MAKALAH TENTANG AR-RAHN
BAB I
PENDAHULUAN
Islam sebagai agam yang universal, mengatur seluruh kegiatan manusia. Dalam
kehidupan perekonomian, Islam bahkan mengaturnya dengan sebuah sistem yang
sekarang disebut dengan sistem ekonmi syari'ah. Dalam sistem ekonomi syari'ah,
setiap akad yang terbentuk seperti jual beli, sewa, mudharabah, hawalah,
wakalah, harus selaras dengan hukum Islam. Sebagaimana yang dipelajari dalam
ilmu ushul fiqh bahwa hukum dasar dalam mu’amalah adalah mubah, maka setiap
kegiatan muamalah boleh dilakukan dan dikembangkan umat Islam, selama tidak ada
pelarangan tentang hal itu, seperti munculnya praktik riba, atau gharar.
Sebagaimana setiap akad yang harus memenuhi rukun dan syaratnya
masing-masing, akad rahn (gadai) juga harus memenuhi syarat yang
telah ditetapkan dalam syari'ah Islam. Gadai dalam Islam bertujuan untuk
memberikan keamanan bagi pemberi hutang agar ia dapat tenang dan tak khawatir
bahwa hutangnya tidak akan dilunasi. Akan tetapi sikap saling percaya dan
amanah bagi kedua pihak yang berakad itu lebih penting agar terbentuk ukhuwah
Islamiyyah yang terjaga kokoh dalam tubuh umat Islam.
Berikut ini akan dijelaskan mengenai seluk beluk akad rahn, mulai dari
pengertian, syarat dan rukunnya, manfaatnya, hukum-hukum yang ditimbulkannya,
sampai hal-hal yang mengakhiri akad rahn.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan
Dasar Hukum
Transaksi hukum gadai dalam fikih Islam disebut ar-rahn. Ar-rahn adalah
suatu jenis perjanjian untuk menahan suatu barang sebagai tanggungan hutang.
Pengertian ar-rahn dalam bahasa Arab adalah ats-tsubut
wa ad-dawam yang berarti tetap dan kekal. Pengertian
tetap dan kekal yang dimaksud merupakan makna yang tercakup dalam kata al-habsu yang
berarti menahan. Kata ini merupakan makna yang bersifat materiil.
Karena itu secara bahasa kata ar-rahn berarti
“menjadikan suatu barang yang bersifat materi sebagai pengikat uang”.[1]
Adapun menurut pengertian syara’ adalah : menjadikan barang yang mempunyai
nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan hutang, hingga orang yang
bersangkutan boleh mengambil hutang atau ia bisa mengambil sebagian (manfaat)
barang itu.[2]
Ulama Syafi’iyyah mendefinisikan akad ar-rahn seperti berikut : menjadikan
barang sebagai jaminan utang yang barang itu digunakan untuk membayar utang
tersebut ketika pihak yang berutang tidak bisa membayar utang tersebut. Ulama
Hanabilah mendefinisikan ar-rahn seperti berikut : harta yang dijadikan sebagai
jaminan utang ketika pihak yang menanggung utang tidak bisa melunasinya, maka
utang tersebut dibayar dengan menggunakan harga hasil penjualan harta yang
dijadikan jaminan tersebut. Ulama Malikiyah mendefinisikannya sebagai berikut :
sesuatu yang berbentuk harta dan mempunyai nilai yang diambil dari pemiliknya
untuk dijadikan jaminan utang yang keberadaannya sudah positif dan mengikat.[3]
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1150, gadai adalah suatu hak
yang diperoleh seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak,
yaitu barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh
orang yang mempunyai utang atau orang lain atas nama orang yang mempunyai
utang. Karena itu barang gadaian dalam hukum perundangan disebut sebagai barang
jaminan, atau agunan atau rungguhan.[4]
Kesemua pengertian yang tersebut diatas pada intinya sama, akan tetapi ada
beberapa perbedaan yang disebabkan oleh syarat-syarat akad ar-rahn yang berbeda
yang dipahami oleh masing-masing definitor yang pada subbab selanjutnya akan
dibahas perbedaan pendapat tersebut.
Adapun dasar hukum disyariatkannya akad gadai dalam Islam didasari dari
Al-Quran surah Al-Baqarah : 283,
Artinya : Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara
tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)....
Ulama sepakat bahwa ar-rahn hukumnya boleh, baik ketika berada dalam
perjalan maupun ketika menetap. Karena sunnah menjelaskan tentang pensyariatan
ar-rahn secara mutlak, baik ketika sedang di tengah perjalanan maupun ketika
sedang menetap. Penyebutan as-safar pada ayat di atas hanya
berdasarkan kebiasaan yang lumrah berlaku saja, bukan merupakan syarat. Karena
pada masa dahulu, biasanya di tengah perjalan, sulit untuk menemukan juru
tulis.[5]
Adapun dalil dari hadits yaitu[6] :
عَنْ اَنَسٍ قَالَ : رَهَنَ رَسُوْلُ اللهِ دِرْعًا لَهُ عِنْدَ يَهُوْدِيٍّ
بِالْمَدِيْنَةِ وَ اَخَذَ مِنْهُ شَعِيْرًا لِاَهْلِهِ (رواه اهمد دو البخاري و
النسائي و ابن ماجه)
Artinya : Dari Anas, ia berkat, Nabi SAW pernah menggadaian sebuah
baju besi kepada seorang Yahudi di Madinah dan Nnabi SAW mengambil gandum dari
si Yahudi itu untuk keluarganya. (HR. Ahmad, Bukhari, Nasa’i dan Ibnu
Majah).
Dari dalil-dalil yang didapatkan, ulama sepakat hukum ar-rahn adalah boleh
(jaiz), tidak wajib. Karena ar-rahn adalah jaminan utang, oleh karena itu tidak
wajib. Adapun bunyi ayatfarihaanum maqbuudhah (maka hendaklah ada
barang tanggungan yang dipegang), perintah tersebut bersifat irsyad (
pengarahan kepada yang lebih baik) bagi kaum mukminin, bukan perintah yang
wajib. Hal ini berdasarkan bunyi ayat setelahnya yang artinya akan
tetapi jika sebagian kamu mempercayai yang lain, maka hendaklah yang dipercayai
itu menunaikan amanatnya (utangnya). Juga karena di dalam ayat ini Allah
memerintahkan adanya ar-rahn ketika tidak menemukan seorang juru tulis. Karena
menuliskan dan mendokumntasikan utang hukumya tidak wajib, maka begitu juga
solusi pengganti penulisan, hukumnya juga tidak wajib.[7]
Rahn dalam syariat memiliki beberapa manfaat, yaitu[8] :
- Menjaga
kemungkinan rahin untuk lalai atau bermain-main dengan
hutangnya
- Memberikan
kemanan bagi murtahin.
B. Rukun dan
Syarat
Sebagaimana akad jual beli memiliki rukun dan syarat, maka ar-rahn juga
memiliki rukun dan syarat yang harus dipenuhi agar akad ar-rahn sah dan
mengikat bagi pihak-pihak yang melakukan akad. Adapun rukun ar-rahn yaitu :
a. Rahin (pihak yang
menggadai)
b. Murtahin (pihak yang
menerima gadai)
c. Marhun (barang yang
digadaikan)
d. Marhun bih (tanggungan
utang)
Sedangkan menurut ulama Hanafiyyah, rukun ar-rahn adalah ijab dari rahin dan
qabul darimurtahin, tetapi akad ar-rahn belum sempurna dan belum
berlaku mengikat kecuali setelah adanya al-qabdhu (serah
terima barang yang digadaikan).
Adapun syarat-syarat akad rahn sebagai berikut[9] :
a. Syarat ‘aqid (rahin
dan murtahin)
Pihak yang berakad mestilah memenuhi syarat agar akad rahn yang dilakukan
berlaku sah dan mengikat, adapun syaratnya yaitu ahliyah yakni
memiliki kelayakan, kepatutan dan kompetensi untuk melakukan akad. Para pihak
harus berakal dan mumayyiz. Namun tidak syaratkan baligh, selama ia mumayyiz.
Jadi anak yang belum baligh sah melakukan akad rahn, namun statusnya
digantungkan kepada persetujuan dan pengesahan pihak wali. Pendapat ini menurut
ulama Hanafiyyah. Adapun menurut Jumhur ulama akad rahn tidak
sah dilakukan oleh orang yang berada dalam keadaan terpaksa, anak
yang belum baligh, orang gila, dan orang bangkrut. Akad rahn juga tdak sah
dilakukan oleh pihak wali, kecuali ada alasan kondisi darurat demi kebaikan si
anak yang berada dalam perwalian.
b. Syarat marhun
bih
Marhun bih adalah tanggungan
utang pihak rahin kepada pihak marhun.
Syarat-syaratnya yaitu :
- Marhun bih harus merupakan hak
yang wajib diserahkan kepada pemiliknya, maksudnya marhun bih harus berupa
utang yang ditanggung yang wajib dibayar dan diserahkan olehrahin
- Marhun bih harus berupa utang
yang dimungkinkan untuk dibayar dan dipenuhi darimarhun, karena
tujuan menerima gadai adalah untuk mendapatkan jaminan pembayaran utang. Oleh
karena itu jika marhun tidak mampu mengganti pembayaran utang,
maka akad rahn tidak sah.
- Hak yang menjadi marhun bih harus
diketahui dengan jelas dan pasti .
c. Syarat marhun
Marhun adalah harta yang
ditahan oleh pihak murtahin untuk mendapatkan pemenuhan atau
pembayaran haknya yang menjadi marhun bih. Jika marhun sama
jenisnya dengan marhun bih, maka pelunasan utang dapat langsung diambil dari
marhun. Jika berbeda jenis maka pelunasan dilakukan dengan menjual marhun
terlebih dahulu untuk diambil harganya dan mengembalikan kelebihan harga itu
(jika ada) kepada rahin.
Menurut ulama Hanafiyyah, marhun harus memenuhi syarat
sebagai berikut :
- Marhun telah ada saat akad
berlangsung, maka tidak ah menggadaikan sesuatu yang tidak ada ketika akad,
seperti menggadaikan buah yang akan dihasilkan oleh pohonnya tahun ini, karena
belum tentu pohon itu akan berbuah.
- Marhun harus bisa dijual dan
bernilai.
- Marhun harus berupa harta, maka
tidak sah menggadai bangkai.
- Marhun tidak boleh berupa
kemanfaatan, contohny tidak sah menggadai kemanfaatan menempati rumah dalam
tempo tertentu. Karena menurut ulama Hanafiyyah kemanfaatan bukanlah harta, dan
selain ulama Hanafiyyah beralasan karena kemanfaatan tidak bisa diserhterimakan
pada waktu akad dan tidak memiliki sifat yang pasti dan tetap.
- Marhun harus diketahui dengan
jelas dan pasti
- Marhun harus berstatus
milik rahin atau milik orang yang berada dalam perwalian rahinatau
telah mendapat izin dari pemiliknya untuk digadaikan oleh rahin.
Maka, sah seorang ayah menggadaikan harta anak yang berada dalam perwaliannya.
Begitu juga, sah menggadaikan harta orang lain atas izin pemilik harta
tersebut.
- Marhun harus mufarragh dan muhawwaz,
maksudnya barang yang digadaikan tidak melekat dengan barang yang tidak digadaikan.
Contohnya, tidak sah menggadai sebidang tanah saja tanpa mengikutsertakan
tanamannya.
Qabdhu (serah terima marhun)
Selain syarat-syarat yang harus dipenuhi pada rukun-rukunnya, akad rahn
juga mempunyai syarat lain yaitu Qabdhu, penyerahterimaan marhun kepada murtahin.
Hal ini didasari oleh bunyi ayat yang artinya maka hendaklah ada berang
tanggungan yang dipegang oleh yang berpiutang(Al-Baqarah :
283). Qabdhu disyaratkan ada untuk menerapkan tujuan dari
gadai itu sendiri yaitu untuk memberikan jaminan pada murtahin dan
kepastian bahwa hutang yang diberikannya padarahin akan dibayar.
Jumhur ulama berpendapat bahwa qabdhu bukanlah syarat sah
akad rahn, akan tetapi syarat berlaku mengikatnya akad rahn. Oleh karena itu
akad rahn belum mengikat kecuali setelah adanya qabdhu, maka
sebelum adanya qabdhu rahin masih memiliki
kebebasan unutk membatalkan akad secara sepihak. Namun setelah adanya qabdhu,
akad telah saling mengikat pihak, sehingga pihak yang berakad tidak boleh
membatalkan akad secara sepihak.
Qabdhu baru dianggap sah jika memenuhi syarat sebagai
berikut :
- Qabdhu harus
atas izin dari pihak rahin,
- Ketika
dilakukan qabdhu, kedua pihak harus memiliki ahliyah.
Qabdhu tidak mesti dilakukan
oleh rahin atau murtahin, melainkan boleh juga
dilakukan oleh wakilnya. Kedua belah pihak (rahin dan murtahin) juga
boleh melakukan kesepakatan untuk menitipkan marhun kepada
pihak ketiga yang disebut ‘adl karena mungkin rahin tidak
suka jikamarhun berada di tangan murtahin, dan
terkadang murtahin sendiri tidak suka marhun berada
di tangannya. ‘Adl adalah pihak ketiga yang dipercaya
oleh kedua belah pihak, maka dari itu dia harus memenuhi syarat sebagai ’adl ,
yaitu mumayyiz, berakal, tidak boros, dan dia bukan merupakan seorang yang
memiliki bagian harta dari marhun tersebut.
C. Hukum-Hukum
Gadai dan Efeknya
Akad rahn ada yang sah dan ada yang tidak sah. Akad rahn yang
sah adalah akad yang memenuhi syarat-syarat akad rahn, sedangkan akad yang
tidak sah adalah akad yang tidak terpenuhi syaratnya. Menurut Hanafiyyah, akad
yang tidak sah terbagi menjadi akad baathil(batal) dan akad fasid (rusak).
Akad yang batal yaitu yang tidak memenuhi salah satu syarat yang berkaitan
dengan asal akad, seperti pihak yang mengadakan akad tidak memiliki ahliyah.
Akad yang fasid yaitu akad ang tidak memenuhi salah satu
syarat yang berkaitan dengan sifat akad, seperti marhun tidakmufarragh dan muhawwaz. Sedangkan
menurut jumhur, akad yang tidak sah hanya satu yaitu akad batal, kad yang tidak
terpenuhi syaratnya.
a. Hukum akad rahn
yang sah
Berlaku mengikatnya akad rahn adalah hanya sepihak, yaitu hanya bagi rahin saja,
bukan bagi murtahin. Oleh karena itu rahin tidak
memiliki hak unutk membatalkan akad, karena akad rahn adalah jaminan utang. Adapun murtahin,
maka ia memiliki hal untuk membatalkannya kapan saja karen akad rahn dalah
unutk kemashlahatan dan kepentingan dirinya. Akad rahn belum memiliki
konsekuensi apa-apa kecuali dengan adanya qabdhu. Oleh karena itu
harga barang yang digadaikan belum bisa hanya diperuntukkan bagi murtahin saja
atau dengan kata lain blum memiliki hak priorotas terhadap harga barang yang
digadaikan itu sebelum tejadi qabdhu.
Setelah terjadinya akad rahn yang sah, maka akan timbul efek-efek hukum
yang terikat bagi kedua pihak, seperti berikut ;
- Marhun terikat dengan
hutang yang ada. Jika barang yang digadaikan sebagai jaminan hutang, maka
seluruh bagian dan satuan dari barang itu terikat dengan hutang tersebut. Marhun tidak
terikat dengan hutang yang tidak dilalui dengan akad rahn, ia
hanya terikat dengan sejumlah utang yang dilalui dengan akad rahn.
- Murtahin berhak untuk
menahan marhun, akan tetapi tidak berhak untuk memilikinya.Murtahin hanya
berhak terhadap harga barang itu sebanyak nilai hutang yang diberikannya,
jika rahin tidak mampu untuk membayar hutangnya.
- Ulama Hanafiyyah tidak memperbolehkan
pihak rahin meminta kembali marhun untuk
dimanfaatkan. Akan tetapi ulama Syafi’iyyah memperbolehkan hal tersebut.
- Menurut ulama Hanafiyyah, murtahin wajib
menjaga marhun seperti menjaga hartanya sendiri. Jika marhun rusak
maka, murtahin bertanggung jawab atas kerusakan tersenut.
- Manfaat yang dihasilkan dari marhun adalah
unutk rahin.
- Menurut Jumhur, seluruh biaya pengurusan dan
penjagaan marhun dibebankan padarahin. Ulama
Hanafiyyah berpendapat bahwa biaya penjagaan dibebankan pada murtahinsedangkan
biaya pengurusan dibebankan pada rahin.
- Ulama Syafi’iyyah berpendapat marhun boleh
dimanfaatkan oleh rahin selama tidak merugikan murtahin.
Jumhur berpendapat rahin sama sekali tidak boleh memanfaatkanmarhun.
b. Hukum akad rahn
yang tidak sah
Para imam mazhab sepakat bahwa akad rahn yang batal tidak memiliki efek
hukum apa-apa. Oeh karena itu murtahin tidak memiliki
hak menahan dan rahin berhak meminta kembali marhundari
tangan murtahin. Apabila murtahin tidak
menyerahkan atau merusak marhuun tanpa menggantiya maka ia
dianggap menguasai harta orang lain secara zalim. Penahanan murtahinterhadap marhun dihukumkan
sebagai harta amanat bukan sebagai barang gadaian.
D. Pertambahan
Gadai
Menambah marhun atau marhun bih dalam
akad rahn dijelaskan dseperti berikut.
Menambah marhun adalah memberikan lagi barang gadaian
disamping barang gadaian yang ada dengan utang yang sama. Hal ini hukumnya
bolleh menurut Jumhur Ulama, karena itu merupakan bentuk tambahan penguat
jaminan yang merupakan tujuan inti dari akad rahn. Sedangkan tambahan utang atas marhun yang
sama, maksudnya rahin meminjam
utang lagi dengan barang gadai yang sama, terdapat perbedaan pendapat tentang
kebolehannya : Imam Hanafi dan Ulama Hanabilah berpendapat hal tersebut tidak
diperbolehkan, karena tambahan seperti itu merupakan akad rahn baru, yang
berarti menggadaikan lagi barang sudah digadaikan. Sementara itu Imam Malik,
Abu Yusuf, Abu Tsur berpendapat hal itu boleh. Karena tambahan dalam marhun
bih berarti menghapus akad rahn yang lama dan mengadakan akad rahn
yang baru dengan jumlah marhun bih yang baru juga.
E. Berakhirnya
Akad Gadai
Akad rahn selesai dan berakhir karena beberapa hal, diantaranya :
a. Diserahkannya marhun kepada
pemiliknya. Menurut jumhur selain Syafi’iyyah, jikamarhun diserahkan
kepada pemiliknya maka jaminan penguat utang akan hilang sehingga akad rahn
menjadi batal.
b. Terlunasinya seluruh marhun bih.
c. Penjualan marhun secara paksa yang
dilakukan oleh rahin atas perintah hakim, atau yang dilakukn
oleh hakim ketika rahin menolak menjual marhun.
Apabila marhun dijual dan utang terlunasi dengan harga
penjualan itu,maka akad rahn telah selesai.
d. Terbebasnya rahin dari utang
yang ada wlau dengan cara apapun.
e. Binasanya marhun
f. Marhun ditasharufkan
oleh salah satu pihak seperti meminjamkannya, menjualnya atau menyedekahkannya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas secara global, dapat dirangkum bahwa Rahn adalah
menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai
jaminan hutang, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil hutang atau ia
bisa mengambil sebagian (manfaat) barang itu.
Rukun akad rahn yaitu :
a. Rahin (pihak yang
menggadai)
b. Murtahin (pihak yang
menerima gadai)
c. Marhun (barang yang
digadaikan)
d. Marhun bih (tanggungan
utang).
Akad rahn terbagi dua yaitu :
a. Akad rahn yang sah, yakni akad
rahn yang terpenuhi seluruh rukun dan syaratnya
b. Akad rahn yang tidak sah yaitu akad
rahn yang tidak terpenuhi seluruh syaratnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainuddin, Hukum Gadai Syari'ah, (Jakarta :
Sinar Grafika, 2008).
Antonio, Muhammad Syafi’i , Bank Syari'ah, (Jakarta
: Gema Insani, 2001).
Az-Zuhaili , Wahbah, Fikih Islam, (Jakarta : Gema Insani,
2011).
Faishal bin Abdul Aziz, Nailul Authar, (Surabaya : PT Bina
Ilmu, 2000).
Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah, (Bandung : PT. Alma’arif, 1987).