MAKALAH PERJANJIAN INTERNASIONAL
BAB 1
PENDAHULAN
A.
Latar Belakang
Kerjasama
antarnegara saat ini sudah tidak dapat lagi dihindarkan. Bentuk kehidupan yang
kompleks sangat rentan untuk tejadi perselisihan. Untuk menghindari agar
perselisihan tidak terjadi maka masyarakat internasional harus senantiasa
bertumpu pada norma atau aturan. Aturan tersebut tidak hanya dibuat untuk
menghindari perselisihan, akan tetapi juga untuk menertibkan, mengatur dan
memelihara hubungan antarnegara. Perwujudan kerjasama tersebut dituangkan dalam
bentuk perjanjian.
Tidak dapat
dinafikan betapa batas-batas teritorial suatu negara nasional kini tidak lagi
menjadi penghalang bagi berbagai aktivitas ekonomi yang semakin pesat. Demikian
pula lahan beroperasinya pekerjaan hukum yang semakin mendunia. Fenomena di
atas, nyata sekali dengan berkembangnya penggunaan istilah yang mengindikasikan
dilampauinya batas-batas tradisional dan teritorial nasional suatu negara,
seperti istilah transnational corporation, transnational capitalist class,
transnational practices, transnational information exchange, the international
managerial bourgoisie, trans-state norms,3 dan lain-lain. Dalam perkembangan
kehidupan bersama manusia yang cenderung semakin tidak mengenal batas negara
ini, boleh jadi kesepakatan antar negaranegara dalam menyelesaikan berbagai
persoalan yang dituangkan dalam bentuk perjanjian internasional merupakan
sumber hukum yang semakin penting. Persoalannya, karena semakin banyak masalah
transnasional yang memerlukan pengaturan yang jangkauannya hanya mungkin
dilakukan dengan instrumen perjanjian internasional. Hal itu disebabkan
perjanjian internasional sudah berhasil menciptakan norma-norma hukum baru yang
diperlukan untuk mengatur hubungan antar negara dan antar masyarakat
negara-negara yang volumenya semakin besar, intensitasnya semakin kuat, dan
materinya semakin kompleks.
Perjanjian
Internasional adalah hasil kesepakatan yang dibuat oleh subyek hukum
internasional baik yang berbentuk bilateral, reginal maupun multilateral.
Perjanjian
Bilateral adalah perjanjian apabila yang menjadi pihak dua negara, sedangkan
regional adalah perjanjian apabila yang menjadi pihak negara-negara dalam satu
kawasan sedangkan multilaretal adalah perjanjian yang apabila pihaknya lebih
dari dua negara atau hampir seluruh negara di dunia dan tidak terikat dalam
satu kawasan tertentu. Sedangkan menurut Konvensi wina Pasal 2 1969, Perjanjian
Internasional (treaty) didefinisikan sebgai: “Suatu Persetujuan yang dibuat
antara negara dalam bentuk tertulis, dan diatur oleh hukum internasional,
apakah dalam instrumen tunggal atau dua atau lebih instrumen yang berkaitan dan
apapun nama yang diberikan padanya.”
Definisi ini
kemudian dikembangkan oleh pasal 1 ayat 3 Undang-undang Republik Indonesia
nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri yaitu: Perjanjian
Internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebuitan apapun, yang diatur
oleh hukum internasional dan dibuat secara tertulis oleh pemerintah Republik
Indonesia dengan satua atau lebih negara, organisasi internasional atau subyek
hukum internasional lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban pada
pemerintah Republik Indonesia yang bersifat hukum publik”.
Menurut
Pasal 38 (1) Piagam Makamah Internasional, Perjanjian Internasional merupakan
salah satu sumber hukum Internasional. perjanjian Internasional yang diakui
oleh pasal 38 (1) Piagam Makamah Internasional hanya perjanjian – perjanjian
yang dapat membuat hukum (Law Making Treaties).
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertin
hubungan internasional?
2. Istilah-istilah
apa sajakah yang digunakan dalam perjnjian intrnasonal?
3. Bagamanakah
tahap-tahap dalam pembutan hubugan internasional?
4. Hal apa sajakah
yang harus diperhatikan dalam retifikasi perjanjian inernsional oleh
DPR ?
C.
TUJUAN
1. Untuk
mengetahui apa pengertin hubungan internasional;
2. Untuk
mengetahui istilah-istilah apa sajakah yang digunakan dalam perjnjian
intrnasonal;
3. Untuk
mengetahui bagamanakah tahap-tahap dalam pembutan hubugan internasional;
4. Untuk
mengetahui hal apa sajakah harus diperhatikan dalam retifikasi perjanjian
internsional oleh DPR.
D.
MANFAAT
1. Memahami secara luas
dan mendalam tentang apa pengertin hubungan internasional;
2. Memahami secara luas
dan mendalam tentang istilah-istilah apa sajakah yang digunakan dalam perjnjian
intrnasonal;
3. Memahami secara luas
dan mendalam tentang bagamanakah tahap-tahap dalam pembutan hubugan
internasional; dan
4. Memahami secara luas
dan mendalam tentang hal apa sajakah harus diperhatikan dalam retifikasi
perjanjian inernsional oleh DPR.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
HUBUNGAN INTERNASIONAL
Bila
bertitik tolak pada pendapat para ahli mengenai pengertian perjanjian
internasional, kita menemukan keanekaragaman pengertian. Hal ini tentu saja
dapat dimengerti karena para ahli tersebut mendefinisikan perjanjian
internasional berdasarkan sudut pandang masing-masing.
Untuk lebih
jelasnya, akan dikemukakan beberapa pendapat dari para ahli hukum
internasional, antara lain
1.
Pengertian yang dikemukakan oleh Mohctar Kusumaatmadja,
SH, yaitu “Perjanjian Internasional adalah perjanjian yang diadakan
antaranggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat
hukum tertentu”.
2.
Pengertian yang dikemukakan oleh G Schwarzenberger
yaitu “Perjanjian Internasional sebagai suatu subjek-subjek hukum internasional
yang menimbulkan kewajiban-kewajiban yang mengikat dalam hukum internasional
dapat berbentuk bilateral maupun multilateral. Subjek-subjek hukum dalam hal
ini selain lembaga-lembaga internasional juga Negara-negara”.
3.
Pengertian yang dikemukakan oleh Oppenheim Lauterpacht
yaitu “Perjanjian internasional adalah suatu persetujuan antarnegara yang
menimbulkan hak dan kewajiban diantara pihak tersebut”.
4.
Definisi dari Konvensi Wina tahun 1969, yaitu “perjanjian
internasional yaitu perjanjian yang diadakan oleh dua Negara atau lebih yang
bertujuan untuk mengadakan akibat-akibat hukum tertentu. Tegasnya mengatur
perjanjian antarnegara selaku subjek hukum internasional.
Berdasarkan pengertian diatas,
terdapat sedikit perbedaan namun pada prinsipnya mengandung dan memiliki tujuan
yang sama.
Berkenaan dengan hal diatas
tersebut, maka setiap bangsa dan Negara yang ikut dalam suatu perjanjian yang
telah mereka lakukan, harus menjunjung tinggi semua dan seluruh
peraturan-peraturan atau ketentuan yang ada di dalamnya. Karena hal tersebut
merupakan asas hukum perjanjian bahwa”Janji itu mengikat para pihak dan harus
dilaksanakan dengan itikad baik”. Asas ini disebut dengan asas pacta sunt
servanda.
Apabila yang terjadi adalah sebaliknya,
misalnya ada sebagian Negara atau bangsa yang melanggar dalam arti tidak
mentaati aturan-aturan yang telah diputuskan sebelumnya, maka tidak mustahil
bukan kedamaian atau keharmonisan yang tercipta, tetapi barangkali saling
bertentangan diantara Negara-negara yang melakukan perjanjian tersebut.
B. ISTILAH-ISTILAH YANG SERING DIGUNAKAN DALAM
PRJANJIAN
INTERNASIONAL
Istlah-istilah yang sring digunakan dalam perjanjian
internasional diantaranya, sebagai berikut;
1. Traktat (treaty), yaitu
perjanjian paling formal yang merupakan persetujuan dua negara atau lebih.
Perjanjian ini mancakup bidang politik dan bidang ekonomi.
2. Konvensi (Convention), yaitu
persetujuan formal yang bersifat multilateral dan tidak berurusan dengan
kebijaksanaan tingkat tinggi (high policy). Persetujuan ini harus dilegalisi
oleh wakil-wakil yang berkuasa penuh (full powers).
3. Protocol yaitu
persetujuan tidak resmi dan pada umumnya tidak dibuat oleh kepala Negara, yang
mengatur masalah-masalah tambahan seperti penafsiran klausual-klausual
tertentu.
4. Persetujuan (Agreement),
yaitu perjanjian yang lebih bersifat teknis atau administrative. Agreement
tidak diratifikasi karena sifatnya tidak resmi trakta dan konvensi.
5. Perikatan
(Arrangement), yaitu istilah yang digunakan untuk transaksi-transaksi yang
sifatnya sementara. Perikatan tidak seresmi traktat dan konvensi.
6. Proses Verbal yaitu
catatan-catatan, ringkasan-ringkasan, atau kesimpulan-kesimpulan konferensi
diplomatic, atau catatan-catatan suatu permufakatan. Proses verbal tidak
diratifikasi.
7. Piagam (Statute),
yaitu himpunan peraturan yang ditetapkan oleh persetujuan internasional
mengenai pekerjaan maupun kesatuan-kesatuan tertentu, seperti pengawasan
internasional yang mencakup tentang minyak atau tentang lembaga-lembaga
internasional.
8. Deklarasi
(Declaration), yaitu perjanjian internasional yang berbentuk traktat dan
dokumen tidak resmi.
9. Modus Vivendi, yaitu
dokumen untuk mencatat persetujuan internasional yang bersifat sementara sampai
berhasil diwujudkan persetujuan yang lebih permanen, terinci, sistematis, dan
tidak memerlukan ratifikasi.
10. Pertukaran Nota, yaitu metode
tidak resmi yang biasanya dilakukan oleh wakil-wakil militer atau wakil-wakil
negara yang bersifat multilateral. Pertukaran nota ini dapat menimbulkan
kewajiban diantara mereka yang terikat.
11. Ketentuan
Penutup (Final Act), yaitu ringkasan hasil konvensi yang menyebutkan negara
peserta, namun utusan yang turut diundang, serta masalah yang disetujui
konvensi dan tidak memerlukan ratifikasi.
12. Ketentuan
Umum (General Act), yaitu traktat yang dapat bersifat resmi dan tidak resmi.
13. Charter,
yaitu istilah yang dipakai dalam perjanjian internasional untuk pendirian badan
yang melakukan fungsi administratif, misalnya Atlantic Charter
14. Pakta (Fact), yaitu perjanjian yang lebih khusus dan
membutuhkan ratifikasi. Contoh,
Pakta Warsawa.
15. Convenant, yaitu Anggaran Dasar Liga Bangsa-Bangsa
(LBB).
C. TAHAP-TAHAP
PEMBUATAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
Menurut
Undang-Undang nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, tahap-tahap
Perjanjian Internasional (proses pembuatan perjanjian Internasional) adalah
sebagai berikut :
- Tahap Penjajakan:
merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding
mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional.
- Tahap Perundingan:
merupakan tahap kedua untuk membahas substansi dan masalah2 teknis yang
akan disepakati dalam perjanjian internasional.
- Tahap Perumusan Naskah: merupakan
tahap merumuskan rancangan suatu perjanjian internasional.
- Tahap Penerimaan:
merupakan tahap menerima naskah perjanjian yang telah dirumuskan dan
disepakati oleh para pihak. Dalam perundingan bilateral, kesepakatan atas
naskah awal hasil perundingan dapat disebut “Penerimaan” yang biasanya
dilakukan dengan membubuhkan inisial atau paraf pada naskah perjanjian
internasional oleh ketua delegasi masing-masing. Dalam perundingan
multilateral, proses penerimaan (acceptance/ approval) biasanya
merupakan tindakan pengesahan suatu negara pihak atas perubahan perjanjian
internasional.
- Tahap Penandatanganan:
merupakan tahap akhir da1am perundingan bilateral untuk melegalisasi suatu
naskah perjanjian internasional yang telah disepakati oleh kedua pihak.
Untuk perjanjian multilateral, penandantanganan perjanjian internasional
bukan merupakan pengikatan diri sebagai negara pihak. Keterikatan terhadap
perjanjian Internasional (Menurut Pasal 6 Ayat 1)
- Tahap Pengesahan: Pengesahan
suatu perjanjian internasional dilakukan berdasarkan ketetapan yang
disepakati oleh para pihak. Perjanjian internasional yang memerlukan
pengesahan akan mulai berlaku setelah terpenuhinya prosedur pengesahan
sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Setiap undang-undang atau
keputusan presiden tentang pengesahan perjanjian internasional ditempatkan
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Pengesahan dengan undang-undang
memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Pengesahan dengan
keputusan Presiden selanjutnya diberitahukan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat. Pengesahan perjanjian internasional melalui undang-undang
dilakukan berdasarkan materi perjanjian dan bukan berdasarkan bentuk dan
nama (nomenclature) perjanjian. Klasifikasi menurut materi
perjanjian dimaksudkan agar tercipta kepastian hukum dan keseragaman atas
bentuk pengesahan perjanjian internasional dengan undang-undang. Mekanisme
dan prosedur pinjaman dan/atau hibah luar negeri beserta persetujuannya
oleh Dewan Perwakilan Rakyat akan diatur dengan undang-undang tersendiri. (Menurut
Pasal 9).
D. HAL-HAL YANG
HARUS DIPERHATIKAN DALAM RETIFIKASI
PERJANJAIN
INTERNASIONAL OLEH DEWAN PERWAKILAN
RAKYAT
Pasal 11 UUD
1945menyatakan bahwa “ presiden dengan persetujuan dengan dewan perwakilan
rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara
lain”. Untuk menjamin kelancaran pelaksanaan kerjasama antara eksekutif
(presiden) dengan legislatif (DPR), harus diperhatikan hal-hal berikut :
Presiden
dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian
dengan negara lain.
Presiden
dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang dapat menimbulkan akibat luas
dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara,
dan atau mengharuskan perubahan atau pembentukan UU harung dengan persetujuan
DPR.
Ketentuan
lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan UU.
Perjanjian
yang disampaikan kepada DPR untuk mendapat persetujuan sebelum disahkan oleh
presiden ialah perjanjian yang berbentuk treaty dan mengandung materi :
- Soal-soal
politik atau soal-soal yang dapat mempengaruhi haluan politik negara
seperti perjanjian-perjanjian persahabatan, perubahan wilayah atau
penetapan tapal batas.
- Ikatan-ikatan
yang sedemikian rupa sifatnya dapat mempengaruhi haluan politik negara,
perjanjian kerjasama ekonomi, atau pinjaman uang.
- Soal-soal
yang menurut UUD atau menurut system perundangan harus diatur dengan
UU,seperti soal-soal kewarganegaraan dan soal kehakiman.
Proses
ratifikasi di Indonesia adalah :
1. Proses penyiapan RUU
untuk perjanjian internasional;
2. Mendapat persetujuan
dari DPR
3. Pengesahan oleh
presiden dan pengundangan oleh mensesneg atas perintah presiden
Beberapa
contoh proses ratifikasi hukum (perjanjian) internasional menjadi hukum
nasional
1. Persetujuan Indonesia- Belanda
mengenai penyerahan Irian Barat (Papua) yang ditanda tangani di New York (15
Januari 1962) disebut agreement. Akan tetapi, karna pentingnya materi yang
diatur di dalam agreement tersebut maka dianggap sama dengan treaty. Sebagai
konsekuensinya, presiden memerlukan persetujuan DPR dalam bentuk “pernyataan
pendapat”.
2. Perjanjian antara Indonesia-Australia
mengenai garis batas wilayah antara Indonesia dengan Papua New guinea yang
ditandatangani di Jakarta, 12 Februari 1973 dalam bentuk agreement. Namun,
karena pentingnya materi yang diatur dalam agreement tersebut, maka
pengesahannya memerlukan persetujuan DPR dan dituangklan ke dalam bentuk UU,
yaitu UU No.6 Tahun 1973.
3. Persetujuan garis batas landas
kontinen antara Indonesia dengan Singapura tentang selat Singapura (25 Mei
1973). Sebenarnya materi persetujuan ini cukup penting, namun dalam
pengesahannya tidak meminta persetujuan DPR melainkan dituangkan dalam bentuk
“keputusan presiden”.
E. Manfaat
Kerjasama dan Perjanjian Internasional Bagi Bangsa Indonesia
Dewan Keamanan PBB berperanan sangat
penting selama masa perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia (1945-1949) dan
juga pada masa perang serta diplomasi pembebasan Irian Barat (Papua Barat)
sekitar tahun 1960-1962 dari tangan Belanda.
Pada tanggal 21 Juli 1947 terjadi
agresi militer Belanda I terhadap wilayah Jawa dan Sumatra, atas usul India dan
Australia, DK PBB memerintahkan penghentian tembak menembak pada tanggal 4
Agustus 1947. DK PBB membentuk Komisi Tiga Negara (KTN) yang terdiri dari
Australia, Belgia dan Amerika Serikat, yang kemudian memfasilitasi Perjanjian
Renville dan Konferensi Meja Bundar antara RI dan Belanda setelah terjadinya
Agresi Militer kedua oleh Belanda pada tanggal 19 Desember 1948.
Berbagai produk yang dihasilkan PBB
juga sangat bermanfaat bagi negara kita, misalnya Universal Declaration of
Human Rights, 10 Desember 1948, Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan
Politik 1966 dan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya 1966.
Manfaat Perjanjian Internasional
Manfaat paling besar yang didapat
Indonesia melalui Perjanjian Internasional adalah diakuinya konsep negara
kepulauan (archipelagic state concept) oleh bangsa-bangsa lain di dunia.
Konsep ini mula-mula diajukan dalam
Sidang Hukum Laut di Jenewa, Swiss, 1958, namun karena pendukung konsepsi ini
sangat sedikit, Indonesia menarik kembali usulan Konsepsi Negara Kepulauan ini
untuk diajukan pada sidang berikutnya.
Dalam Konvensi Hukum Laut 1982 di
Montego Bay, Jamaika, perjuangan Indonesia dengan dukungan Filipina, Fiji dan
Mauritius berhasil membuat Konsepsi tersebut diterima dan diakui oleh
bangsa-bangsa lain di dunia.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Setiap bangsa dan Negara yang ikut
dalam suatu perjanjian yang telah mereka lakukan, harus menjunjung tinggi semua
dan seluruh peraturan-peraturan atau ketentuan yang ada di dalamnya. Karena hal
tersebut merupakan asas hukum perjanjian bahwa”Janji itu mengikat para pihak
dan harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Asas ini disebut dengan asas pacta
sunt servanda.
Apabila yang terjadi adalah
sebaliknya, misalnya ada sebagian Negara atau bangsa yang melanggar dalam arti
tidak mentaati aturan-aturan yang telah diputuskan sebelumnya, maka tidak
mustahil bukan kedamaian atau keharmonisan yang tercipta, tetapi barangkali
saling bertentangan diantara Negara-negara yang melakukan perjanjian tersebut.
Traktat (treaty), yaitu perjanjian
paling formal yang merupakan persetujuan dua negara atau lebih. Perjanjian ini
mancakup bidang politik dan bidang ekonomi.
Konvensi (Convention), yaitu
persetujuan formal yang bersifat multilateral dan tidak berurusan dengan
kebijaksanaan tingkat tinggi (high policy). Persetujuan ini harus dilegalisi
oleh wakil-wakil yang berkuasa penuh (full powers).
Protocol yaitu persetujuan tidak
resmi dan pada umumnya tidak dibuat oleh kepala Negara, yang mengatur
masalah-masalah tambahan seperti penafsiran klausual-klausual tertentu.
Persetujuan (Agreement), yaitu
perjanjian yang lebih bersifat teknis atau administrative. Agreement tidak
diratifikasi karena sifatnya tidak resmi trakta dan konvensi.
Perikatan (Arrangement), yaitu
istilah yang digunakan untuk transaksi-transaksi yang sifatnya sementara.
Perikatan tidak seresmi traktat dan konvensi.
Proses Verbal yaitu catatan-catatan,
ringkasan-ringkasan, atau kesimpulan-kesimpulan konferensi diplomatic, atau
catatan-catatan suatu permufakatan. Proses verbal tidak diratifikasi.
Piagam (Statute), yaitu himpunan
peraturan yang ditetapkan oleh persetujuan internasional mengenai pekerjaan
maupun kesatuan-kesatuan tertentu, seperti pengawasan internasional yang
mencakup tentang minyak atau tentang lembaga-lembaga internasional.
Deklarasi (Declaration), yaitu
perjanjian internasional yang berbentuk traktat dan dokumen tidak resmi.
Modus Vivendi, yaitu dokumen untuk
mencatat persetujuan internasional yang bersifat sementara sampai berhasil
diwujudkan persetujuan yang lebih permanen, terinci, sistematis, dan tidak
memerlukan ratifikasi.
Pertukaran Nota, yaitu metode tidak
resmi yang biasanya dilakukan oleh wakil-wakil militer atau wakil-wakil negara
yang bersifat multilateral. Pertukaran nota ini dapat menimbulkan kewajiban
diantara mereka yang terikat.
Ketentuan Penutup (Final Act), yaitu
ringkasan hasil konvensi yang menyebutkan negara peserta, namun utusan yang
turut diundang, serta masalah yang disetujui konvensi dan tidak memerlukan
ratifikasi.
Ketentuan Umum (General Act), yaitu
traktat yang dapat bersifat resmi dan tidak resmi.
Charter, yaitu istilah yang dipakai
dalam perjanjian internasional untuk pendirian badan yang melakukan fungsi
administratif, misalnya Atlantic Charter
Pakta (Fact), yaitu perjanjian yang
lebih khusus dan membutuhkan ratifikasi. Contoh, Pakta Warsawa.
Convenant, yaitu Anggaran Dasar Liga
Bangsa-Bangsa (LBB).
Pasal 11 UUD 1945menyatakan bahwa “ presiden dengan
persetujuan dengan dewan perwakilan rakyat menyatakan perang, membuat
perdamaian dan perjanjian dengan negara lain”. Untuk menjamin kelancaran
pelaksanaan kerjasama antara eksekutif (presiden) dengan legislatif (DPR),
harus diperhatikan hal-hal berikut :
Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang,
membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
Presiden dalam membuat perjanjian internasional
lainnya yang dapat menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat
yang terkait dengan beban keuangan negara, dan atau mengharuskan perubahan atau
pembentukan UU harung dengan persetujuan DPR.
Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian
internasional diatur dengan UU.
B.
SARAN
Penyusun menyadari bahwa penyusunan
makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kritik dan saran yang
bersifat membangun akan perbaikan makalah kami ini, dengan senang hati dan
terbuka dari penulis menerima kritik dan saran dari pembaca. Akhir kata
penyusun makalah mengharapkan agar makalah ini dapat bermanfaat bagi yang
membacanya dan untuk diterapkan dalam kehidupan sehar-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Amos, Abraham. 2005. Sistem Ketatanegaraan Negaraan
Indonesia. PT. RajaGrafindo Persada: Jakarta.
Azhary, Muhammad Tahir. 2004. Negara Hukum. Prenada Media: Jakarat.
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. PT. Gramedia Pustaka
Utama:Jakarta.
http://id.shvoong.com/law-and-politics/politics/2158086-pengertian-perjanjian-internasional/#ixzz2JFalW1by
http://dhedetpratama.blogspot.com/2011/0...njian.html
http://nestiituagnes.wordpress.com/2010/02/02/tahap-tahap-perjanjian-internasional/