam rumah tangga)
2. Pengikut (اَهْلُ السُّنَّة, pengikut sunnah)
3. Penduduk (اَهْلُ الْجَنَّةِ, penduduk surga)
As sunnah bermakna segala sesuatu yang disandarkan pada nabi muhammad saw baik berupa ucapan, perbuatan ataupun ketetapan beliau.
Al jamaah bermakna segala sesuatu yang telah menjadi kesepakatan para sahabat Nabi SAW pada masa Khulafaur Rasyidin yang empat,
Mengenai
definisi ahlus sunnah wal jama’ah secara terminology, sebagaimana dikutip oleh
Nur Sayid Santoso Kristeva dari pendapat Syaikh Abdul Qadir Al Jailani :”yang
dimaksud dengan As sunnah adalah apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW (
meliputi ucapan, perilaku serta ketetapan beliau ). Sedangkan
pengertian Al Jamaah adalah segala sesuatu yang telah menjadi kesepakatan para
sahabat nabi Muhammad saw pada masa khulafaur rasyidin yang empat yang telah
diberi hidayah Radliyallahu anhum ajma’in” (Al Ghuyah Li Thalibi
Thariq Al Haqq, juz ii, hlm.80).[1]hal tersebut tidak jauh berbeda dengan
definisi yang dikemukakan oleh syakh Abi Al-Fadhi bin Abdussukur bahwa
ahlussunnah wal jama’ah yaitu “orang-orang yang selalu berpedoman pada as
sunnah nabi saw dan jalan para sahbatnya dalam masalah aqidah keagamaan,
amal-amal lahiriah serta akhlaq hati.” (Al Kawakib Al lamma’ah,
hlm8-8).[2]
Pada
hakekatnya, Ahlussunnah wal Jamaah, adalah ajaran Islam yang murni sebagaimana
diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah saw. bersama para
sahabatnya. Ketika Rasulullah saw. menerangkan bahwa umatnya akan tergolong
menjadi banyak sekali (73) golongan, beliau menegaskan bahwa yang benar
dan selamat dari sekian banyak golongan itu hanyalah Ahlussunnah wa Jamaah.
Atas pertanyaan parasahabat, apakah as-Sunah wal Jamaah itu? beliau merumuskan
dengan sabdanya:
ما
انا عليه اليوم واصحابى
Ahlussunnah Wal jama’ah adalah sesuatu yang berpegang
pada sunahku dan kesepakatan para sahabatku.
Dalam
sejarahnya teologi telah melahirkan aliran-aliran teologi yang
berbeda pula, dan dewasa ini pengakuan/klaim paham aswaja tidak hanya
digembor-gemborkan oleh kaum nahdliyyin ( golongan Nahdlatul ulama) namun
berapa aliran klasik ataupun modern (aliran baru) juga juga mengklaim bahwa
mereka juga Aswaja. Lantas manakah yang benar ? hal tersebut sering menjadi
pertanyaan baik secara langsung ataupun tidak langsung. Padahal kebenaran aswaja
seharusnya tidak hanya dipandang dari segi definisinya saja, tapi bagaimana
definisi itu diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Konsep pemahaman
aswaja yang logis sebenarnya sudah terkumpul dalam konsep dasar yang
saling mengaitkan antara trilogy agama (islam, iman dan ikhsan). Konsep yang
dimaksud adalah tawasuth, tasamuh, tawazun dan ta’adul. Yang
dimaksud tawasuth (moderat) adalah sebuah pandangan yang kompherhensif yang
tidak terjebak pada hal-hal yang bersifat ekstrim kanan ataupun ekstrim kiri.
Yang dimaksud tasammuh (toleransi) sebuah cara pandang dan juga sikap dalam
kehidupan bermasyarakat, beragama dan bernegara yang mana umat dapat menghargai
dan menghormati adat istiadat dan budaya manusia yang multi kultural. Sedangkan
tawazun ( simbang) disini dapat diartikan sebagai sikap yang dapat
memperhitungkan antara hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat dan
juga status sebagai makhluk Tuhan. Dan ta’adul (adil) adalh suatu sikap dimana
kaum aswaja dituntut untuk dapat menempatkan sesuatu pada tempatnya.
Maka dari hal-hal
tersebut diatas berlaku sebuah kaidah fiqh :
المحافظة على قديم الصالح والاخذ بجديد الاصللاح (mempertahankan
kebaikan-kebaikan yang sudah ada, dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih
baik). Maka sebagai paham keagamaan yang didalamnya harus terkandung
prinsip-prinsip yang ideal ( tawasut, tasammuh, tawazun dan ta’adul ) hendaknya
orang ataupun kelompok yang mengaku berpaham aswaja dapat mempelakukan budaya
secara proporsional (wajar). Tidak mudah mengkafirkan orang- ataupun kelompok
yang tidak sepaham baik itu dalam hal furu’iyyah agama islam ataupun bahkan
yang tidak seagama (non muslim).
2.
HUBUNGAN ASWAJA DENGAN NU
Dalam
implementasinya membina umat, NU berpegang pada prinsip-prinsip Aswaja tentang
islam iman dan ikhsan, yaitu dalam hal fiqih mengikuti salah satu dari empat
madzhab yaitu madzhab Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hambali. Dalam hal teologi
mengikuti abu hasan Al asy’ari dan abu mansyur al maturidi dan dalam bidang
tasawuf mengikuti Imam Al Ghazali Dan Imam Junaid Al Baghdadi.
Dari
pemaparan diatas kita dapat melihat bahwa antara Aswaja dengan NU adalah
satu-kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, konsep serta prinsip yang sama antara
keduanya setidaknya dapat kita lihat juga dalam beberapa contoh persoalan sebagai
berikut :
1. Bidang
Aqidah
Dalam bidang aqidah, pilar-pilar yang menjadi
penyangga aqidah Ahlussunnah Waljamaah dan juga NU meliputi tiga hal, Yang
pertama adalah aqidah uluhiyyah (ketuhanan), yang kedua aqidah
nubuwwat yaitu dengan meyakini bahwa Allah telah menurunkan wahyu kepada para
Nabi dan Rasul. Yang ketiga adalah Al ma’ad, yaitu sebuah
keyakinan bahwa nantinya manusia akan dibangkitkan dari kubur pada hari iamat
dan setiap manusia akan mendapat imbalan atas amal perbuatannya.
2. Bidang
social plitik
Ahlussunnah Wal Jamaah dan NU memandang Negara sebagai
kewajiban fakultatif (fardlu kifayyah). Pandangan tersebut tidak sama dengan
golongan yang lain, seperti syiah yang memiliki sebuah konsep Negara dan
mewajibkan berdirinya Negara (imamah).
3. Bidang
istnbath Al-Hukun (pengambilan hukum syari’ah)
Ahlussunnah Wal Janaah dan NU menggunakan empat sumber
hokum dalam pengambialn hokum syari’ah, yaitu : Al-Qur’an, hadist, ijma’ dan
qiyas.
4. Bidang
Tasawuf
Tasawuf adalah menyucikan diri dari apa saja selain
Allah. Ketidak terikatan kepada apapun selain Allah SWT baik dalam proses batin
ataupun bertingkah laku inilah yang kemudian disebut dengan zuhud. Namun
engertian zuhud tersebut bukan berarti manusia hanya sibuk dengan hubungan
vertical dengan Tuhannya dan meninggalkan urusan duniawi. Ahlussunnah Wal
Jamaah Nahdliyyin (NU) memandang bahwa justru ditengah-tengah kenyataan duniawi
posisi manusia sebagai hamba dan fungsinya sebagai khalifah harus diwujudkan. Urusan
duniawi yang mendasar bagi manusia adalah seperti mencari nafkah dan juga
urusan-urusan yang lain seperti politik, hokum, social, budaya dan lain
sebagainya. Dalam tasawuf urusan-urusan tersebut tidak harus ditinggalkan untuk
mencapai zuhud. Praktek zuhud adalah didalam batin sementara aktivitas
sehari-hari tetap diarahkan untuk mendarmabaktikan segenap potensi manusia agar
terwujudnya masyarakat yang baik.
3.
ASWAJA ala
Nahdlatul Ulama
Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi yang
didirikan para kyai-kyai yang berpengaruh, KH. Hasyim Asy’ari merupakan simbol
ulama besar yang berpengaruh. Tujuan didirikannya Nahdlatul Ulama diantaranya
adalah memelihara, melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam
Ahlus Sunnah Wa al-Jama’ah yang menganut madzhab empat, yakni : Imam Hanafi,
Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hambali. Disamping itu juga bagaimana bisa
menyatukan antara ulama dan [para pengikutnya-pengikutnya serta melakukan
kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk menciptakan kemaslahan masyaraka,
kemajuan bangsa dan ketingian harkat dan martabat manusia.
Islam Ahlus Sunnah Wa al-Jama’ah adalah
ajaran yang disampaikan Nabi Muhammad SAW kepada sahabat-sahabat-Nya dan beliau
amalkan serta diamalkan para sahabat, paham Ahlus Sunnah Wa al-Jama’ah dalam
Nahdlatul Ulama mencakup aspek aqidah, syariah dan akhlak. Ketiganya, merupakan
satu kesatuan ajaran yang mencakup seluruh aspek prinsip keagamaan Islam. Ahlus
Sunnah Wa al-Jama’ah didasarkan pada manhaj (pola pemikiran) Asy’ariyah dan
Maturidiyah dalam bidang aqidah, dalam bidang fiqih menganut empat madzhab besar
(Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) dalam bidang tasawuf menganut manhaj Imam
al-Ghazali dan Imam Abu al-Qasim al-Junaidi al-Bagdadi, serta imam lainnya yang
sejalan dengan syari’ah Islam.
Ciri utama aswaja NU adalah sikap tawassuth
dan i’tidal (tengah-tengah atau keseimbangan). Yakni selalu seimbang dalam
menggunakan dalail, antara dalil naqli dan dalil aqli, antara pendapat
jabariyah dan qodariyah, sikap moderat dalam menghadapi perubahan dunyawiyah.
Dalam masalah fiqih sikap pertengahan antara ”ijtihad” dan taqlid buta, yaitu
dengan cara bermadzhab, ciri suikap ini adalah tegas dalam hal-hal yang
qathi’iyyat dan toreran dalam hal-hal zhanniyyat.
Tawassuth dalam menyikapi budaya ialah
mempertahankan budaya lama yang baik dan menerima budaya baru yang lebih baik,
dengan sikap ini aswaja NU tidak apriori menolak atau menerima salah satu dari
keduanya.
Sumber Ajaran aswaja NU
Pola perumusan hukum dan ajaran Ahlul Sunnah Wa
al-Jama’ah Nahdlatul Ulama sangat tergantung pada pola pemecahan masalahnya,
antara: pola maudhu’iyah (tematik) atau terapan (qonuniyah) dan waqi’yah
(kasuistik). Pola maudhu’iyah merupakan pendiskripsian masalah berbentuk
tashawur lintas disiplin keilmuan empirik. Ketika rumusan hukum atau ajaran
islam dengan kepentingan terapan hukum positif, maka pendekatan masalahnya
berintikan ”tathbiq al-syari’
Ah” disesuaikan dengan kesadaran hukum kemajemukan
bangsa. Apabila langkah kerjanya sebatas merespon kejadian faktual yang
bersifat kedaerahan atau insidental, cukup menempuh penyelesaian metode
eklektif (takhayyur) yaitu memilih kutipan doktrin yang siap pakai (instan).
Metode pengalian atau pengambilan sumber (referensi) dan
langkah-langkanya baik deduktif maupun induktif dalam tradisi keagaan Nahdlatul
Ulama dalam mengembangkan paham Ahlul Sunnah Wa al-Jama’ah.
* Madzhab
Qauli, pandangan keagamaan ulama yang terindentifikasi sebagai ”ulama sunni”
dikutip utuh qaulnya dari kitab mu’tabar (qaulnya Imam Syafi’i) dalam madzhab,
untuk memperjelas dan memperluas doktrin yang akan diambil bisa mengunakan
kitab syarah yang disusun oleh ulama sunni yang bermadzhab yang sama (Imam al
Nawawi)
* Madzhab
Manhaji, madzhab ini lebih mengarah pada masalah yang bersifat kasuistik yang
diperlukan penyertaan dalil nash syar’i berupa kutipan al-Quran, nuqilan matan
sunnah atau hadist, serta ijmak
* Madzhab
Ijtihad, metode akan ditemui pada permasalahan rancangan undang-undang atau
rancangan peraturan daerah, dengan pola ijtihad dengan memgang asas-asa idtihad
dan didukung kearifan lokal serta dialakukan secara kolektif.
Aqidah aswaja
Ketika Rasullah Muhammad SAW masih hidup,
setiap persoalan dan perbedaan pendapat di antara kaum muslimin langsung dapat
diselesaikan langsung oleh Kanjeng Nabi Muhammmad, tetapi setelah beliau wafat,
penyelesaian tersebut tidak ditemukan sehingga sering terjadi perbedaan lalu
mengedap dan terjadi permusuhan di antara mereka, awal-awal perbedaan muncul
persoalan imamah lalu merembet pada persoalan aqidah, terutama mengenai hukum
orang muslim yang berbuat dosa besar apakah dia dihukumi kafir atau mukmin
ketika dia mati.
Perdebatan ini akhirnya merembet pada
persoalan Tuhan dan Manusia, terutama pada terkait dengan perbuatan manusia dan
kekuasaan Tuhan (sifat Tuhan, keadilan Tuhan, melihat Tuhan, ke hudutsan dan
ke-qadim-an Tuhan dan kemakhukan Quran), pertetangan tersebut makin meruncing
dan kian saling menghujat.
Ditengah-tengah arus kuat perbedaan pendapat
munculah pendapat moderat yang mencoba berusaha mengkompromikan kedua pendapat
tersebut, kelompok moderat terbut adalah Asy’ariyah dan Maturudiyah yang
keduanya kemudian dinamakan kelompok Ahlus Sunnah Wa al-Jama’ah (Aswaja).
Konsep Aqidah Asy’ariyah
Konsep ini dimunculkan oleh Imam Abul Hasan
al-Asy’ari, beliau lahir di Basrah sekitar tahun 260 H/873M dan wafat di
Baghdad 324H/935M, aqidah Asy’ariyah merupakan jalan tengan dari
kelompok-kerlompok keagamaan yang pada waktu itu berkembang yakni kelompok
Jabariyah dan Qodariyah yang dikembangkan oleh Mu’tazilah.pertentangan kelompok
tersebut terlihat dari pendapat mengenai perbuatan manusia,kelompok Jabariyah
berpendapat bahwa perbuatan manusia seluhnya diciptakan oleh Allah dan manusia
tidak memiliki andil sedikitpun, berbeda dengan pendapat kelompok Qodariyah,
bahwa perbuatan manusia seluruhnya adalah diciptakan oleh manusia itu sendiri
terlepas dari Allah, artinya kelompok Jabariyah melihat kekuasaan Allah itu
mutlak sedang kelompok Qodariyah melihat kekuasaan Allah terbatas.
Asy’ariyah besikap mengambil jalan tengah
(tawasuth) dengan konsep upasya (al-kasb), menurut Asyari perbuatan manusia
diciptakan oleh Allah, namun manusia memiliki peranan dalam perbutaannya,
artinya upaya (kasb) meiliki makna kebersamaan kekuasaan manusia dengan
perbuatan Tuhan, upaya juga bermakna keaktifan dan tanggung jawab manusia atas
perbuatannya. Dengan demikian manusia selalu keratif dan berusaha dalam
menjalankan kehidupannya, akan tetapi tidak melupakan Tuhan. Konsep Asy’ariyah
mengenai toleransi (tasammuh), mengenai konsep kekuasan Tuhan yang mutlak, bagi
Mu’taziah Tuhan WAJIB bersikap adil dalam memperlakukan mahluk-Nya, Tuhan wajib
memasukan orang baik ke surga dn orang jahat ke neraka, berbeda dengan
Asy’ariyah, alasannya kewajiban berati telah terjadi pembatasan terhadap
kekuasaan Tuhan, padalah Tuhan memiliki kekuasaan mutlak, tidak ada yang membatasi
kekuasaan dan kehendak Tuhan, termasuk soal akal, Mu’tazilah memposisikan akal
diatas wahyu, berbeda dengan Asy’ariyah akal dibawal wahyu, namun akal
diperlukan dalam memahami wahyu, artinya dalam Asyariyah akal tidak ditolak,
dan kerja-kerja rasionalitas dihormati dalam kerangka pemahaman dan penafsiran
wahyu berserta langka-langkahnya.
Konsep Aqidah Maturidiyah
Konsep Aqidah Maturudiyah didirikan oleh Imam
Abu Manshur al-Maturidi, beliau lahir di Maturid di Samarkand, wafatnya sekitar
tahun 333H, konsep Maturiyah tidak jauh berbeda dengan konsep Asy’ariyah, namun
pada sandaran madzhabnya saja, kalau Asy’ariyah bermadzhab pada Imam Syafi’i
dam Imam Maliki sedangkan Maturidiyah pada Imam Hanafi.
Konsep jalan tengah (tawasuth) yang
ditawarkan Maturidiya adalah jalan damai anatar nash dan akal, artinya pendapat
Maturidiyah melihat bahwa suatu kesalahan apabilah kita berhenti berbuat pada
saat tidak terdapat nash (teks), begitu juga sebaliknya salah jika kita larut
dan tidak terkendali dalam mengunakan akal. Artinya sama pentingnya mengunakan
nash dan akaldalam memahami kekuasaan (ayat-ayat) Tuhan.
Dengan munculnya Asy’ariyah dan Maturidiyah
merupakan perdamaian antara kelompok Jabariyah yang Fatalistik dan Qodariyah
yang mengagung-agungkan akal, sikap keduanya merupakan sikap Ahlus Sunnah Wa
al-Jama’ah dalam beraqidah, sikap tawasuth diperlukan untuk merealisasikan amar
ma’ruf nahi munkar yang selalu mengedepankan kebajikan secara bijak, prinsipnya
bagaimana nilai-nilai Islam dijadikan landasan dan pijakan bermasyarakat serta
dilakukan sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat setempat.
Syariah aswaja an Nahdliyah
Ketika Rasullulaah SWA masih hidup, umat
manusia menerima ajarn langsung daribeliau atau dari sahabat yang hadir ketika
beliau menyampaikan, setelah rasullulah wafat para sahabat menyebarkan ajaran
pada generasi selanjutnya. Dengan perkembangan zaman dan kondisi masyarakat
yang kian dinamis banyak persoalan baru yang dihadapi umat, seringkali hal yang
muncul tidak tredapat jawabat secara tegas dalam al-Quran dam al-Hadis, maka
untuk mengetahui hukum atau ketentuan persoalan baru tersebut diperlukan upaya
ijtihad.
Pola pemahaman ajaran Islam melalui ijtihad
para mujtahid biasa disebut madzab yang berarti ”jalan pikiran dan jalan
pemahaman” atau pola pemahaman. Pola pemahaman dengan metode, prosedur dan
produk ijtihad tersebut diikuti oleh umat Isalam yang tidak mampu melakukan
ijtihad sendiri, karena keterbatasan ilmu dan syarat-syarat yang dimiliki.
Inilah yang disebut bermazhab atau mengunakan mazhab. Dengan cara bermazhab
inilah ajaran Islam dapat dikembangkan, disebarluaskan dan diamalkan dengan
mudah kepada semua lapisan masyarakat. Melalui sistem inilah pewarisan dan
pengamalan ajaran Islam terpelihara kelurusannya serta terjamin kemurnian al-Quran
dan al-Hadist dipahami, ditafsirkan dan diopertahankan.
Kenapa harus empat mazhab
Di antara mazhab bidang fiqh yang paling
berpengaruh yang pernah ada sebanyak empat (Syafi’i, Maliki, Hambali dan
Hanafi), alasan memilih keempat Imam tersebut;
* Secara
kualitas pribadi dan keilmuan mereka sudah mashur, artinya jika disebut nama
mereka hampir dapat dipastikan maroritas umat Islam di dunia mengenal dan tidak
diperlukan penjelasan detail.
* Keempat
Imam tersebut adalah Imam Mujtahid Mutlak Mustaqil, yaitu Imam yang mampu
secara mandiri menciptakan Manhaj al-fikr, pola, metode, proses dan prosedur
istimbath dengan seluruh perangkat yang dibutuhkan
* Para
Imam Mazhab memiliki murid yang secara konsisten mengajar dan mengembangkan
mazhabnya yang didukung oleh kitab induk yang masih terjamin keasliannya hingga
sekarang
* Keempat Imam tersebut memiliki mata rantai
dan jaringan intelektual diantara mereka.
Tasawuf aswaja ala NU
Ahlus Sunnah Wa al-Jama’ah memiliki prinsip,
bahwa hakiki tujuan hidup adalah tercapaianya keseimbangan kepentingan dunia
dan akhirat, serta selalu mendekatkan diri pada Allah SWT. Untuk dapat
mendekatkan diri pada Allah, diperlukan perjalanan spiritual, yang bertujuan
memperoleh hakikat dan kesempurnaan hidup, namun hakikat tidak boleh dicapai
dengan meninggalkan rambu-ra,bu syariat yang telah ditetapkan oleh Allah SWT
dalam al-Quran dan Sunnah Rasullullah SAW, ini merupakan prinsip dari tasawuf
aswaja. Kaum Nahdliyin dapat memasuki kehidupan sufi melalui cara-cara yang
telah digunakan oleh seorang sufi tertentu dalam bentuk thariqah, tidak semua
thariqah memiliki sanad kepada Nabi Muhammmad, dan yang tidak memiliki sanad
pada Nabi Muhammmad tidak diterima sebagai thariqah mu’tabarah oleh Nahdliyin.
Jalan sufi yang telah dicontohkan Nabi
Muhammad dan pewarisnya,adalah jalan yang tetap memegang teguh pada
perintah-perintah syariat seperti ajaran-ajaran tasawuh yang terdapat dalam
tasawuf al-Ghazali dan Junaid al-Baghdadi. Tasawuf model al-Ghazali dan Junaid
al-Baghdadi diharapkan umat akan dinamis dan dapat mensandingkan antara
kenikmatan bertemu dengan Tuhan dan sekaligus menyelesaikan persoalan-persoalan
yang dihadapi manusia, seperti yang ditunjukan oleh wali songo yang menyerkan
islam di Indonesia. Dengan model tasawuf yang moderat memungkinkan umat islam
secara individu memiliki hubungan langsung dengan Tuhan dan secara berjamaah
dapat melakukn gerakan kebaikan umat, sehingga menjadikan umat memiliki
kesalehan individu dan kesalehan sosial.
B. TIGA ASPEK PEMAHAMAN ASWAJA
Pemahaman Aswaja adalah
kajian tentang Islam itu sendiri. Berarti ruang lingkup islam itu sendiri
berupa kajian yang membedakan dengan pemahaman lainnya. Perbadaan dengan
pemahaman lainnya terletak pada ketiga aspek penting, yakni aspek aqidah,
Syariat, dan akhlaq. Menurut ulama Asawaja, dari ketiga aspek tersebut,
yan paling banyak permasalahan yang ditimbulkannaya adalah aspek aqidah,
sedangkan aspek syariat, dan akhlaq merupakan selanjutnya. Memahami ketiga
aspek tersebut akan dijelaskan selanjutnya,
1. Aqidah
Aspek aqidah
menjelaskan tetang pemahaman aqidah yang diambil dari pendapat Imam yang paling
sesuai dan adil, sehingga sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta
fleksibel dengan masyarakat. Pendapat Aqidah yang dipilih dalam pemahaman
Aswaja adalah dari Imam Asyariah dan Imam Maturidi.
Secara Historis,
lahirnya pemahaman Aqidah Aswaja berasal atau berawal dari permaalahan
menggunakan Mu’tazilah dijadikan paham keagamaan Islam resmi pemerintah oleh
penguasa Abbasiyah. Pada masa tersebut terjadilah kasus mihnah (dalam tarikh
Aththbary) yang cukup menimbulkan keresahan ummat Islam. Ketika Imam al Asyari
tampil berkhutbah menyampaikan pemikiran-pemikiran teologi islamnya sebagai
koreksi teologi Mu’tazilah dalam beberaa hal yang dianggap bid’ah. Sehingga
disambut positif oleh masyarakat atas koreksi tersebut. Dan akhirnya banyak
ummat islam menjadi pengikutnya yang kemudian disebut dengan kelompok Asy’ari.
Di tempat
lain yakni di Samarqand Uzbekistan, juga
muncul seorang Imam Abu Manshur al-Maturidi
(333 H) yang secara garis besar rumusan
pemikiran teologi Islamnya paralel dengan
pemikiran teologi Asy’ariyah, sehingga dua
imam inilah yang kemudian diakui sebagai imam penyelamat akidah
keimanan, karena karya pemikiran dua imam ini tersiar ke seluruh belahan dunia
dan diakui sejalan dengan sunnah Nabi saw.
serta petunjuk para sahabatnya, meskipun sebenarnya masih ada satu
orang ulama lagi yang sepaham, yaitu Imam al-Thahawi (238 H – 321
H) di Mesir.
Akan
tetapi karya beliau tidak sepopuler dua
imam yang pertama. Akhirnya para ulama menjadikan rumusan akidah
Imam Asy’ari dan Maturidi sebagai pedoman akidah yang sah dalam Aswaja.
Secara
materil banyak produk pemikiran Mu’tazilah yang,
karena metodenya lebih mengutamakan akal daripada nash (Taqdîm al-‘Aql ‘alâ
al-Nash), dinilai tidak sejalan dengan sunnah, sehingga sarat
dengan bid’ah, maka secara spontanitas para
pengikut imam tersebut bersepakat menyebut sebagai kelompok Aswaja,
meskipun istilah ini bahkan dengan pahamnya telah ada dan berkembang pada
masa-masa sebelumnya, tetapi belum
terinstitusikan dalam bentuk mazhab. Karena itu,
secara historis term aswaja baru dianggap secara
resmi muncul dari periode ini. Setidaknya
dari segi paham telah berkembang sejak masa
‘Ali bin Abi Thalib r.a., tetapi dari
segi fisik dalam bentuk mazhab baru
terbentuk pada masa al Asy’ari, al-Maturidi, dan al-Thahawi.
2. Syari’at
Aspek yang
kedua adalah syari’ah atau fiqih, artinya
paham keagamaan yang berhubungan dengan
ibadah dan mu’amalah. Yang dimaksud dengan ibadah
adalah tuntutan formal yang berhubungan dengan
tata cara seorang hamba berhadapan dengan
Tuhan, seperti shalat, zakat, haji, dan
sebagainya. Adapun yang dimaksud dengan
muamalah adalah bentuk ibadah yang bersifat sosial, menyangkut hubungan
manusia dengan sesama manusia secara horisontal, misalnya dalam hal jual
beli, pidana-perdata, social-politik, sains dan
sebagainya. Yang pertama disebut habl min Allâh (hubungan manusia dengan
Allah), dan yang kedua disebut habl min al-nâs (hubungan manusia dengan
manusia).
Secara historis,
aspek yang kedua ini disepakati oleh jumhur ulama bersumber
dari empat mazhab, yakni Hanafi, Maliki,
Syafii dan Hanbali. Secara substantif,
aspek yang kedua ini sebenarnya tidak
terbatas pada produk hukum yang dihasilkan
dari empat madzhab di atas, produk
hukum yang dihasilkan oleh imam-imam mujtahid
lainnya, yang mendasarkan penggalian hukumnya
melalui al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas,
seperti, Hasan Bashri, Awzai, dan lain-lain tercakup dalam lingkup pemikiran
Aswaja, karena mereka memegang prinsip utama Taqdîm al-Nash ‘alâ
al-‘Aql (mengedepankan daripada akal).
3. Akhlaq
Aspek penting yang
ketiga dari Aswaja adalah akhlak atau tasawuf. Kajian aspek
yang ketiga ini dirumuskan oleh Imam
al-Ghazali, Abu Yazid alBusthami, dan al-Junayd al-Baghdadi,
serta ulama-ulama sufi yang sepaham. Ruang lingkup ke-tiga ini dalam diskursus
Islam dinilai penting karena mencerminkan faktor ihsan
dalam diri seseorang. Iman menggambarkan keyakinan, sedang
Islam menggambarkan syari’ah, dan ihsan menggambarkan
kesempurnaan iman dan Islam. Iman ibarat
akar, Islam ibarat pohon. Artinya manusia
sempurna, ialah manusia yang disamping bermanfaat untuk dirinya, karena
ia sendiri kuat, juga memberi manfaat kepada
orang lain (transformasi kesholehan individuan
menuju kesholehan sosial). Ini yang sering
disebut dengan insan kamil.
Keberadaan akhaq
terasa penting bagi kehidupan soial seorang hamba Allah S. W. T., baik dengan
Tuhan maupun kepada sesama manusia. Hubungannya dengan aspek aqidah dan
syar’iat berupa suatu cara mengaplikasikan dalam bentuk kepribadian yang baik
(Insan Kamil). Dengan terbentuknya pribadi muslim yang baik bagi seorang
hamba, akan berpengaruh terhadap keseharian dirinya sendiri maupun orang –
orang yang disekitarnya. Sehingga terbentuklah lingkungan yang baik disekitar
hamab tersebut.
Kehidupan keseharian
merupakan tempat pengaplikasian ilmu yang diperoleh. Baik berupa penyampain
secara lisan maupun dengan bentuk tindakan. Secara lisan biasanya dilkukan oleh
seorang guru, dosen, atau motivator. Sedangkan dengan cara tindakan, biasanya
terkias dalam kehidupa masyarakat. Untuk melakukan atau menyampaikan
pengaplikasian ilmu yang diperoleh dibutuhkan ilmu yang sesuai dan mudah
diterima di kehidupan sosial.
Pemahaman Aswaja
merupakan suatu paham yang sudah diterima oleh masyarakat. Tiga Aspek penting
(Aqidah, Syar’iat, dan Akhaq) didalam Aswaja, dapat dijadikan suatu cara untuk
mengaplikasikan dan menyampaikan ilmu dunia dan akhirat yang diperoleh. Cara
mengaplikasian aspek aqidah yang bersumber dari pemahaman dari Imam Asyariah
dan Imam Maturidi, berupa menjadiakan pedoman dalam menghadapi dan tetap
mempertahankan dari berbagai pemahaman di era sekarang. Banyaknya pemahaman
yang mengenalkan dirinya lebih benar dibandingkan yang lain, merupakan
tantangannya. Ilmu yang baik disampaikan dengan cara halus tanpa ada rasa
sombong maupun marah, namun dengan ikhlas. Cara mengaplikasian aspek fiqih,
harus sesuai dengan ke empat mahdzab (Hanafi, Maliki, Syafii
dan Hanbali). Adapun pemahaman dari keempat mahdzab tersebut, bersumber
dari Al-Qur’an, As-Sunnah, Qiyas, dan Ijma’. Dari kita mengaplikasiakannya akan
menunjukkan kepada masyarakat bahwa pemahaman yang sesuai dengan era sekaran
adalah pemahaman Aswaja. Sedangkan cara mengaplikasikan aspek Akhlaq,
disesuaikan dengan perumusan ulama sufi seperti Imam al-Ghazali,
Abu Yazid Al Busthami, dan al-Junayd al-Baghdadi, serta ulama
lainnya yang sepaham. Ilmu yang baik akan tersampaikan dari seorang Pribadi
hambah yang baik. Seorang insan kamil yang menyampaikan sesuai dengan pemahaman
akhlaq Aswaja, akan mudah diterima oleh masyarakat. Karena, akhlaqnya terbentuk
tidak untuk saling menyalahkan, namun menyesuaikan dengan keadaan lingkungan
disekitarnya dengan cara yang baik. Mulai dari asing dikenal hingga terkenal
dan dekat dengan masyarakat. Tidak menyalahkan, namun mengarahkan ke jalan yang
baik, dengan tetap menjaga pemahaman yang ada di masyarakat.
C.
IMPLEMENTASI PAHAM ASWAJA
Bentuk pemahaman keagamaan
Ahlussunnah Waljama’ah yang dikembangkan NU disebutkan secara tegas dalam AD NU
Bab II tentang Aqidah/Asas Pasal 3 (Setjen PBNU, 2000: 10), yakni ”Nahdlatul
Ulama sebagai Jam’iyyah Diniyah Islamiyyah beraqidah/berasas Islam menurut
faham Ahlussunnah Waljama’ah dan menganut salah satu dari mazhab empat: Hanafi,
Maliki, Syafi’i, dan Hanbali”. Untuk bidang tasawuf yang merupakan dasar
pengembangan akhlak atau perilaku kehidupan individu dan masyarakat, NU
menganut paham yang dikembangkan oleh Abul Qasim Al-Junaidi Al-Baghdadi dan
Muhammad ibnu Muhammad Al-Ghazali serta Imam-Imam yang lain (Setjen PBNU: tt.,
9).
Dari penjelasan itu dapat
dipahami bahwa NU mengembangkan faham Ahlussunnah Waljama’ah yang mencakup tiga
hal pokok yang secara garis besar juga merupakan aspek-aspek ajaran Islam,
yaitu: (1) akidah; (2); syari’ah atau fikih; dan (3) akhlak.
Akidah merupakan aspek
terpenting sekaligus yang melatarbelakangi lahirnya paham Ahlussunnah
Waljama’ah dalam dunia Islam. Di lingkungan NU, pemahaman terhadap aspek akidah
menggunakan metode Asy’ariah dan Maturidiah. Paham Ahlussunnah Waljama’ah
menempatkan nash Al-Quran dan Sunnah Nabi sebagai otoritas utama yang berfungsi
sebagai petunjuk bagi umat manusia dalam memahami ajaran Islam. Dalam kaitan
ini, akal yang mempunyai potensi untuk membuat penalaran logika, filsafat, dan
mengembangkan ilmu pengetahuan merupakan alat bantu untuk memahami nash
tersebut.
Syari’ah atau fikih
merupakan aspek keagamaan yang berhubungan dengan kegiatan ibadah (ibâdah) dan
mu’amalah (mu’âmalah). Ibadah merupakan tuntutan formal yang berhubungan dengan
tata cara seorang hamba dalam berhadapan dengan Tuhannya, seperti yang
tergabung dalam rukun Islam. Hubungan secara langsung antara hamba dengan
Tuhannya ini dalam bahasa Al-Quran disebut habl min Allâh. Adapun mu’amalah
merupakan bentuk kegiatan ibadah (penghambaan kepada Allah atau pengamalan
ajaran agama) yang bersifat sosial, menyangkut hubungan manusia dengan
sesamanya secara horizontal, misalnya jual beli, perilaku pidana-perdata,
pembuatan kesepakatan-kesepakatan tertentu, perilaku sosial-politik, dan lain
sebagainya. Dalam bahasa Al-Quran aspek ini disebut dengan habl min an-nâs.
Semua dasar dari syari’ah
atau fikih ini ada di dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi. Akan tetapi, menurut
paham Ahlussunnah Waljama’ah tidak semua orang akan dapat menerjemahkan dan
memahaminya secara langsung. Sebagaimana diketahui, kebanyakan nash Al-Quran
maupun Sunnah berbicara tentang pokok dan prinsip-prinsip (ashl, j: ushûl)
masalah. Hal ini membutuhkan penjabaran dengan metode pengambilan hukum
tertentu, sehingga dapat diperjelas apa saja yang menjadi cabang-cabangnya
(far’ j: furû’). Untuk melakukan hal ini diperlukan ijtihad yang tidak semua
mampu melakukannya. Itulah sebabnya mengapa dalam paham Ahlussunnah Waljama’ah,
mengikuti mazhab tertentu dalam memahami ajaran agama menjadi demikian penting.
Implementasi Paham Ahlussunnah
Waljama’ah di NU, koridor bagi pemahaman keagamaan di lingkungan NU adalah
taqdîm an-nashsh ’alâ al-’aql (mendahulukan nash atas akal). Itulah sebabnya
mengapa dalam mengimplementasikan paham Ahlussunnah Waljama’ah, NU mengenal
hirarki sumber ajaran Islam sebagaimana dilakukan oleh mayoritas umat Islam,
yaitu mulai dari Al-Quran, sunnah, ij’mâ’ (kesepakatan jumhur ulama), dan qiyâs
(pengambilan hukum melalui metode analogi tertentu), diletakkan dalam konteks
yang hierarkis, di mana sumber suatu hukum baru akan digunakan jika dalam
sumber di atasnya tidak ditemukan keketapannya.
Hierarki sumber ini berlaku
untuk semua aspek keagamaan, baik akidah, syari’ah atau fikih, maupun akhlak.
Hierarki seperti ini, secara implisit juga tergambar dalam pernyataan Asy’ari
pada saat memproklamirkan pahamnya di depan publik, bahwa sandaran otoritas
pendapat dan keyakinan yang dianutnya adalah berpegang teguh Al-Qur’an dan
Sunnah Rasulullah, atsar sahabat, perkataan tabi’in, pembela hadis, dan apa
yang dikatakan oleh Ahmad ibn Hanbal. (lihat: Nasir Yusuf dan Karsidi Ningrat,
1998: 46-47).
Watak atau ciri NU dalam
mengembangkan paham Ahlussunnah Waljama’ah adalah pengambilan jalan tengah yang
berada di antara dua ektrim. Kalau kita melihat ke belakang, sejarah teologi
Islam memang banyak diwarnai oleh berbagai macam ektrem, seperti Khawarij
dengan teori pengkafirannya terhadap pelaku dosa besar, Qadariyah dengan teori
kebebasan kehendak manusianya, Jabariyah dengan teori keterpaksaan kehendak dan
berbuat manusianya, dan Muktazilah dengan pendewaannya terhadap kemampuan akal
dalam mencari sumber ajaran Islam. Di sinilah Asy’ariah dan Maturidiah –dengan
mengambil inspirasi berbagai pendapat yang sebelumnya dikembangkan terutama
oleh Ahmad ibn Hanbal-- merumuskan formulasi pemahaman kalamnya tersendiri dan
banyak mendapatkan banyak pengikut di seluruh dunia.
Dalam Risalah Khittah
Nahdliyyah, K.H. Achmad Shiddiq (1979: 38-40), menjelaskan bahwa paham
Ahlussunnah Waljama’ah memiliki tiga karakter. Pertama, tawâsuth atau sikap
moderat dalam seluruh aspek kehidupan; kedua, al-i’tidâl atau bersikap tegak
lurus dan selalu condong pada keberanaran keadilan; dan ketiga, at-tawâzun atau
sikap keseimbangan dan penuh pertimbangan.
Tiga karakter tersebut
berfungsi untuk menghindari tatharruf atau sikap ekstrim dalam segala aspek
kehidupan. Dengan kata lain, (Muhith Muzadi, tt: 33-34) harus ada pertengahan
dan keseimbangan dalam berbagai hal. Dalam akidah, misalnya, harus ada
keseimbangan atau (pertengahan) antara penggunaan dalil naqliy dan ’aqliy,
antara ekstrim Jabariyah dan Qadariyah. Dalam bidang syari’ah dan fikih, ada
pertengahan antara ijtihad ”sembrono” dengan taklid buta dengan jalan
bermazhab. Tegas dalam hal-hal qath’iyyât dan toleran pada hal-hal dzanniyyât.
Dalam akhlak, ada keseimbangan dan pertengahan antara sikap berani (syajâ’ah)
dan sikap penakut serta ”ngawur”. Sikap tawâdlu’ (rendah hati) merupakan
pertengahan antara takabbur (sombong) dan tadzallul (rendah diri).
Secara keseluruhan, bisa
juga dikatakan bahwa paham keagamaan Ahlussunah Waljama’ah yang ditampilkan
oleh NU merupakan manhaj yang mengambil jalan tengah antara kaum ekstrem ’aqliy
(rasionalis) dengan kaum ekstem naqliy (skripturalis). Akan tetapi, dalil-dalil
berdasarkan nash Al-Quran dan sunnah (naqliy) secara hierarkis berada di atas
dalil berdasarkan akal atau logika (aqliy). Dengan kata lain bahwa di dalam
lingkungan NU diterapkan metode berpikir untuk mendahulukan nash dari pada akal
(taqdîm an-nashsh ’alâ al-aql).
Perpaduan antara tawassuth,
i’tidâl, dan tawâzun ini juga mencerminkan tradisi NU yang dalam secara
kultural bersikap mempertahankan tradisi lama yang baik, menerima hal-hal baru
baru yang lebih baik, tidak bersikap apriori dalam menerima salah satu di
antara keduanya, dan lain sebagainya. Inilah maksud dari adagium ”al-muhâfazhah
’alâ al-qadîm ash-shâlih wa al-akhdz bi al-jadîd al-ashlah”. Dengan demikian,
secara konseptual NU memilih jalan moderat dan terbuka (inklusif) dalam
mengamalkan ajaran agama (baca: Islam).
Dalam tataran implementasi,
memang selalu ditemukan kendala antara sisi al-muhâfazhah ’alâ al-qadîm
ash-shâlih dan al-akhdz bi al-jadîd al-ashlah,. Yaitu, adanya kesimpulan bahwa
kaum nahdliyyin merupakan masyarakat Islam tradisional, pada satu sisi
barangkali –meskipun bisa dipahami dalam pengertian lain, antusiasme mereka
dalam melestarikan budaya dan tradisi lokal dalam mengamalkan ajaran agama
disebabkan oleh kenyataan bahwa dalam mengimplementasikan paham Ahlussunnah
Waljama’ah itu mereka lebih menitikberatkan pada aspek prinsip tadi.
Prof. Dr. K.H. Said Aqil
Siraj, seorang tokoh NU yang pada tahun 1990-an sempat menggemparkan wacana
Ahlussunnah Waljama’ah di lingkungan NU, berpendapat bahwa adagium itu
sebaiknya dipertajam lagi dengan istilah ”al-îjâd” atau ”al-ibdâ” bi al-jadîd
al-ashlah yang mengandung pengertian ’aktif’ dan ’kreatif’ daripada al-akhdz
yang mengandung pengertian ’pasif’ (lihat: Endang Turmudzi, dkk, 2004: 2).
Apa yang dijelaskan oleh
Said Aqil Siraj itu pada dasarnya merupakan otokritik atas apa yang selama ini
berkembang di lingkungan nahdliyyin. Terlepas dari perdebatan mengenai hal ini,
yang harus dipahami adalah bahwa prinsip al-muhâfazhah ’alâ al-qadîm ash-shâlih
al-akhdz bî al-jadîd al-ashlah merupakan sebuah kesatuan, dan harus
diimplementasikan secara seimbang
Dengan demikian selalu ada
celah di mana paham Ahlussunnah Waljama’ah harus selalu dikaji dan dikritisi,
di samping menjaga keutuhan metode pemikirannya. Pemahaman seperti ini (Said
Aqil Siradj, 1999: 197), bukan dimaksudkan sebagai upaya vis a vis Imam Asy’ari
dan Imam Maturidi. Namun, justru diproyeksikan sebagai upaya untuk meneruskan
dasar-dasar yang pernah mereka paparkan secara kritis, metodologis, dan
analisis.
Aktualisasi sebuah ajaran
tentu mensyaratkan adanya upaya untuk selalu menjadikan ajaran itu relevan
dengan situasi kongkret dan kekinian, serta mampu memberikan solusi atas
persoalan-persoalan yang terus berkembang. Hal ini mengandaikan adanya proses
pencermatan secara kritis terhadap apa yang telah dihasilkan oleh para pendiri
paham Ahlussunah Waljama’ah. Sikap yang cermat dan kritis inilah yang akan
mengantarkan seseorang bersikap moderat dan terbuka dalam beragama.
Ahussunnah Waljama’ah
sebagaimana dirumuskan oleh Kiai Hasyim Asy’ari dalam Risâlah Ahl as-Sunnah wa
al-Jamâ’ah merupakan cara pandang, berpikir, dan pada dasarnya bersifat
holistik (menyeluruh) yang mengasumsikan bahwa segala persoalan hidup
kemanusiaan baik lahir maupun batin bisa terjawab dengan paham keagamaan itu.
Akan tetapi, memang sulit dijumpai karya-karya ulama di lingkungan NU yang
secara panjang lebar menjelaskan persoalan filsafat dan politik, meskipun soal
politik ini juga dibahas dalam lain kesempatan, misalnya dalam Resolusi Jihad,
dan bisa dimasukkan sebagai bagian dari sistem Ahlussunnah Waljama’ah yang
dianut NU. Selain itu, kalangan NU pada umumnya melihat bahwa filsafat NU
adalah Ghazalian, sedangkan politiknya Mawardian, yangmengacu pada Imam
Mawardi. Namun semuanya itu agaknya lebih banyak dipraktekkan ketimbang
dirumuskan menjadi pola pemahaman Ahlussunnah Waljama’ah secara lebih
sistematis dan terinci. (Abdul Mun’im Dz, 2004: ws.).
Akan tetapi pada dasarnya NU
senantiasa memberikan respons terhadap persoalan-persoalan kehidupan
masyarakat. Disepakatinya konsep Mabadi Khayra Ummah (prinsip-prinsip dasar
pembangunan masyarakat) dalam Kongres NU XIII tahun 1935, merupakan upaya para
ulama dalam memberikan jawaban atas persoalan-persoalan yang berkembang di
masyarakat. Konsep itu disempurnakan lagi pada Munas Alim Ulama di Bandar
Lampung Pada 21-25 Januari 1992. Wawasan NU tentang plularitas masyarakat juga
tergambar dalam upaya-upaya perumusan dasar negara pada masa kemerdekaan,
penerimaannya asas Pancasila bagi organisasi sosial dan kemasyarakatan yang ada
di Indonesia.
Sikap dan jawaban-jawaban NU
atas berbagai persoalan kemasyarakatan maupun politik itu berkembang dari waktu
ke waktu. Untuk melakukan hal ini NU mempunyai wadah bahtsul masa’il. Forum
inilah yang menjadikan NU mempunyai dinamika dan kompleksitas masalah
tersendiri dalam hal fatwa, yang sejak kelahirannya hingga saat ini, NU telah
memproduksi ratusan fatwa.
Dalam fatwa NU No. 2/1926
masalah hierarki dibahas sedemikian rupa dalam rangka memberi batasan-batasan
yang hati-hati (ikhtiyâth) dalam mengeluarkan fatwa. Pada awalnya, metode
perumusan fatwa diambil dari konsensus (ijmâ’) Imam Nawawi dan Imam Rafi’i.
Jika masih gagal juga, maka yang dijadikan rujukan adalah para ulama mazhab
Syafi’i yang bisa dirujuk dari Kanz ar-Râghibîn (karya Imam Mahalli), Tuhfah
al-Muhtâj (karya Imam Ibnu Hajar), Mughni al-Muhtâj (karya Imam Syarbini), dan
Nihâyah al-Muhtâj (karya Imam Ramli). Yang perlu dicatat adalah, pada akhirnya
semua pandangan para ulama boleh dirujuk. Apa yang terjadi di tingkat ulama NU
ini sering dipandang sebagai bentuk taqlîd, bukan ijtihâd. Regulasi pengambilan
sumber semacam itulah yang kemudian memberikan ulama NU reputasi atas
konservatisme tradisional, yang oleh kebanyakan pemikir ”modern” semata-mata
diartikan sebagai taqlîd. Menurut Hooker pemberian atribut ini pada dasarnya
terlalu berlebihan dan patut dipertanyakan bahkan bisa menjadi kekeliruan
serius. (2003:87).
Di lingkungan NU sendiri,
agaknya tidak terlalu menjadi persoalan apakah sistem perujukan sumber-sumber
itu disebut ijtihad ataukah taklid. Keharusan bertaklid bagi orang yang tidak
memiliki kemampuan cukup untuk berijtihad yang amat ditekankan oleh Kiai Hasyim
Asy’ari dalam Risâlah Ahl as-Sunnah wal al-Jamâ’ahnya itu agaknya cukup
memberikan pengaruh terhadap realitas yang berkembang dalam metode pengambilan
hukum dan keputusan-keputusan ulama di lingkungan NU. Akan tetapi sesungguhnya
yang dimaksud Kiai Hasyim Asy’ari itu adalah agar setiap orang menumbuhkan
sikap kehati-hatian dalam menjalankan ajaran dan hukum-hukum agama. Sehingga,
perujukan terhadap keputusan-keputusan yang dihasilkan oleh as-salaf
ash-ashâlih perlu dilakukan dan menjadi dasar pegangan dalam proses-proses
penarikan kesimpulan yang berkaitan dengan hukum agama. Inilah yang melandasi
NU untuk menentukan pilihan mazhab dalam kehidupan agama. (***)
D.
NU DAN ISU-ISU GLOBAL (HAM, Gender,
Dan Demokrasi)
Sebagai jam’iyyah yang menganut paham Aswaja, NU tentu
tidak bisa dilepaskan dari persoalan global. Masalah kemanusiaan sejalan dengan
perkembangan zaman dan kini sedang masuk dalam era globalisasi, berkembang
demikian pesatnya. Disini NU dituntut untuk mampu memberikan jawaban-jawaban
solutif dan menempatkan dirinya pada peran stratregis bagi perjuangan
kemanusiaan, penegakan keadilan, persamaan, dan kesetaraan. Masalah hak asasi
manusia, jender, demokrasi, dan pluralisme merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari kehidupan manusia. Sejak dalam kehidupan manusia terjadi
interaksi sosial, sesungguhnya pada saat itulah masalah-masalah tersebut
mulai ada.
1.
Hak Asasi Manusia
(HAM)
Masalah
kemanusiaan merupakan masalah global yang melampaui batas-batas etnik, ras,
maupun ideology. Sikap penolakan terhadap segala bentuk deskriminasi,
ketidakadilan, penindasan, dan pemaksaan kehendak merupakan hal yang dimiliki
oleh bangsa, suku, agama, dan kelompok manapun di seluruh penjuru dunia.
Jauh
sebelum itu, Piagam Magna Charta (1215), Deklarasi Kemerdekaan Amerika (1776 M)
telah menyuarakan gagasan persamaan, persaudaraan dan kebebasan. Jauh sebelum
itu, Nabi Musa dengan segala pengorbanannya berupaya membebaskan bangsa Israel
dari penindasan Fir,aun ; Nabi yunus rela terjun ke laut demi keselamatan
umatnya yang ada di perahu ; begitu juga nabi-nabi sebelumnya. Akhirnya , Nabi
Muhammad SAW yang dengan segala pengorbanannya berhasil menciptakan masyarakat
madani (civilized sosiety)
Upaya-upaya
penegakan HAM merupakan masalah global dan tugas manusia secara keseluruhan
yang tentu saja harus mendapatkan respons serius dari agama. Kenyataanya bahwa
setiap kelompok, bangsa, ideology, maupun agama manapun diseluruh penjuru dunia
untuk menggaungkan perjuangan demi penegakkan dan pemenuhan HAM seharusnya
menjadi momentum bersama untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan
sejahtera, yang jauh dari penindasan, pertumpahan darah, kekerasan, dan
kezaliman. Al-Qur’an sendiri dengan tegas menyatakan bahwa menghalang-halangi
upaya penegakan keadilan merupakan perbuatan orang-orang kafir.
2.
Jender
Wacana jender selalu menampilkan wacana stereotif yang
membedakan posisi laki-laki danperempuan.selama berabad-abad, masalah ini
agaknya kurang mendapat perhatian dan cendereung dilupakan,. Dengan segala
keterbatasan dan kekurangannya, gerakan-gerakan penentangan terhadap system
feodalisme menuju pencerahan (aufkllarung)–pun
tidak terlepas dari kondisi ini.
Sejarah penyebaran islam juga bergulat dengan realitas
serupa. Seting masyarakat Arab ketika Nabi Muhammad tampil membawa risalah
Islam adalah komunitas yang tidak “memanusiakan” perempuan. Kaum laki-laki
dengan sewenang-wenang mencari pasangan perempuan sebanyak-banyaknya tanpa
batas. Anak laki-laki lebih dibanggakan dari pada anak perempuan, hingga
menyebabkan beberapa suku tertentu memilih untuk membunuh bayi perempuannya.
Ini diperparah lagi dengan cara mereka dalam menempatkan perempuan sebagai
benda yang dapat diwariskan secara turun temurun.
Akibat dari mapannya kultur yang demikian itu,
masyarakat dunia secara umum memandang bahwa peran perempuan terbatas pada
urusan rumah tangga dan keluarga, sedangkan peran publik dipegang oleh kaum
laki-laki. Masalah jender memang demikian rumit, karena tidak terbatas pada
perbedaan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Lebih jauh lagi harus
diperjelas apa batas-batas yang bisa dipersoalkan dalam “pembedaan” terhadap
kedua jenis mahluk ini.
Di lingkungan NU, pemberdayaan terhadap kaum perempuan
menjadi concern utama bagi pembangunan masyarakat. Cita-cita ini mendasari
lahirnya organisasi-organisasi perempuan seperti IPPNU, muslimat NU, dan
fatayat NU. NU menentang pandangan tradisional di masa sebelum dan menjelang
kemerdekaan di mana perempuan dianggap sebagai “konco winking” (teman di belakang).
Secara konseptual, NU pada dasarnya mengembangkan
pandangan kesetaraan derajat perempuan dangan laki-laki. Beberapa keputusan di
lingkungan ulama NU mencerminkan pandangan ini, seperti : (1) Keputusan Konbes
Syuriah NU tanggal 17 Sya’ban 1376 H/19 Maret 1957 M di Surabaya, yang
membolehkan kaum wanita menjadi anggota DPR/DPRD ; (2) Keputusan Muhtamar NU
tahun 1961 di Salatiga yang membolehkan seorang wanita menjadi kepala desa ;
dan (3) Keputusan Munas Alim Ulama Tahun 1997 di NTB, memberikan lampu hijau
atas peran publik, hingga menjadi presiden dan wakil presiden. Oleh sebab itu,
tidak cukup beralasan jika islam ssecara ideologis menolak kepemimpinan
perempuan atau mensubordinasikan kaum perempuan.
3.
Demokrasi
Demokrasi,
saat ini diakui sebagai sistem terbaik bagi pemerintahan sebuah Negara.
Hubungan antara Islam dan Demokrasi, dalam arti, potensi demokratis Islam
sebagaisebuah agama, budaya dan pradaban masih tetap merupakan masalah yang
controversial. Demokrasi sebagai sebuah fenomena sejarah dalam kehidupan
manusia, entah siapa yang pertama kali menciptakan istilah itu, merupakan buah
dari pergulatan yang amat panjang, di mana manusia berupaya untuk mencapai apa
yang disebut dengan kebebasan, persamaan, dan hokum dalam sebuah system
kehidupan bermasyarakat.
Sebagai
umat Islam yang ikut membidani lahirnya kemerdekaan dan pembentukan Republik
Indonesia, NU telah melewati dinamika tersendiri dalam melihat hubungan antara
Islam dan Negara. Tesis yang paling NU sebagai kelompok Sunni adalah bahwa Nabi
SAW tidak memberikan wasiat kepemimpinan kepada siapapun (berdasarkan HR.
Bukhari dari Aisyah). Ini artinya bahwa masalah pengaturan masyarakat, Negara,
dan kepemimpinan berada di tangan umat. Untuk itu perlu dilakukan
musyawarah (syura) dalam memutuskan masalah-masalah yang berkaitan
dengan umat, termasuk Negara. Ini mengandaikan adanya hak suara, hak pilih, hak
mengeluarkan pendapat, dan lain sebagainya yang menjadi bagian penting dalam
sistem demokrasi.
Dengan
demikian, demokrasi (dalam tataran substantive; bukan teknis) harus dilihat
sebagai frase perjuangan untuk menegakkan nilai-nilai keadilan (al-adalah), persamaan derajat (al-musawah), menghargai
perbedaan suku, budaya, agama (at-tasamuh), kemerdekaan dan kebebasan berekspresi (al-hurriyah), solidaritas (at-ta’awun) yang akhirnya akan mendorong pada
terciptanya sebuah sistem yang berlandaskan syura. Nilai-nilai
itulah yang akan membuat masyarakat mampu membangun kebersamaan, menumbuhkan
sikap saling menghormati dan menghargai atau pluralis, dan akhirnya
pemerintahan yang baik. Wa Allah A’lam.
PEMIKIRAN DAN AMALIAH NUHDLATUL ULAMA
1. Syakhsiyah Nahdliyah
Hampir
satu abad lamanya NU eksis di bumi Indonesia. Faktor utama yang memperkuat
basis legitimasi NU di tengah masyarakat adalah komitmennya pada nilai-nilai
luhur, konsisten mengusung agenda perubahan dan keberpihakannya terhadap
kelompok-kelompok yang terpinggirkan.
NU
berpendirian bahwa islam diturunkan sebagai rahmatan lil’alamin, memiliki makna
dan fungsi universal, suci, fitri, hanif serta dapat di terima dan diamalkan
oleh seluruh umat manusia. Ragam ras, budaya, agama, aliran dan lainnya
dipahami Islam sebagai sunnatullah. NU berpendirian bahwa realitas kehidupan
harus dilihat secara substantif, fungsional, terbuka dan bersahabat.
Spesifikasi
NU yang membedakan dengan organisasi lainnya adalah agenda mengusung Aswaja.
Dalam tarapan aplikatif, faham Aswaja dijabarkan dalam naskah khittah NU yang
merupakan landasan berpikir, bersikap dan bertindak sesuai acuan Aswaja.
2.
Mabadi’ Khaira Ummah
NU mempunyai cita-cita yang secara sistematik
terformulasikan dalam Mabadi’ Khaira Ummah. Secara
etimologi, Mabadi’ Khaira Ummah terdiri
dari tiga bahasa arab. Mabadi’ artinya
landasan, dasar dan prinsip. Khaira artinya
terbaik, ideal. Ummah artinya masyarakat dan rakyat.
Lima prinsip Mabadi’ Khaira Ummah yang
merupakan metodologi khas ulama pesantren antara lain :
Pertama, al-shidq yang
mengandung pemahaman transparasi, yaitu terbuka kepada orang lain kecuali dalam
persoalan krusial yang menuntut untuk dirahasiakan demi kebaikan bersama.
Keterbukaan ini dapat menjaga kohesivitas kelompok sekaligus menjamin
berjalannya fungsi kontrol.
Kedua, al-amanah wa al-wafa bil-‘ahdi. Prinsip
ini berasal dari dua kata, yaitu al-amanah yang artinya beban yang harus
dilaksanakan. Sedangkan al-wafa bil-‘ahdi berarti
pemenuhan atas komitmen.
Ketiga, al-‘adalah yang
artinya keadilan. Prinsip keadilan mempunyai pengertian obyektif, proporsional,
dan taat asas. Prinsip keadilan ini mendorong setiap manusia untuk berpegang
pada kebenaran obyektif dan bertindak proporsional. Bersikap adil secara
otomatis mencita-citakan kebaikan dimuka bumi.
Keempat, al-ta’awwun yang
artinya tolong menolong (mu-tual help). Prinsip ini mengandung pengertian
tolong menolong, setiakawan, dan gotong royong dalam mewujudkan (kebaikan) dan
ketakwaan.
Kelima, al-istiqomah yang
artinya kesinambungan, keberlanjutan, dan komunita. Prinsip ini mendorong
manusia untuk kukuh dalam memegang ketentuan Allo, Rasul-Nya, para salaf
al-salih dan aturan yang telah disepakati bersama.
NU juga meyakini bahwa upaya pembentukan khoiro ummah tetap mengacu kepada kaidah, man
kana amruhu ma’rufan, fal-yakun bil ma’ruf, (siapa yang memerintah kebaikan,
haruslah dengan cara yang baik pula).
3.
Ukhuwah Nahdliyyah
Di
kalangan interal NU, ketegasan Al-Quran dan Al-Hadits telah memberikan
inspirasi besar sehingga menempatkan isu ukhuwah, persatuan dan kesatuan
sebagai titik tekan pertama dan utama (K.H MA Sahal Mahfudh, 1999: 226). Sikap
dan moralitas yang tinggi ini merupakan implementasi dari konsep persaudaraan
NU yang dikenal dengan ukhuwah nahdliah. Landasan lain dari ukhuwah nahdliah
adalah pendapat K.H.Hasyim As’Ari yang menegaskan bahwa persaudaraan, ikatan
batin, tolong-menolong, dan kesetiaan antar manusia dapat melahirkan
kebahagiaan serta faktor penting bagi tumbuh kembangnya persaudaraan dan kasih
sayang.
4.
Qaidah Fiqhiyah
Sebagai Dasar Pembentukan Perilaku Nahdliyin
Sebelum Nahdlatul Ulama dilahirkan, telah terjadi
dialog sangat panjang antara budaya lokal versus nilai islam di tengah-tengah
umat islam Nusantara hingga mewujud menjadi tradisi baru yang membumi. Kelompok
Islam ini menyatu dalam pola pikir (ittifaq al-ara’
wal-mazhab) dan refrensi tradisi sosial keagamaan (ittihad al-ma’khad wal-masyrab). (Dok. Lakpes dam
NU, t.t:)
Kaidah lainnya adalah ma la yatimmu al-wajib illa bihi fahuwa wajib (jika
sebuah keharusan tidak dapat ideal kecuali dengan unsur yang lain maka unsur
yang lain itu juga menjadi keharusan). Maksudnya, sebuah idealisasi harus
diupayakan dengan memperhatikan factor-faktor lain yang mempunyai keterkaitan
dengannya.
5.
Perilaku Warga NU
Perilaku
keagamaan warga NU yang menggunakan sistem bermazhab memberikan spesifikasi di
bidang aqidah, syariah dan tasawuf. Di bidang aqidah warga NU mengembangkan
keseimbangan antara logika dan teks ilahiyah. Di bidang syariah warga NU
berpegang teguh kepada Al-Quran dan Al-hadits dengan menggunakan metode
pemahaman yang dapat dipertanggungjawabkan.
Di
bidang tasawuf, warga nahdliyin mempercayai bahwa antara syariah, aqidah, dan
tasawuf mempunyai keterkaitan. Bahkan syariah harus didahulukan daripada
tasawuf. Tasawuf tidaklah identik dengan kejumudan. Sebaliknya tasawuf mampu
memberikan motivasi untuk selalu dinamis dalam mencari kebahagiaan, baik secara
fisik maupun metafisik.
6.
Amaliah Nahdlatul
Ulama
Diantara
ajaran Ahlussunah Waljamaah adalah keberadaan Al-Quran yang diyakini sebagai
kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW merupakan rasul terakhir
yang mempunyai keistimewaan. Nabi Muhammad SAW sebagai petunjuk dan
pembimbing manusia. Ahlussunah Waljamaah juga mengajarkan bahwa Nabi Muhammad
adalah pemimpin para nabi dan rasul sehingga misi dan fungsinya untuk semua
umat manusia. Nabi Muhammad adalah manusia biasa yang sempurna sehingga dia
mampu berperan sebagai teladan sekaligus panutan yang baik.
Ahlussunah
Waljamaah juga mengajarkan bahwa hisab (hitungan matematis)tidak dapat
dijadikan dasar untuk menetapkan awal bulan Ramadhan, hari idul fitri dan idul
adha. Rukyah adalah melihat bulan sabit dengan mata pada saat terbenamnya
matahari. Jika hilal sudah nampak di ufuk barat maka pada saat itu sudah masuk
bulan Ramadhan atau syawal.
Iklan
BAB III
PENUTUP
Aswaja
dan NU adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, seringkali kita
menyebutkan Aswaja padahal yang dimaksud adalh NU begitu juga sebaliknya. Titik
kesamaan antara Aswaja dan NU adalah pada konsep serta prinsip keduanya, konsep
Aswaja (tasammuh, tawasut, tawazun dan ta’adul) adalah juga konsep yang
konsisten menjadi pegangan NU. Sedangkan prinsip Aswaja mengenai trilogy agama
yaitu islam, iman dan ikhsan adalah juga prinsip yang menjadi nilai dasar NU
dalam membina umat demi tercapainya kemaslahatan. Namun diakhir materi ini Penyusun
ingin menekankan bahwa Aswaja adalah konsep sekaligus prinsip yang di usung NU
oleh para pendirinya, Syaikh Hasyim Asy‘ari dkk sebagaimana ajaran
Islam yang diajarkan oleh Rasulullah SAW, Namun dalam realita dewasa ini tidak
semua orang termasuk tokoh NU sepenuhnya mengamalkan doktrin-doktrin Aswaja,
contoh misal tokoh NU atau kyai (maaf Penyusun tak bermaksud
menyinggung) yang menggembor-gemborkan NU juga dalam prakteknya tak
sejalan dengan ajaran Aswaja, dalam hal bermasyarakat seringkali seorang kiyai mengabaikan
hubungan dengan umat (rakyat kecil), biasanya mereka lebih mengutamakan
hubungan dengan orang-orang terpandang seperti pejabat dll, tapi hal ini tidak
menjastis bahwa semua tokoh NU/kyai semuanya begitu. Maka persoalan Aswaja
hakikatnya adalah kembali pada individu masing-masing, tidak hanya dalam teori
tetapi juga prakteknya.
Ahlussunnah Wal Jamaah memiliki tiga aspek
penting dalam memahami pemahaman semuanya secara luas. Aspek Aqidah yang
diambil dari Imam Asyariah dan Imam Maturidi. Aspek Syar’iah yang diambil
dari ke empat mahdzab, Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafii
dan Imam Hanbali. Sedangkan Aspek Akhlaq yang diambil dari para ulama
sufi seperti Imam Al-Ghazali. Sehingga dengan mengaplikasikan ke tiga aspek
tersebut, akan memahami dan menyampaikannya kepada masyarakat. Atau berguna
bagi diri sendiri dan kehidupan sosial.