MAKALAH MASYARAKAT MADANI


BAB I
PENDAHULUAN


A.           LATAR BELAKANG MASALAH
Apa makna demokrasi yang sebenarnya? sekalipun hampir setiap orang mengatakan kata demokrasi, khususnya setelah lahirnya era reformasi, kata demokrasi masih banyak disalahartikan. Sejak lengsernya orde baru ditahun 1998, demokrasi menjadi kosakata umum bagi siapa saja yang hendak menyatakan suatu pendapat. Dari kalangan cendikiawan hingga kalangan awam menggunakan kata demokrasi dengan pengertian atau pandangan masing-masing. Berbeda denagn masa lalu,demokrasi kini sudah menjadi milik semua orang dengan pemahaman yang berbeda. Seperi halnya agama, demokrasi banyak digunakan dan diungkapkan dalam perbincangan sehari-hari, tetapi banyak juga disalahpahami bahkan acap kali ia dikontraskan dengan agama, padahal prinsip-prinsip moral agama dapat bertemu dengan nilai-nilai demokrasi.
Berbagai upaya perlu dilakukan dalam mewujudkan masyarakat madani, baik yang berjangka pendek maupun yang berjangka panjang. Untuk yang berjangka pendek dilaksanakan dengan memilih dan menempatkan pemimpin-pemimpin yang dapat dipercayadapat diterimadan dapat memimpinUntuk jangka panjang antara lain adalah dengan menyiapkan sumber daya manusia yang berwawasan dan berperilaku madani melalui perspektif pendidikan. Perspektif pendidikan penting untuk dikaji mengingat konsep masyarakat madani sebenarnya merupakan bagian dari tujuan pendidikan nasional.
Kecenderungan sakralisasi berpotensi untuk menambah derajat kefrustasian yang lebih mendalam dalam masyarakat bila terjadi kesenjangan antara realisasi dengan harapan. Padahal kemungkinan untuk itu sangat terbuka, antara lain, kesalahan mengkonsepsi dan juga pada saat manarik parameter-parameter ketercapaian. Saat ini gejala itu sudah ada, sehingga kebutuhan membuat wacana ini lebih terbuka menjadi sangat penting dalam kerangka pendidikan politik bagi masyarakat luas.

B.            RUMUSAN MASALAH
1.             Apa yang dimaksud dengan Masyarakat Madani?
2.             Bagaimana Pelaksanaan Demokrasi di Indonesia?
3.             Bagaimana cara menerapkan Budaya Demokrasi?

C.           TUJUAN PENULISAN
1.             Untuk mengetahui pengertian Masyarakat Madani
2.             Untuk mengetahui sejarah pelaksanaan Demokrasi di Indonesia
3.             Untuk Mengetahui penerapan Budaya Demokrasi dalam Kehidupan sehari-hari



BAB II
PEMBAHASAN



A.           PENGERTIAN MASYARAKAT MADANI / CIVIL SOCIETY
Definisi Masyarakat Madani menurut beberapa ahli:
1.      Menurut Patrick (2001) Civil Society adalah konsep yang pengertiannya dapat diperdebatkan walaupun telah digunakan banyak kalangan sejak + 300 Tahun lalu.  Namun demikian, kebanyakan pakar sependapat bahwa istilah Civil Society itu berkaitan dengan interaksi-interaksi social yang tidak dikuasai oleh Negara. Lebih dari itu, para pengguna istilah itu umumnya sependapat bahwa Civil Society adalah Jariangan kerja yang kompleks dari organisasi-organisasi yang dibentuk secara sukarela, yang berbeda dari lembaga-alembaga Negara yang resmi, dan yang bertindak secara mandiri atau dalam kerja sama dengan lembaga-lembaga Negara.
2.      Menurut A.S. Hikam (1996:3) mendefinisikan Civil Society sebagai wilayah kehidupan social yang terorganisasi dan bercirikan, antara lain: kesukarelaan, keswasembadaan, dan keswadayaan, kemandirian tinggi berhadapan dengan Negara, dan keterkaitan dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya. Civil Society mewujud dalam berbagai organisasi yang dibaut masyarakat di luar pengaruh Negara.
3.      Menurut Lary Diamond (2003) menyatakan bahwa Civil Society melingkupi kehidupan social terorganisasi yang terbuka, sukarela, lahir secara mandiri, setidaknya berswadaya secara parsial, otonom dari Negara, dan terikat pada tatanan legal atau seperangkat nilai bersama.
Civil Society tersusun atas berbagai organisasi kemasyarakatan, yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a.       Lahir secara mandiri; warga masyarakat sendiri membentuknya, bukan penguasa Negara
b.      Keanggotaannya bersifat sukarela, atau atas kesadaran masing-masing anggota
c.       Mencukupi kebutuhannya sendiri (swadaya) paling tidak untuk sebagian, sehingga tidak bergantung pada bantuan pemerintah/Negara
d.      Bebas atau mandiri dari kekuasaan Negara, sehingga berani mengontrol penggunaan kekuasaan Negara
e.       Tunduk pada aturan hukum yang berlaku atau seperangkat nilai/norma yang diyakini bersama.
Ciri kelima (terakhir) tersebut di atas menegaskan keterikatan Civil Society pada budaya politik demokratis.

B.            PELAKSANAAN DEMOKRASI DI INDONESIA
1.             Demokrasi di Masa Orde Lama
Masa Orde Lama sering dimaksudkan sebagai masa pemerintahan Presiden Soekarno pada era Demokrasi Terpimpin. Namun demikian, agar pemahaman tentang pelaksanaan demokrasi di Indonesia menjadi lebih lengkap, berikut akan disajikan terlebih dulu pelaksanaan demokrasi di masa Republik Indonesia Serikat (RIS) dan di masa berlakunya UUD Sementara 1950.
a.    Demokrasi parlementer di masa RIS dan masa berlakunya UUDS 1950
Selama masa berlakunya Konstitusi RIS dan UUDS 1950, Indonesia menjalankan sistem demokrasi parlementer. Cara kerja sistem pemerintahan parlementer adalah, sebagai berikut:
1)               Kekuasaan legislatif dijalankan oleh DPR, yang dibentuk melalui pemilu multi-partai. Partai politik yang menguasai mayoritas kursi DPR membentuk kabinet sebagai penyelenggara pemerintah negara.
2)               Kekuasaan eksekutif dijalankan oleh Kabinet/Dewan Menteri, yang dipimpin oleh seorang Perdana Menteri. Kabinet dibentuk dan bertanggung jawab kepada DPR.
3)               Presiden hanya berperan sebagai kepala negara, bukan kepala pemerintahan; kepala pemerintahan dijabat oleh Perdana Menteri.
4)       Kekuasaan yudikatif dijalankan oleh badán pengadilan yang bebas.
5)               Jika DPR menilai kinerja menteri/beberapa menteri/kabinet kurang atau bahkan tidak baik, DPR dapat memberi mosi tidak percaya kepada seorang atau beberapa menteri atau bahkan kabinet secara keseluruhan. Jika diberi mosi tidak percaya, menteri, para menteri, atau kabinet itu harus mengundurkan/membubarkan diri.
6)               Jika kabinet bubar, Presiden akan menunjuk Formatur Kabinet untuk menyusun Kabinet baru.
7)               Jika DPR mengajukan mosi tidak percaya lagi kepada kabinet yang baru itu, maka DPR dibubarkan dan diadakan pemilihan umum.
Dalam praktik, pelaksanaan demokrasi parlementer/liberal itu me-nimbulkan ketidakstabilan politik karena sering berganti-gantinya kabinet/ Dewan Menteri. Hal-hal negatif yang terjadi selama berlakunya sistem parlementer itu, antara lain:
a)             Usia (masa kerja) rata-rata kabinet yang pendek menyebabkan banyak kebijaksanaan pemerintahan jangka panjang tidak dapat terlaksana. Selama masa antara 17-8-1950 sampai dengan tahun 1959, telah terjadi tujuh kali pembentukan kabinet. Itu berarti, usia kerja rata-rata tiap kabinet kurang dari 1 1tahun.
b)             Terjadi ketidakserasian hubungan dalam tubuh angkatan bersenjata sesudah terjadinya peristiwa 17 Oktober 1952. Sebagian anggota ABRÍ condong ke kabinet Wilopo, sebagian lagi condong ke Presiden Soekarno. Hal itu mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.

c)                            Telah terjadi perdebatan terbuka antara Presiden Soekarno dengan tokoh Masyumi, Isa Anshary, tentang apakah penggantian Pancasila dengan dasar negara yang lebih Islami akan merugikan umat beragama lain ataukah tidak. Dengan demikian, konsensus tentang tujuan-tujuan negara terusik, di samping timbul kesan adanya ketegangan antara penguasa (Presiden) dengan umat Islam.
d)            Masa kegiatan kampanye pemilu yang berkepanjangan (1953-1955) mengakibatkan meningkatnya ketegangan di masyarakat.
e)             Kebijakan beberapa Perdana Menteri yang cenderung mementingkan partainya sendiri sering menimbulkan kerugian bagi perekonomian nasional. Di samping itu, jabatan-jabatan pemerintah menjadi ajang rebutan pengaruh partai-partai yang berkuasa. Oleh karena itu, sering terjadi pergantian pejabat pemerintahan bukan atas dasar prestasi kerja atau kebutuhan, melainkan atas dasar pertimbangan memenuhi kepentingan partai politik yang sedang berkuasa.
f)              Pemerintah pusat mendapat tantangan dari daerah-daerah seperti tampak dalam pemberontakan PRRI (di Sumatera) dan Permesta (di Sulawesi).
Namun menurut Herbert Feith, masa Demokrasi Liberal sebenarnya juga mencatat hal-hal positif, baik dari segi cita-cita negara hukum, negara demokrasi, maupun negara republik yang bertujuan menvejahterakan seluruh rakyat. Beberapa hal positif itu adalah sebagai berikut.
1)                           Badan-badan pengadilan menikmati kebebasan dalam menjalankan fungsinya, termasuk dalam kasus-kasus yang menyangkut menteri, pimpinan militer, ataupun pemimpin-pemimpin partai.
2)             DPR berfungsi dengan baik. Banyak hal dapat diselesaikan bersama dengan pemerintah. Perdebatan-perdebatan dalam sidang DPR bermutu tinggi, dan hubungan persaudaraan antarsesama anggota DPR sangat baik.
3)             Pers bebas sehingga banyak variasi isi media massa, ada banyak kritik di surat kabar terutama dalam kolom kartun dan pojok.
4)             Selama masa itu pemerintah berhasil pula melaksanakan program-program seperti dalam bidang pendidikan, peningkatan produksi, peningkatan ekspor, ataupun dalam mengendalikan inflasi.
5)             Jumlah sekolah bertambah dengan pesat sehingga terjadi pening­katan status sosial yang cepat pula.
6)             Kabinet dan ABRÍ berhasil mengatasi pemberontakan-pemberontakan seperti Gerakan Merapi-Merbabu Complex, Republik Maluku Selatan (RMS), dan DI /Til Jawa Barat.
7)                           Minoritas Tionghoa mendapat perlindungan dari pemerintah.
8)             Indonesia mendapat ñama baik di dunia Internasional sebagai pemimpin gerakan Non-Blok, sebagaimana tampak dari keberhasilan penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung pada bulan April 1955.
b.    Demokrasi Terpimpin: 5 Juli 1959 - 1966
Demokrasi Terpimpin mulai dijalankan sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Demokrasi ini memberlakukan kembali UUD 1945. Dengan demikian, Demokrasi Terpimpin itu dilaksanakan atas dasar Pancasila dan UUD 1945. Sesuai dengan ketentuan UUD 1945 pada waktu itu, bentuk negara kita adalah negara Kesatuan; bentuk pemerintahnya adalah Republik; sedangkan sistem pemerintahannya adalah Demokrasi. Menurut UUD 1945, Indonesia juga menjadi negara hukum, bukan negara kekuasaan. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) harus berfungsi sebagai lembaga tertinggi negara yang memilih dan men- gangkat Presiden. Dengan demikian, Pres­iden wajib tunduk dan bertanggung jawabkepada MPR.
Dalam kenyataan pelaksanaan Demokrasi Terpimpin itu justru menyimpang dari prinsip negara hukum dan negara demokrasi berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Penyimpangan itu tampak dalam hal-hal berikut.
1)    Pelanggaran prinsip "kebebasan kekuasaan kehakiman"
UU No 19 tahun 1964 menentukan bahwa demi kepentingan revolusi, Presiden berhak untuk mencampuri proses peradilan. Ketentuan itu ber-tentangan dengan UUD 1945. Akibatnya, sering terjadi kekuasaan kehakiman dijadikan alat oleh pemerintah untuk menghukum pemimpin politik yang menentang atau memprotes kebijakan pemerintah.
2)    Pengekangan hak-hak asasi warga negara di bidang politik (berserikat,
berkumpul, dan mengeluarkan pendapat)
Pengekangan itu terutama terjadi terhadap kebebasan pers. Ulasan atau pemberitaan surat kabar dibatasi, dalam arti tidak boleh menentang kebi­jakan pemerintah. Tokoh-tokoh politik dilarang mengeluarkan pendapat yang melawan pemerintah. Partai politik yang berani mengeluarkan pendapat yang berlainan dengan keinginan pemerintah dicap kontra-revolusi atau antipemerintah. Surat kabar partai politik yang demikian akan diberangus, dalam arti izin terbitnya dicabut.
3)    Pelampauan batas wewenang
Presiden waktu itu banyak membuat penetapan yang melebihi ke-wenangannya. Banyak hal yang seharusnya diatur dalam bentuk undang-undang (harus disetujui terlebih dulu oleh DPR) ternyata hanya diatur oleh Presiden sendiri dalam bentuk Penetapan Presiden.
4)    Pembentukan lembaga negara ekstrakonstitusional
Presiden juga membentuk lembaga kenegaraan di luar yang disebut UUD 1945, seperti Front Nasional yang kemudian ternyata dimanfaatkan oleh pihak komunis sebagai ajang mempersiapkan pembentukan negara komunis di Indonesia.
5)    Pengutamaan fungsi pimpinan (Presiden)
Pengutamaan fungsi pimpinan (Presiden) yang berakibat melemahkan mekanisme formal kenegaraan yang sudah diatur dalam UUD 1945 tampak dari hal-hal berikut:
          Pelaksanaan demokrasi waktu itu tidak dipimpin oleh 'hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan', melainkan dipimpin oleh Presiden sendiri selaku Panglima Tertinggi ABRÍ/ Pemimpin Besar Revolusi. Dalam mekanisme kerja MPR dan DPR ditentukan bahwa jika MPR atau DPR tidak berhasil mengambil keputusan, persoalan itu diserahkan kepada Presiden untuk memutuskannya.
          Pimpinan MPR, DPR, dan lembaga-lembaga negara lainnya diberi kedudukan sebagai menteri; jadi, mereka ditempatkan sebagai bawahan Presiden. Padahal, menurut UUD 1945 MPR adalah lembaga yang membawahi dan berkedudukan lebih tinggi dari Presiden. Sedangkan lembaga-lembaga negara yang lain (DPR, MA, DPA, dan BPK) seharusnya sejajar, dan bukan berada di bawah Presiden.
          Pembubaran DPR pada tahun 1960 setelah menolak menyetujui Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diusul-kan pemerintah. Padahal UUD 45 mengatur bahwa Presiden tidak dapat membubarkan DPR; dan jika DPR tidak menyetujui anggaran yang diajukan, maka pemerintah menggunakan anggaran tahun sebelumnya.
Terlepas dari semua itu, ada pula keberhasilan selama masa Demokrasi Terpimpin. Dua hal yang patut kita catat adalah: (a) keberhasilan pemerintah menumpas pemberontakan DI /TU yang telah berlangsung selama hampir 14 tahun; dan (b) keberhasilan menyatukan Man Barat ke dalam pangkuan Ibu Pertiwi setelah cukup lama menjadi sengketa dengan pihak Belanda.
Sementara itu, harus diakui pula bahwa pada akhirnya masa Demokrasi Terpimpin berakhir dengan tragis. Pada tahun 1965 terjadi usaha pengambil-alihan kekuasaan negara (kudeta = coup de'etat) secara tidak sah oleh PKI. Usaha kudeta itu berhasil digagalkan oleh kekuatan-kekuatan bangsa Indonesia yang tidak ingin melihat negerinya jatuh ke tangán komunisme. Kaum pelajar, mahasiswa, ABRÍ, dan warga partai-partai politik yang antikomunis bahu-membahu menumpas G 30 S/PKI. Keberhasilan usaha penumpasan itu mengantarkan bangsa Indonesia memasuki babak baru yang kemudian dikenal sebagai masa Orde Baru.
2.    Demokrasi di Masa Orde Baru:  11   Maret 1966 - 21  Mei 1998
Pengalaman yang amat menonjol selama masa Demokrasi Terpimpin (Orde Lama) adalah bahwa penyimpangan terhadap aturan dasar hidup bernegara (Pancasila dan UUD 1945) menimbulkan kekacauan atau ketidak-tertiban dalam masyarakat. Oleh karena itu, semangat yang menjiwai ke-lahiran Orde Baru adalah tekad untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Seluruh kegiatan atau penyelenggaraan pemerintahan negara, ataupun hidup bermasyarakat dan berbangsa, dinyatakan harus dijalankan sesuai dengan tata aturan yang bersumberkan pada Pancasila dan UUD 1945.
Kehidupan politik di masa Orde Baru sama atau bahkan lebih buruk dari masa Demokrasi Terpimpin. Pada masa ini terjadi hal-hal berikut.
a.    Pembatasan hak-hak politik rakyat
Sejak tahun 1973 jumlah parpol di Indonesia dibatasi hanya 3 (PPP, Golkar, dan PDI). Pertemuan-pertemuan politik harus mendapat izin penguasa. Pers dinyatakan bebas, tetapi pemerintah dapat membreidel penerbitan pers (Tempo, Editor, Sinar Harapan, dan lain-lain). Ada perlakuan diskriminatif terhadap anak keturunan orang yang terlibat G 30 S / PKI. Para pengkritik pemerintah dikucükan secara politik, atau bahkan diculik. Pegawai Negeri dan ABRÍ diharuskan mendukung partai penguasa, yaitu Golkar.
b.    Pemusatan kekuasaan di tangán Presiden
Walaupun secara formal kekuasaan negara dibagi ke berbagai lembaga negara (MPR, DPR, MA, dan lain-lain), dalam praktiknya Presiden dapat mengendalikan berbagai lembaga negara itu. Anggota MPR yang diangkat dari ABRÍ berada di bawah kendali Presiden, karena Presiden adalah Panglima Tertinggi ABRÍ. Anggota Utusan Daerah dapat dikontrol oleh Presiden karena mereka dipilih oleh DPRD I yang merupakan bagian dari Pemerintah Daerah, bawahan Presiden. Di samping itu, seluruh anggota DPR/MPR harus lulus penyaringan (screening) yang diadakan oleh aparat militer. Kekuasaan yudikatif juga dikendalikan Presiden, sehingga penegakan hukum cenderung menguntungkan penguasa.
c.    Pemilu yang tidak demokratis
Pemilu dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali, namun penuh dengan kecurangan dan ketidakadilan. Aparat birokrasi dan militer melakukan berbagai cara untuk memenangkan Golkar. Hak-hak parpol dan masyarakat pemilih dimanipulasi untuk kemenangan Golkar.
d.    Pembentukan lembaga ekstrakonstitusional
Untuk melanggengkan kekuasaannya, pemerintah membentuk Kopkamtib (Komando Pengendalian Keamanan dan Ketertiban), yang berfungsi 'meng-amankan' pihak-pihak yang potensial menjadi oposisi penguasa.
e.    Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN)
Akibat penggunaan kekuasaan yang terpusat dan tak terkontrol, korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) merajalela. Rakyat pun sengsara. KKN menjerumuskan bangsa ke dalam krisis multidimensi  berkepanjangan. Pengembangan budaya politik selama masa Orde Baru bertumpu pada upaya penanaman nilai-nilai Pancasila kepada seluruh warga negara Indonesia melalui sistem in-doktrinasi Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).
Selain itu, informasi politik yang boleh diberitakan pers pun telah disaring oleh pemerintah. Alih-alih memberikan kesempatan kepada rakyat untuk menilai dan menimbang berbagai isu politik untuk kemudian menentukan sikap politiknya secara bertanggung jawab, pemerintah malah menentukan sendiri apa yang baik dan perlu diketahui oleh masyarakat. Semuanya itu jelas semakin menjauhkan rakyat dari kesempatan untuk dewasa dalam kerangka budaya politik yang demokratis.
Pemerintahan Soeharto yang otoriter berakhir setelah gerakan mahasiswa berhasil menekannya untuk mengundurkan diri sebagai Presiden. Pernyataan pengunduran diri itu dilakukan pada tanggal 21 Mei 1998.
3.    Demokrasi di Masa Transisi (22 Mei 1998 - Sekarang)
Mundurnya Soeharto diikuti dengan pengangkatan B.J Habibie sebagai Presiden. Sejak saat itu, Prof. Dr. B.J. Habibie menjadi Presiden RI yang ke-3. Masa pemerintahan Habibie sangat singkat, ± hanya 18 bulan.
Pemilu yang relatif demokratis dan tertib berhasil dilaksanakan pada tanggal 7 Juni 1999, diikuti oleh 48 partai politik. Melalui pemilu itu dipilih anggota DPR/MPR. Dalam Sidang MPR hasil pemilu 1999, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terpilih sebagai Presiden menggantikan Habibie. Namun pada tahun 2001 Gus Dur dicopot dari kedudukannya oleh MPR dan digantikan oleh Megawati Sukarnoputri.
Selama masa itu berbagai langkah demokratisasi terus dilakukan. Salah satu yang pokok adalah amandemen UUD 1945 yang telah berlangsung selama 4 (empat) kali. Melalui amandemen itu kehidupan ketatanegaraan RI ditata agar lebih sesuai dengan cita-cita pemerintahan demokrasi. Se-lanjutnya, pemilu demokratis juga dilaksanakan pada tahun 2004. Melalui pemilihan umum ini rakyat memilih anggota DPR dan DPRD, serta anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Lebih dari itu, dalam pemilu 2004 rakyat Indonesia juga memilih Presiden/Wakil Presiden secara langsung.
Pada masa sekarang kita juga mencatat adanya kebebasan berorganisasi dan menyatakan pendapat. Namun, kadang kita juga melihat ada nuansa kebablasan dalam penggunaan kebebasan itu. Para demonstran sering mengeluarkan kata-kata kotor dan menghina pihak yang didemo, seolah pihak yang didemo tidak memiliki martabat dan harga diri. Massa kadang bertindak main hakim sendiri tanpa mengingat bahwa seorang pencuri pun sebenarnya memiliki hak hidup, dan bahwa kesalahan serta hukuman bagi seseorang mestinya ditentukan pihak yang berwenang.
C.           PEMILIHAN UMUM SEBAGAI SARANA PENGEMBANGAN         
1.   Fungsi Pemilihan Umum
Pemilu diselenggarakan untuk mewujudkan gagasan kedaulatan rakyat atau sistem pemerintahan demokrasi. Karena rakyat tidak mungkin memerintah secara langsung, maka diperlukan cara untuk memilih wakil yang akan mewakili rakyat dalam memerintah suatu negara selama jangka waktu tertentu. Pemilu mempunyai tiga fungsi utama, yaitu: (1) sebagai sarana memilih pejabat publik (pembentukan pemerintahan); (2) sebagai sarana pertanggung-jawaban pejabat publik;   dan (3) sebagai sarana pendidikan politik rakyat.
a.    Pemilu sebagai sarana memilih pejabat publik (pembentukan pemerintahan)
Melalui pemilu, rakyat memilih wakil-wakilnya yang akan duduk di lembaga legislatif. Wakil-wakil tersebut akan menjalankan kedaulatan yang didelegasikan kepadanya. Dengan kedaulatan itu para wakil rakyat mempunyai hak dan kewajiban menentukan arah dan kebijakan yang harus dijalankan oleh pemerintah. Di samping memilih para wakil rakyat, pemilu sering juga dijadikan wahana untuk memilih pemimpin negara/kepala negara atau pejabat publik lainnya, baik secara langsung maupun melalui wakil-wakil yang duduk di lembaga legislatif.
b.   Pemilu sebagai sarana pertanggungjawaban pejabat publik
Dalam pemilu rakyat menentukan kepada siapa kedaulatannya di­delegasikan: entah kepada orang yang pernah dipilihnya di masa lalu, atau kepada orang yang baru. Keputusan itu sangat bergantung pada penilaian rakyat terhadap kinerja para pejabat publik di masa lalu. Jika orang-orang yang telah dipilih di masa lalu dianggap tidak mampu memenuhi harapan rakyat, rakyat cenderung tidak memilihnya lagi dan lantas menggantinya dengan orang-orang baru. Dengan demudan, pemilu sebenarnya meru-pakan momentum di mana para pejabat publik pilihan rakyat harus mempertanggungjawabkan semua perilaku politiknya kepada rakyat. Dari sisi rakyat, pemilu adalah sarana bagi rakyat untuk menjatuhkan sanksi politik bagi para pejabat pemerintahan yang ternyata tidak menjalankan as-pirasi rakyat.
c.   Pemilu sebagai sarana pendidi­kan politik rakyat
Pemilihan umum dapat berfungsi pula sebagai sarana pendidikan politik rakyat Melalui proses pemilihan umum (berbagai kegiatan kampanye: rapat akbar, siaran TV, pawai, pam-flet/selebaran, dan lain-lain; pendaftaran pemilih, pengumuman calón, dan sebagainya) warga masyarakat dirangsang untuk mengenal, memahami, dan menghayati nilai-nilai politik tertentu yang nantinya akan mempengaruhi sikap dan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari. Lebih dari itu, mereka terlibat langsung dalam kegiatan pemilu seperti kampanye, berpawai, berteriak-teriak, memasang gambar, mengenal simbol-simbol bahkan sampai pada keikutsertaannya dalam membesarkan partai pilihannya. Semua itu adalah bagian dari proses pendidikan politik. Melalui fungsi pendidikan politik inilah pemilu dapat berperan sebagai sarana pengembangan budaya politik demokratis. Oleh karena itu, pemilu itu sendiri harus dilaksanakan secara demokratis pula.
2.   Ciri-ciri Pemilu Demokratis
Tidak semua penyelenggaraan pemilu dapat mewujudkan fungsi-fungsi pokok di atas sehingga layak disebut pemilu demokratis. Pemilu hanya dapat disebut demokratis apabila memenuhi karakteristik tertentu. Menurut Austin Ranney (1982), ada 8 (delapan) kriteria pokok bagi pemilu demokratis, yaitu: (a) hak pilih umum; (b) kesetaraan bobot suara; (c) pilihan yang signifikan; (d) kebebasan nominasi; (e) persamaan hak kampanye; (e) kebebasan dalam memberikan suara; (f) kejujuran dalam penghitungan suara; dan (g) penyelenggaraan secara periodik.
a.     Hak pilih umum
Pemilu hanya bisa disebut demokratis bila semua warga negara dewasa menikmati hak pilih pasif ataupun aktif.  Jika  diadakan pembatasan, hal itu harus ditentukan secara demokratis, yaitu melalui undang-undang.
b.    Kesetaraan bobot suara
Berlakunya prinsip hak pilih umum memang perlu tetapi belum mencukupi. Harus ada jaminan pula bahwa suara tiap-tiap pemilih diberi bobot yang sama. Artinya, tidak boleh ada sekelompok warga negara, apapun kedudukan, sejarah kehidupan, dan jasa-jasanya, yang memperoleh lebih banyak wakü dari warga lainnya. Oleh karena itu, kuota bagi sebuah kursi parlemen harus berlaku umum.
c.     Tersedianya pilihan yang signifikan
Hak pilih maupun bobot suara yang setara antarsesama pemilih itu kemudian harus dihadapkan pada pilihan-pilihan yang cukup signifikan. Sebab, hakikat memilih memang mengasumsikan adanya lebih dari satu pilihan. Perbedaan pilihan itu bisa sangat sederhana, seperti perbedaan antara dua orang atau lebih calón, atau perbedaan yang lebih rumit antara dua atau lebih garis politik/program kerja yang berlainan, sampai ke perbedaan antara dua atau lebih ideologi.
d.    Kebebasan nominasi
Pilihan-pilihan itu memang harus datang dari rakyat sendiri sehingga prinsip di atas juga menyiratkan pentingnya kebebasan berorganisasi. Melalui organisasi itulah kelompok-kelompok rakyat bergumul untuk mengajukan alternatif terbaik bagi upaya mewujudkan kesejahteraan bangsanya. Melalui organisasi itu pula masing-masing kelompok rakyat membina, menyeleksi, dan menominasikan calon-calon yang mereka nilai mampu menerjemahkan kebijaksanaan organisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Jadi, di dalam kebebasan berorganisasi itu secara implisit terkandung pula prinsip kebebasan menominasikan calón wakil rakyat. Sebab hanya dengan cara itulah pilihan-pilihan yang signifikan dapat dijamin dalam proses pemilihan umum.
e.    Persamaan hak kampanye
Program kerja dan calon-calon unggulan tidak akan bermakna apa-apa jika tidak diketahui oleh massa pemilih. Oleh karena itu, kampanye menjadi amat penting kedudukannya dalam proses pemilu. Melalui proses itu massa pemilih diperkenalkan dengan para calón dan program kerja para kontestan pemilu. Paling tidak massa pemilih disegarkan kembali ingatannya, atau digugah perhatiannya terhadap masalah-masalah nasional, regional, ataupun lokal yang ada, serta "resep-resep" pemecahan masalah yang ditawarkan para kontestan. Pengetahuan, kesadaran, dan sentimen-sentimen yang ter-bangun selama masa kampanye itu diharapkan mempengaruhi pertimbangan massa pemilih di bilik suara. Kesemua itu mensyaratkan adanya kebebasan komunikasi dan keterbukaan informasi. Setiap calón dan para pendukungnya harus menikmati kemerdekaan untuk mempublikasikan ide-ide, kebijakan politik, dan program kerjanya agar dapat diketahui massa.
f.    Kebebasan dalam memberikan suara
Jika semua prinsip di atas telah ditegakkan, masih diperlukan pula jaminan bahwa para pemilih dapat menentukan pilihannya secara bebas, mandiri, sesuai pertimbangan-pertimbangan hati nuraninya. Pemberi suara harus terbebas dari berbagai hambatan fisik ataupun mental (takut, terpaksa, dan sebagainya) dalam menentukan pilihannya. Oleh karena itu, harus ada jaminan bahwa pilihan seseorang dilindungi kerahasiaannya dari pihak manapun juga, terutama penguasa.
g.    Kejujuran dalam penghitungan suara
Lebih lanjut penghitungan suara pun harus dilakukan secara jujur dan terbuka. Sebab keseluruhan kegiatan di atas akan sia-sia belaka jika tidak ada kejujuran dalam penghitungan suara. Kecurangan dalam penghitungan suara akan menggagalkan upaya menjelmakan rakyat ke dalam badán perwakilan rakyat. Keberadaan lembaga pemantau independen pemilu dapat menopang perwujudan prinsip kejujuran dalam penghitungan suara.
h.    Penyelenggaraan secara periodik
Pada akhirnya pemilu itu sendiri harus dilaksakan secara periodik. Pemilu tidak boleh diajukan atau diundurkan sekehendak hati penguasa. Pemilu tidak boleh dijadikan alat penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya. Pemilu justru dimaksudkan sebagai sarana menyelenggarakan pergantian penguasa secara damai dan terlembaga.

3.   Perkembangan Pelaksanaan Pemilu di indonesia
Pemilu untuk mengisi jabatan politik sudah cukup dikenal oleh bangsa Indonesia. Pada masa penjajahan memang terdapat badán perwakilan rakyat {Volksraad), namun lembaga itu tidak demokratis baik dari segi komposisi keanggotaannya maupun cara pengisiannya.
Selama lima tahun pertama kemerdekaan bangsa Indonesia, memang sering diselenggarakan pemilu di daerah-daerah yang dikuasai Belanda. Namun pemilu yang dimaksudkan untuk memilih wakil-wakil daerah ini tidak demokratis. Keadaan darurat umumnya diberlakukan di daerah-daerah yang menyelenggarakan pemilu, sementara pamong praja pro-Belanda mengintimidasi rakyat agar tidak memilih calon-calon yang pro-Republik Indonesia (kaum Republiken). Rapat-rapat dibatasi dengan pengawasan ketat pihak keamanan Belanda, dan penangkapan serta penahanan aktivis politik Republiken pun selalu terjadi dalam setiap pemilu daerah tersebut.
Pemilu yang paling demokratis boleh jadi baru dialami oleh bangsa Indonesia melalui pemilu 1955. Pada masa itu, puluhan partai dan calón perseorangan menjadi kontestan, sehingga rakyat benar-benar berpeluang memilih sesuai aspirasi politik masing-masing. Tidak ada "skreening" terhadap calon-calon wakil rakyat oleh pihak aparat keamanan. Namun segera sesudah itu, iklim politik menjadi begitu ketat selama masa Demokrasi Terpimpin.
Selama masa Orde Baru, telah diselenggarakan 5 (lima) kali pemilu. Selain itu juga, diselenggarakan pemilihan umum di tingkat desa, yaitu untuk memilih kepala desa. Dengan demikian, hanya ada tiga lembaga pemerintahan yang pengisiannya dilakukan melalui pemilu, yaitu MPR/DPR, DPR Daerah, dan Kepala Desa. Memang ada jabatan-jabatan pemerintahan lain yang diisi

D.           MENERAPKAN BUDAYA DEMOKRASI
Budaya demokratis haruslah menjadi langgam/gaya hidup bagi setiap warga bangsa baik dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Budaya demokrasi haruslah menjadi jalan hidup bangsa Indonesia; sebab, hanya dengan cara itulah demokrasi berdasarkan Pancasila dalam bidang politik, ekonomi ataupun sosial benar-benar dapat kita jalankan.
Agar mampu bertindak sesuai dengan budaya demokrasi, kita harus meyakini prinsip bahwa pada hakikatnya setiap orang itu sama harkat dan martabatnya. Dengan keyakinan semacam itu, kita dapat memberikan perlakuan dan penghormatan yang sama bagi setiap orang. Dengan memegang teguh prinsip tersebut, kita menjadi lebih mampu mengendalikan diri sehingga tidak bertindak, bersikap, ataupun bertutur-kata secara tidak beradab. Kita pun akan lebih mampu bertenggangrasa dengan orang lain.
Dengan mengakui persamaan kedudukan orang lain, kita akan selalu memikirkan, mempertimbangkan, dan memperhatikan kepentingan orang lain pada saat menangani masalah bersama. Bahkan dalam menjalani hidup pribadi pun, kita didorong untuk melakukan hal yang sama.
Dalam hidup keluarga, budaya demokratis juga memegang peranan penting. Setiap anggota keluarga mempunyai kébebasan yang sama. Kebebasan ini hendaknya selalu dihormati oleh masing-masing anggota keluarga. Oleh karena itu, tindakan sesuka hati sendiri hendaknya dihindari. Setiap anggota keluarga hendaknya mau menghibur dan mendukung anggota keluarga yang lain. Mereka hendaknya saling bekerja sama untuk menyelesaikan pekerjaan dan masalah yang ada. Dengan itu, semua setiap anggota keluarga akan merasa betah tinggal di rumah.
Dalam hidup bermasyarakat, budaya demokratis pun penting sekali peranan-nya. Jika setiap orang mengutamakan hak-hak atau kebebasan pribadinya, niscaya ketidaktenteraman akan terjadi di masyarakat. Jika masing-masing orang hanya menonjolkan atau memikirkan kepentingan, urusan, dan kehidupan pribadinya, niscaya upaya pencapaian tujuan mewujudkan ke-sejahteraan bersama akan terhambat.
Secara kodrati, manusía membutuhkan pertolongan orang lain. Oleh karena itu, dalam hidup bermasyarakat setiap manusia bertanggung jawab untuk selalu memperhatikan, mempertimbangkan, dan memikirkan kepen­tingan orang lain ataupun kepentingan bersama dalam segala tindakannya. Tanggung jawab setiap oranglah untuk selalu berpikir, bersikap, dan bertin­dak penuh budaya demokratis baik dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, ataupun bernegara. Dengan budaya demokratis, kemungkinan terjadmya perselisihan, konflik ataupun perpecahan diperkecil. Akhirnya, peluang mewujudkan kesejahteraan bersama secara adil semakin besar.
Secara hukum, hak warga negara untuk berperan serta dalam kehidupan politik di negara kita sudah cukup dijamin. Hak-hak itu seharusnya kita manfaatkan bagi kebaikan bersama. Semua warga negara perlu menyadari hak dan kewajiban mereka, dan menggunakan hak serta menunaikan kewajibannya itu secara bertanggung jawab. Hak dan kewajiban itu merupakan tanggung jawab yang harus dipikul oleh semua warga negara.



BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Masyarakat madani bermakna ganda yaitu suatu tatanan masyarakat yang menekankan pada nilai-nilai: demokrasi, transparansi, toleransi, potensi, aspirasi, motivasi, partisipasi, konsistensi, komparasi, koordinasi, simplifikasi, sinkronisasi, integrasi, emansipasi, dan hak asasi. Namun, yang paling dominan adalah masyarakat yang demokratis. Masyarakat madani merupakan sistem sosial yang subur berdasarkan prinsip-prinsip moral yang menjamin kesimbangan antara kebebasan individu dengan kestabila masyarakat, inisiatif ari individu dan masyarakat akan berupa pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintah yang berdasarkan undang-undang dan bukan nafsu atau keinginan individu.
Masyarakat madani memiliki karakteristik Free public sphere (ruang publik yang bebas), Demokratisasi, Toleransi, Pluralisme, Keadilan sosial (social justice), Partisipasi sosial, Supremasi hukum.
Perwujudan masyarakat madani ditandai dengan karakteristik masyarakat madani, diantaranya wilayah publik yang bebas, demokrasi, toleransi, kemajemukan dan keadilan sosial. Strategi membangun masyarakat madani di indonesia dapat dilakukan dengan integrasi nasional dan politik, reformasi sistem politik demokrasi, pendidikan demokratisasi dan penyadaran politik.

B.      Saran
Kami selaku penyusun sangat menyadari masih jauh dari sempurna dan tentunya banyak sekali kekurangan dalam pembutan makalah ini.Hal ini disebabkan karena masih terbatasnya kemampuan kami.
Oleh karena itu, Kami selaku pembuat makalah ini sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun.Kami juga mengharapkan makalah ini sangat bermanfaat untuk kami khususnya bagi pembaca.




DAFTAR PUSTAKA

Azizi, A Qodri Abdillah. 2000. Masyarakat madani Antara Cita dan Fakta: Kajian Historis-Normatif. Dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Daliman, A. 1999. Reorientasi Pendidikan Sejarah melalui Pendekatan Budaya Menuju Transformasi Masyarakat Madani dan Integrasi Bangsa,Cakrawala Pendidikan. Edisi Khusus Mei Th. XVIII No. 2.
Ismail SM. 2000. Signifikansi Peran Pesantren dalam Pengembangan Masyarakat madani. Dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Madjis, N. 1977. Dinamika Budaya Pesisir dan Pedalaman: Menumbuhkan Masyarakat Madani, dalam HMI dan KAHMI Menyongsong Perubahan Menghadapi Pergantian Zaman. Jakarta: Majelis Nasional KAHMI.
Marzuki. 1999. Membangun Masyarakat Madani melalui Pendidikan Islam Sebuah Refleksi Pendidikan Nasional, Cakrawala Pendidikan. Edisi Khusus Mei Th. XVIII No. 2.
Rahardjo, D. 1997. Relevansi Iptek Profetik dalam Pembangunan Masyarakat Madani, Academika, Vol. 01, Th. XV, halaman 17-24.
Suwardi, 1999. Demokratisasi Pendidikan dalam Pengajaran Pragmatik Sastra Sebagai Wahana Penciptaan "Masyarakat Madani" Cakrawala Pendidikan, Edisi Khusus Mei. Th. XVIII, No. 2

Subscribe to receive free email updates: