ARTIKEL DAMPAK NEGATIF JEJARING SOSIAL
Jejaring
sosial adalah salah satu dari banyak media untuk berinteraksi antara manusia
satu dengan lainnya. Melalui media sosial seperti Facebook dan Twitter sebuah
komunikasi dengan mudah bisa di jalankan. Lepas dari dampak positif dari
pesatnya perkembangan jejaring sosial, perlu juga diketahui dampak negatifnya.
Jejaring sosial bak pisau bermata dua. Namun menurut saya pemanfaatkan media
sosial sepenuhnya berada di bawah kendali penggunannya sehingga tidaklah
bijaksana menyalahkan keberadaan jejaring sosial tersebut.
Perkembangan
teknologi komunikasi dalam wujud media sosial yang kian digandrungi
boleh saja menawarkan kemudahan, efisiensi waktu, ataupun
kepraktisan. Akan tetapi, ada dampak negatif yang perlu diwaspadai di
balik sisi positif yang dihadirkan, terutama dalam aspek
psikologi. Terkait hal ini, JWTIntelligence yang merupakan bagian
dari brand komunikasi marketing ternama JWT, menemukan adanya Fear of
Missing Out (FOMO) akibat penggunaan media sosial.
FOMO dapat dimaknai sebagai
perasaan tidak nyaman karena ada sesuatu.yang terlewatkan mengenai
aktivitas orang lain. Hal ini mengakibatkan seseorang cenderung untuk
terus mencari tahu apa yang dialami orang lain. Apalagi pengalaman
tersebut belum pernah dirasakan sendiri. Sayangnya, kehadiran media
sosial justru dapat semakin menyebarkan “virus” FOMO.
Hal yang terjadi saat ini adalah
seseorang mudah sekali tergoda untuk selalu mengakses jejaring sosial
dan memantau akun orang lain secara konstan karena merasa tidak
nyaman apabila melewatkan sesuatu yang menarik dari para relasi.
Gejala-gejala sepele yang kerap terlihat adalah sejumlah orang tanpa sadar
“mewajibkan” diri memantau Iinimasa sebelum dan sesudah tidur meskipun hanya
menyimak perbincangan yang menjadi isu terkini.
Berdasarkan
temuan JWTIntelligence yang dirilis pada Mei 2011, lebih dari tiga
perempat responden dari konsumen AS dan Inggris mengklaim bahwa
mereka menggunakan media sosial untuk menyombongkan diri. Sementara
itu, 56 persen konsumen yang masuk dalam kategori adult Millennials
(18-34) mengatakan, Facebook dapat memicu jiwa penguntit (stalker)
mereka keluar.
JWTlntelligence
juga menegaskan, kicauan dalam linimasa yang dapat memicu meningkatnya
FOMO bukan berasal dari public figure, tetapi dari teman sebaya. Seseorang
justru lebih rentan terpengaruh dan merasa iri ketika melihat kerabatnya
yang sepadan memiliki sesuatu yang belum pernah ia miliki.
Untuk
level lebih lanjut, FOMO dapat memotivasi seseorang melakukan pembelian di
luar kebutuhan. Misalnya, membeli gaman elektronis (gadget) terbaru hanya
karena terpengaruh orang-orang sekitar yang memiliki benda serupa.
Fenomena ini terjadi karena penderita FOMO memiliki tekanan sosial dan
tidak ingin menjadi “berbeda” dari lingkungan. Oleh karena itu, para
penggiat media sosial dituntut untuk dapat mengontrol diri dan
memanfaatkan teknologi dengan bijak.
Di
bawah ini beberapa dampak negatif yang muncul akibat penggunaan jejaring sosial
yang berlebihan:
1. Membuat
waktu terbuang dengan sia-sia
Sudah beberapa waktu
saya mengamati perilaku pengguna jejaring sosial dengan berinteraksi secara
intensif dengan beberapa users. Satu pertanyaan yang sering hinggap di benak
saya adalah bagaimana user tersebut bisa online terus padahal secara teori
mereka seharusnya sedang bekerja, istirahat tidur malam hari, ataupun sedang
beribadah. Tidak jarang interaksi saya lakukan dengan mereka yang sudah
bekeluarga sehingga tidak jarang saya berpikir bagaimana mereka mengatur
interaksi dengan keluarga mereka kalau setiap saat waktunya dihabiskan dengan
melototi layar komputer dan keyboard smartphonenya.
Saya mengakui jika sebagian orang memang memanfaatkan
jejaring sosial sebagai media bisnis mereka. Namun bagi mereka yang hanya
sekedar bercengkerama di jejaring sosial tanpa tujuan yang pasti selain ngobrol
ngalor ngidul bukankah itu merupakan pembuangan waktu secara sia-sia.
Dari contoh tersebut secara tidak langsung jejaring sosial mulai menyandera
waktu kita sehingga membuat diri kita tidak produktif dalam berkarya ataupun
melakukan hal-hal positif lainnya.
2.
Menambah beban pengeluaran
Keberadaan jejearing sosial yang menjadi bagian dari
kehidupan manusia modern sehingga kepemilikan akun salah satu jejaring sosial
seolah menjadi WAJIB hukumnya. Nah implikasi yang muncul adalah harus adanya
alat yang bisa dipergunakan untuk akses media sosial tersebut seperti komputer
dan handphone. Namun, perlu dicatat alat saja belum cukup tanpa terhubung
dengan fasilitas internet. Walhasil seorang user media sosial harus merogoh
kocek lebih banyak untuk biaya menggunakan media sosial tersebut. Yang
menjadikan diri saya sedih adalah melihat kenyataan jika user media sosial
lebih memprioritaskan keberlangsungan penggunaan media sosial dengan
mengorbankan kebutuhan lain yang lebih utama seperti makan, minum, pendidikan
dll.
Suatu hari saya chat dengan seorang mahasiswa yang mengeluh
dengan biaya buku dan fotokopi yang sangat mahal. Setelah beberapa saat ngobrol
ketahuan jika dana pendidikan dari orang tua dibelikan perangkat smartphone
dengan koneksi internet yang berharga ratusan ribu per bulan. Yang menjadi
ironis adalah mengapa fotokopi sebesar 10 ribu lebih mahal daripada biaya
penggunaan teknologi untuk beriteraksi dengan media sosial yang biayanya
ratusan ribu per bulan?
Contoh kedua adalah adanya seorang user yang lebih
mengutamakan membeli voucher internet daripada susu anaknya atau membayar
sekolah anaknya. Bagi saya kedua contoh tersebut sangat menyedihkan.
3.
Mengganggu konsentrasi belajar
Selain menyia-nyiakan waktu, penggunaan media sosial secara
berlebih juga mengganggu konsentrasi belajar. Secara rutin saya mengamati
posting wall teman-teman di media sosial mereka. Tidak sedikit mereka
mengeluhkan kegiatan sekolah ataupun kuliah. Kemudian saya berpikir mengapa
mereka tidak posting masalah kuliahnya untuk memohon bantuan teman-teman di
jejaring sosial daripada mengeluarkan keluhan?.
Hal lain yang menarik untuk dicermati adalah bagaimana orang
akan belajar sementara pikirannya ada di jejaring sosial memantau postingannya?
Jadi secara sadar maupun tidak sadar keberadaan jejaring sosial bisa
mengaburkan konsentrasi belajar.
4.
Mengancam keamanan diri
Tidak jarang saya membaca di media online atau cetak korban
dari pertemanan di media sosial yang secara umum disebut penipuan. Dengan media
sosial dengan mudah kita memiliki banyak teman dan menjadi akrab meskipun belum
pernah bertemu sebelumnya. Secara umum sangat susah menilai orang yang dikenal
di media sosial jika informasi yang diberikan tidak akurat alias bohong.
Dari pengamatan saya, tidak sedikit dari pengguna media
sosial berlaku curang dengan menggunakan foto orang lain atau foto bohong
dengan tujuan memikat orang lain. Melalui contoh tersebut saya berpikir jika
semakin banyak kita memiliki teman melalui media sosial yang tidak jelas maka
resiko keamanan diri kita juga semakin meningkat. Kemanan tidak selalu dalam
bentuk nyata seperti perampokan dll tetapi juga penyalah gunaan nama kita,
identitas lengkap dan foto-foto kita, dan merusak akun kita. Beberapa
waktu yang lalu saya melihat salah satu akun sahabat saya diposting
dengan gambar norak alias porno yang sangat bertentangan dengan profesi dan
status sosialnya. Akhirnya diambil keputusan untuk remove orang tersebut dari
pertemanan.
Salah satu cara untuk mengurangi resiko keamanan diri adalah
dengan hati-hati saat approve pertemanan dan memantau akun teman baru secara
teratur untuk sementara waktu.
5.
Mengancam kesehatan
Kesehatan adalah karunia yang sangat mahal tetapi seringkali
kita tidak peduli dengan kondisi badan kita. Beberapa waktu lalu saya membaca
sebuah berita seorang user yang menggunakan media sosial secara berlebih
mengeluh karena jari-jarinya sakit akibat terlalu sering memencet tombol
keybord Handphonenya. Berita lain saya dapatkan dari teman yang sering mengeluh
sakit kepala akibat memelototi komputer secara berlebihan keasyikan begadang di
jejaring social.