MAKALAH HUBUNGAN INDONESIA DENGAN ARAB SAUDI


BAB I
PENDAHULUAN
                         
1.1.       Latar Belakang
Sejak Perang Dunia I, minyak sebagai sumber energi, dan telah menjadi semakin bertambah penting untuk industri dan perang. Minyak mentah sebagai salah satu sumber energi dan menjadi barang yang dapat mempengaruhi kebijakan domestik dan luar negeri suatu negara. Berbagai kejadian-kejadian dunia seperti Perang Dunia I, Perang Dunia II, serta perang-perang yang terjadi di panggung internasional sangat membutuhkan minyak mentah (crude oil) sebagai sumber energi yang menggerakkan persenjataan militer negara-negara di dunia pada saat itu. Embargo negara-negara Arab kepada Amerika Serikat dan Eropa pada tahun 1970-an semakin membuktikan Sumber Daya Alam ini merupakan komoditas utama yang dapat menggerakkan politik luar negeri, keamanan, dan interaksi antar negara.
Krisis energi yang berlangsung di era 1970an lalu telah menggetarkan sendi-sendi kehidupan ekonomi dan politik dunia. Suatu peneltian berjangkauan panjang yang telah dibuat tahun 1960an tidak pernah menandaskan bahwa energi adalah merupakan satu persoalan pokok dalam tata krama kehidupan. Namun diawal tahun 1970an energi tiba-tiba menjelma menjadi sebuah issue sentral baik di bidang ekonomi maupun dipanggung politik internasional. Adanya ketidaktentuan pasar minyak internasional membuat energi akan tetap unggul sebagai bahan baku pembangkit tenaga.
Potensi minyak yang dimiliki Indonesia untuk saat ini memang belum signifikan, kilang-kilang perusahaan minyak yang ada saat ini di Indonesia seperti kilang minyak Pangkalan Brandan, Pangkalan Susu, Kilang Minyak Wonokromo, Cepu,  serta kilang-kilang minyak yang rencana akan di bangun seperti Kilang minyak Tuban, kilang minyak Balongan, Dumai dan Cilacap. PT. Pertamina sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini semakin mengintensifkan kerjasama dengan Saudi Aramco sebuah Oil National Company dari Arab Saudi untuk membangun kilang minyak di Cilegon, Banten dengan rencana kapasitas 300.000 barel per hari (bph).
            Suatu negara ketika sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan primer dalam negaranya, untuk keperluan penduduknya maka negara tersebut harus memenuhi kebutuhannya dengan melakukan kerjasama dengan negara lain. Indonesia dan Arab Saudi sudah menjalin kerjasama dan hubungan diplomatik selama 60 tahun lamanya sejak 1 Mei 1950 yang lalu. Kerjasama yang terjalin erat, kuat dan bersahabat dalam bidang agama, budaya, dan politik selama bertahun-tahun. Indonesia dan Arab Saudi telah memiliki saling pengertian dan pendekatan yang sama pada seluruh jajaran isu bilateral dan internasional, keduanya selalu ingin meningkatkan dan memperkuat hubungan di bidang ekonomi, agama, perdagangan dan investasi, energi, dan sektor ketenagakerjaan. Segala bentuk kerjasama yang terjalin antara Indonesia dan Arab Saudi perlu menjadi perhatian khusus bagi Indonesia karena hubungan yang terjalin sudah begitu lama dan membawa banyak keuntungan bagi Indonesia.
Berdasarkan kondisi yang ada, Indonesia dengan kebutuhan minyak yang semakin besar, dan Saudi Aramco sebagai pemasok minyak yang besar bagi Indonesia sementara Amerika Serikat dalam Saudi Aramco  menjadi negara yang menguasai konsesi minyak pada perusahaan ini, hal ini menjadi satu kendala bagi Indonesia dalam kerjasama dengan Saudi Aramco, mengingat fluaktuasi kurs dollar terhadap rupiah. Dengan adanya kendala ini maka penulis tertarik meneliti tentang hambatan-hambatan lain yang dihadapi Indonesia dalam kerjasama dengan Arab Saudi dalam bidang perminyakan dan peluang serta faktor perminyakan yang dituangkan dalam judul :“Kerjasama Bilateral Indonesia-Arab Saudi dalam Bidang perminyakan”.

1.2.       Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini sebagai berikut :
1.      Bagaimana peluang-peluang kerjasama perminyakan Indonesia dengan Arab Saudi?
2.      Bagaimana faktor perminyakan dalam hubungan bilateral Indonesia dengan Arab Saudi? 
3.      Hambatan-hambatan apa saja yang di hadapi Indonesia menjalin kerjasama bidang perminyakan dengan Arab Saudi?
1.3.       Tujuan
1.      Untuk mengetahui dan menjelaskan peluang-peluang kerjasama perminyakan Indonesia dengan Arab Saudi.
2.      Untuk mengetahui dan menjelaskan bagaimana faktor perminyakan Indonesia dengan Arab Saudi?
3.      Untuk mengetahui dan menjelaskan hambatan-hambatan yang dihadapi Indonesia menjalin kerjasama perminyakan dengan Arab Saudi.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.      Pengertian Kerjasama Bilateral
Kerjasama, atau kooperasi  adalah pekerjaan yang biasanya dikerjakan oleh individu tapi dikerjakan secara bersamaan oleh dua orang atau lebih dengan tujuan agar pekerjaan tersebut menjadi lebih ringan. Wujud dari kerjasama bisa merupakan kerja kelompok ataupun kerja yang mencakup skala luas misalnya kerjasama antar organisasi atau kerjasama antar negara (kerjasama internasional). Dengan menerapkan konsep kerjasama maka kita akan mendapatkan kemudahan dalam menyelesaikan pekerjaan yang berat atau membutuhkan kekuatan kelompok.
Bilateral , menurut kamus Bahasa Indonesia adalah dari dua belah pihak; antara dua pihak: perjanjian -- negara sahabat;.
Jadi dapat sisimpulakan kerjasam bilateral adalah pekerjaan yang dilakukan bersama baik berupa perjanjian politik, budaya maupun ekonomi oleh 2 negara. Kebanyakan hubungan internasional dilakukan secara bilateral. Misalnya perjanjian politik-ekonomi, pertukaran kedutaan besar, dan kunjungan antar negara. (wikipidia.com)

B.       Pengertian Perminyakan
Berfokus kepada tambang minyak, gas, dan panas bumi, meliputi kegiatan pengeboran, eksplorasi, distribusi dan ekonomi migas.(wikipidia.com)
           


    BAB III
          PEMBAHASAN

A.           Peluang Kerjasama Perminyakan Indonesia dengan Arab Saudi
Sebagai penghasil minyak terbesar dan sesama negara muslim menjadikan Saudi Arabia sebagai top prioritas dalam mengatasi krisis pasokan energi di masa akan datang. Peningkatan kerjasama Indonesia dengan Arab Saudi melalui peran aktif pemerintah ke pemerintah/bilateral (G-G), melalui perusahan minyak Arab Saudi yakni Saudi Aramco kedepan.
Indonesia yang menjalin kerjasama minyak dengan Arab Saudi besar harapannya akan langgeng karena produksi minyak dalam negeri Indonesia semakin hari tidak tidak mampu memenuhi kebutuhan kilang dalam negeri. Harga yang cenderung lebih murah yang diberikan Arab Saudi menjadikan Indonesia menjalin kerjasama perminyakan ini dengan semakin percaya diri, karena keakraban yang terjalin diantara keduanya khususnya selama masing-masing pernah menjadi negara-negara anggota OPEC. Hal ini pula di dukung karena dua negara ini sama-sama jumlah penduduknya muslimnya besar sehingga menambah keakraban serta hubungan yang dekat antara Indonesia dan Arab Saudi.
Selain itu, kondisi perekonomian Arab Saudi terkini dan peluangnya bagi Indonesia berdasarkan sumber : Laporan Konjen RI di Jeddah, Maret 2011, bahwa Indonesia dalam bidang kerjasama dengan Arab Saudi memiliki banyak peluang diantaranya yakni bidang perminyakan :
1.      Kementerian Perminyakan dan Sumberdaya Mineral Arab Saudi pada tanggal 23 Februari 2011 menjelaskan bahwa produksi minyak Arab Saudi mencapai level tertinggi selama dua tahun terakhir. Hl ini tentu menjadikan Indonesia sebagai mitra kerjasama minyak Arab Saudi, bisa berharap mendapatkan minyak impor tambahan dalam pemenuhan kebutuhan kilang minyak dalam negeri.
2.      GDP tahun 2010 naik 16,6% dibandingkan tahun 2009 akibat adanya pertumbuhan 25% dari sektor minyak. Dengan terus merningkatnya produksi minyak Arab Saudi. Semakin memberikan peluang yang cukup berarti bagi Indonesia mendapatkan kebutuhan minyak impor dari Arab Saudi, dengan sudah adanya kerjasama yang telah terjalin sebelumnya.
3.      Ekspor minyak mencapai 6,49 juta barel per hari pada bulan Desember 2010, naik dari angka sebelumnya yaitu 6,342 juta barel per hari pada November 2010. Produksi minyak yang tinggi, menjadikan ekspor minyak Arab Saudi ikut meningkat, Indonesia, harus mampu mengajak Arab Saudi untuk bisa menjalankan kerjasama ini agar langgeng dan dengan semakin mendapat kemudahan-kemudahan bagi Indonesia.
4.      Arab Saudi menjadi negara anggota OPEC terbesar yang memproduksi minyak.
5.      Arab Saudi mengalami surplus tahun 2010 sebesar SR 108,5 milyar (US$ 28,93 milyar) walaupun pembelanjaan negara tersebut lebih dibandingkan dengan anggaran pengeluaran tahun 2010. Hal ini mampu menjadikan Indonesia menjalankan kerjasamanya dengan baik.
6.      Pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Arab Saudi tahun 2011 disebutkan bahwa pengeluaran Arab Saudi tahun 2011 SR 580 milyar (US$ 154,7 milyar), naik SR 40 milyar dibandingkan tahun 2010.Secara makro, ekonomi Arab Saudi saat ini dalam kondisi cukup kuat yang didukung oleh cadangan devisa yang besar dan kebijakan fiskal yang sangat hati-hati.
7.      Terkait dnegan hubungannya dengan kemungkinan dampaknya terhadap hubungan ekonomi dan investasi Arab-Indonesia akibat krisis politik di negara-negara Timur Tengah seperti yang terjadi di Libya, dapat disampaikan:
a.       Tidak ada dampak langsung karena hubungan dagang kedua negara pada umumnya dilakukan secara langsung (tidak melalui negara ketiga), dengan tern yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun.
b.      Apabila krisis politik negara-negara di Timur Tengah  merambat ke Uni Emirate Arab maka akan berdampak pada hubungan dagang Indonesia-Arab karena beberapa komoditi yang diekspor Indonesia ke Arab Saudi dan negara Timur Tengah lainnya dilakukan melalui pelabuhan di Dubai.
8.         Indonesia dapat memanfaatkan situasi ini untuk meningkatkan hubungan ekonomi dengan Arab Saudi yang juga sesama anggota GNB dan G-20 serta bekas anggota OPEC baik dalam kerangka bilateral maupun dengan malkukan pendekatan pada setiap pertemuan G-20 dan pertemuan multilateral lainnya.
B.            Faktor Perminyakan dalam Hubungan Bilateral Indonesia-Arab Saudi
Kerjasama perminyakan yang terjalin antara Indonesia dan Arab Saudi dari tahun 2004 ini, memang membawa Indonesia di posisi dimana banyak menguntungkan Indonesia karena kerjasama yang terjalin antara Indonesia dan Arab Saudi ini sangat membantu kondisi domestik Indonesia, adapun faktor perminyakan yang terjalin antara Indonesia dengan Arab Saudi yakni:
1.        Impor Minyak
Jika konsumsi BBM dalam negeri meningkat melampaui yang mampu diproduksi kilang dalam negeri, mau tidak mau kita harus mengimpornya. Pemerintah SBY-JK tidak berbohong tentang kenaikan konsumsi BBM dalam negeri. Pada tahun 1990, konsumsi BBM nasional sebesar 173,136 juta barel, tidak sampai 500 ribu barel per hari. Masuk era 2000-an, konsumsi BBM Indonesia telah meningkat drastis. Pada tahun 2003 konsumsi BBM meningkat menjadi 329,525 juta barel. Sejak tahun 2004, konsumsi BBM sudah melampaui 1 juta barel per hari. Untuk  tahun 2008, diprediksi konsumsi BBM Indonesia mencapai 1,4 juta barel.
Karena itu, tidak heran jika jumlah BBM yang diimpor terus bertambah besar. Pada tahun 2001, kita mengimpor 75,27 juta barel BBM. Jumlah ini meningkat menjadi 79,12 juta barel di tahun 2002, dan 108,69 juta barel di tahun 2003.  Kini, karena besarnya impor, status Indonesia telah berubah dari net exporter minyak menjadi net importer, sehingga pemerintah Indonesia menarik diri dari OPEC, organisasi negara-negara penghasil (eksportir) minyak. Tahun 2004 Indonesia memulai menjalin kerjasama minyak dengan Arab Saudi, setelah itu pada tahun 2008 Indonesia resmi keluar dari OPEC.
Indonesia mengimpor minyak dari Arab Saudi dalam hal ini melalui Saudi Aramco, di karenakan cadangan minyak yang ada di Indonesia memang belum mencukupi dari pemenuhan kebutuhan minyak dalam negeri, tahun 2010 pihak PT PERTAMINA (Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara) menjajaki perjanjian dengan Saudi Aramco (Oil National Company of Kingdom Saudi Arabia) dalam hal impor minyak sebesar 200.000 bph yang sebelumnya PT. Pertamina telah mendapatkan crude oil dari Saudi Aramco sebanyak 125.000 bph. Indonesia mengharapkan dapat mengimpor minyak sebesar 325.000 bph dari Saudi Aramco untuk memenuhi kebutuhan kilang minyak dalam negeri
2.             Kerjasama Pembuatan Kilang di Indonesia
Kerjasama dalam bidang perminyakan antara Indonesia dan Arab Saudi sudah berlangsung dari tahun 2004, hubungan ini semakin dekat dikarenakan hubungan keduanya sebagai negara yang mayoritas muslim serta kedekatan keduanya di organisasi negara-negara pengekspor minyak yakni OPEC. Kerjasama yang terjalin tidak hanya dalam bentuk impor minyak Indonesia dari Arab Saudi, melainkan Indonesia menjalin kerjasama kilang dengan perusahaan Arab Saudi. Sebelumnya Indonesia sudah menjalin kerjasama kilang ini dari tahun 2006 lalu, dimana kilang di Jawa Timur dan Indonesia bagian Timur dibangun berdasarkan kerjasama dengan perusahaan minyak Arab Saudi. Kesepakatan kerjasama ini diraih Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sewaktu berkunjung ke Timur Tengah tahun 2006 lalu, kerjasama-kerjasama yang terjalin antara kedua negara ini meningkat terutama di bidang energi, sebagaimana yang dikehendaki oleh Indonesia dan dianggap sebagai peluang yang sangat baik. Menurut Presiden Yudhoyono, total dari investasi tersebut diperkirakan mencapai US$ 7 miliar hingga US$ 8 miliar. Agar kesepakatan ini berjalan dengan baik, Presiden meminta PT Pertamina membantu pembangunan dua kilang minyak itu
            PT. Pertamina sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini semakin mengintensifkan kerjasama dengan Saudi Aramco sebuah Oil National Company dari Arab Saudi untuk membangun kilang minyak di Cilegon, Banten dengan rencana kapasitas 300.000 barel per hari (bph). Kerjasama ini diharapkan mampu maksimal, karena bagi Pertamina menjalin kerjasama dengan Arab Saudi apalagi Saudi Aramco, sebagai perusahaan minyak terbesar di Arab Saudi, sekiranya mampu membantu Indonesia dalam pembuatan kilang minyak dalam negeri, untuk mampu memenuhi kebuthan minyak dalam negeri. Walaupun Indonesia, mengimpor minyak dari Arab Saudi akan tetapi, hal ini tidak membuat Arab Saudi tidak ingin membantu Indonesia dalam pembuatan kilang minyak, bahkan Arab Saudi menganggap bahwa membantu Indonesia dalam pembuatan kilang mampu ini memberikan hubungan yang semakin dekat dengan Arab Saudi, dengan kerjasama yang sebelumnya telah berlangsung selama 60 tahun dari segala bidang, setidaknya bantuan ini merupakan bantuan yang sangat di butuhkan Indonesia mengingat minyak merupakan sebuah komoditas yang penting dan primer dalam sebuah negara, karena tanpa adanya minyak maka sendi-sendi kehidupan tidak dapat berjalan dengan baik, kecuali terdapat alternatif pengganti black gold ini.
C.           Hambatan-hambatan Kerjasama Perminyakan Indonesia-Arab Saudi
Fluktuasi minyak dunia membuat permasalahan tersendiri bagi setiap negara, tidak terkecuali Indonesia. Setiap peristiwa yang terkait dengan minyak dunia sepertti Snow Ball Theory. Gema Indonesia sebagai penghasil minyak merupakan cerita indah masa lalu, dari tahun ke tahun produksi minyak Indonesia mengalami penurunan, sementara di pihak lain perkembangan tingkat konsumsi dari tahun ke tahun meningkat. Kebijakan-kebijakan dalam formulasi politik luar negeri diharapkan dapat menjadi patokan demi mengamankan enegri (energy security) nasional.
Pemerintah mengklaim bahwa setiap tahun produksi minyak Indonesia menurun, sementara dahulu Indonesia merupakan negara penghasil minyak yang besar saat boom minyak, akan tetapi kenyataannya pemodal asing lah yang menguasai sumur-sumur minyak yang tersebar di seantero negeri ini. Sebanyak 85,4%  konsesi pengelolaan migas nasional dikuasai perusahan asing. Yang terbesar dikuasai oleh ExxonMobil, Vico, Conoco Philips, Chevron dan British Petroleum. Keenam perusahan itu menguasai 90 persen total produksi minyak Indonesia. Perusahaan-perusahaan multinasional tersebut menguasi minyak Indonesia lewat skenario kontrak bagi hasil atau production sharing contract (PSC). Selama ini pemerintah mengklaim mendapat bagian yang lebih besar dalam kontrak bagi hasil migas, yaitu sebesar 85%, sementara perusahaan swasta (kontraktor kontrak kerja sama/KKKS) yang mayoritas perusahaan migas asing hanya mendapat 15%. Hal inilah yang menjadikan Indonesia kebutuhan minyak dalam negerinya tidak mampu dipenuhi sehingga, Indonesia perlu menjalin kerjasama perminyakan sebagai salah satu langkah energy security.
Minyak mentah merupakan komoditas vital yang tidak dapat digantikan selama belum memadainya diversifikasi energi, peningkatan harga komoditas ini tidak serta merta dapat menurunkan konsumsi negara akan minyak mentah. Oleh kerena itu keamanan pasokan energi menjadi suatu prioritas bagi negara. Kerjasama bisnis dalam komoditas ini biasanya melintasi batas-batas politik suatu negara berdasarkan asumsi kebutuhan yang tinggi. Tetapi beberapa kasus menunjukkan faktor politik suatu negara mempengaruhi pola bisnis komoditas ini.
Implementasi dari energy security ialah dengan melakukan kerjasama atau mitra strategis dengan negara penghasil minyak. Import minyak Indonesia pada tahun 2008 sekitar 400 ribu bpd merupakan angka yang besar untuk menutupi selisih 95 produksi dengan konsumsi sebesar 1,3 juta bpd. Kapasitas kilang Indonesia adalah 1.057 ribu barel perhari (2004), terdapat di di Dumai, P. Brandan, Musi, S. Pakning, Balikpapan, Cilacap, Balongan, Cepu dan Kasim. Sebagian besar impor BBM Indonesia dilakukan dari Singapura, yang merupakan salah satu bunker dan pasar produk minyak terbesar di dunia.
Negara yang menjadi mitra Indonesia dalam memasok import minyak mentah yaitu Saudi Arabia, Amerika Serikat, Libya, Iran, Malaysia dan Vietnam. Selain pasokan dari negara, kerjasama juga dilakukan oleh para perusahaan minyak dunia seperti BP (British Petroleum), Caltex, Exxon dan sebagainya dalam hal kegiatan eksplorasi. Berdasarkan data dirjen Migas setidaknya terdapat beberapa kerjasama bilateral energi antara Indonesia dengan beberapa negara yaitu dengan Cina, Inggris, Amerika Serikat, Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Yemen, Norwegia, Vietnam, Norwegia, Jordania, Iraq, Iran, Kuwait dan Sudan.
Pengaruh ketergantungan akan minyak ini terkadang membuat politik luar negeri suatu negara tidak independent dalam artian adanya perbedaan di tingkat idealitas dan realitas. Walaupun anggapan bahwa bisnis adalah bisnis, tetapi komoditas ini dapat menggerakkan instrument politik luar negri maupun kerjasama luar negeri. Semakin tinggi tingkat ketergantungan akan minyak mentah maka semakin ofensif pula politik luar negeri suatu negara dalam menjalin mitra strategisnya.
Selain itu, impor minyak pun bukan tanpa persoalan. Harga BBM impor harusnya dapat lebih murah. Itu bisa dilakukan jika pemerintah membersihkan ekspor-impor minyak dari aktivitas para broker minyak internasional. Fakta yang ada minyak impor, baik yang dibeli dari pasar spot, ataukah dari kontrak jangka panjang, sebenarnya tidak dibeli langsung oleh Pertamina. Pertamina membelinya melalui para broker. Shell Singapore, Formasa Taiwan, RIM Intellegence, dan Platts Singapore adalah beberapa diantaranya. Pertamina menenderkan pembelian minyak pada pasar spot kepada para broker jual-beli minyak tersebut. Sedangkan untuk kontrak jangka panjang, dilakukan oleh Petral, anak perusahaan Pertamina, dan Pacific Petroleum Trading (PPT), trader minyak yang 50 persen sahamnya dikuasai Pertamina.
Perekonomian global tengah menghadapi berbagai rintangan yang mengancam pemulihan krisis. Ancaman terbesar adalah harga minyak mentah. Lebih dari dua pertiga dari 23 ekonom yang disurvei menyatakan bahwa harga minyak yang tinggi diidentifikasi sebagai risiko yang paling serius bagi perekonomian global. Kerusuhan yang terjadi di Timur Tengah dan Afrika Utara menaikkan harga minyak hingga 15 persen dalam dua bulan terakhir. Serangan rudal dan larangan terbang Libya oleh Amerika Serikat dan sekutunya juga mendorong harga gas lebih tinggi.
Bagi Indonesia perlu dilakukan kontrol terhadap kenaikan harga minyak yang mencapai US$ 112-US$ 118 per barel akibat gejolak berdarah yang terjadi di Libya sehingga menghentikan ekspor minyaknya ke luar negeri. Dengan seperti itu minyak akan semakin mahal dikarenakan Libya juga merupakan produsen minyak yang besar dan merupakan anggota OPEC, sehingga jika harga minyak di dunia semakin mahal tentunya harga yang diberikan Arab Saudi kepada Indonesia akan mengalami kenaikan.
Indonesia juga harus mengantisipasi jikalau terjadi gejolak politik di Arab Saudi, apabila terjadi gejolak politik di Arab Saudi, maka harga minyak dunia diprediksi mencapai US$ 200, karena Arab Saudi memproduksi dan memiliki minyak hampir seperlima jumlah minyak dunia. Keadaan ini tentu akan mengakibatkan APBN Indonesia akan habis terkuras dengan hanya memenuhi kebutuhan kilang dalam negeri, dan untuk kebutuhan rakyat Indonesia, dimana minyak merupakan kebutuhan primer dalam sendi-sendi kehidupan, kecuali jika terdapat alternatif-alternatif pengganti yang mampu menggantikan minyak, tentunya dengan harga yang lebih rendah.


BAB IV
PENUTUP
4.1.  Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka penulis memperoleh simpulan sebagai berikut :
1.             Hubungan kerjasama perminyakan antara Indonesia dengan Arab Saudi mempengaruhi keamanan energi Indonesia mengingat kebutuhan energi Indonesia semakin meningkat sementara produksi dalam negeri tidak memenuhi, sehingga kerjasama ini diharapkan langgeng dan lancar.
2.             Hambatan-hambatan yang dihadapi Indonesia menjalin kerjasama perminyakan ini yakni terdapat brokerminyak dalam kerjasama perminyakan ini yang menyebabkan harga yang diperoleh sedikit mengalami peningkatan, disamping itu pula kondisi-kondisi politik di Timur Tengah kadang mengganggu hanya dari segi harga minyak akan terpengaruh.
3.             Peluang-peluang yang dimiliki Indonesia, masih besar untuk kerjasama ini, karena produksi minyak Arab Saudi masih stabil, bahkan ada rencana untuk meningkatkan produksi kilangnya, sehingga Indonesia harus pandai-pandai melihat peluang ini.

4.2.  Saran
1.             Agar kerjasama ini dapat berlangsung lebih lama, maka Indonesia harus mampu menjaga hubungan baiknya yang telah terjalin selama ini dengan Arab Saudi, salah satunya dengan cara meningkatkan kunjungan antara pejabat kedua negara.
2.             Perlu ditingkatkannya pertukaran informasi, dengan cara meningkatkan volume kunjungan antara pejabat kedua negara, serta warga negaranya.
3.             Seyogianya jika terdapat masalah bilateral dapat segera diselesaikan dengan jalan yang terbaik, agar kerjasama yang lain tidak terganggu.

Harapannya segala bentuk kerjasama yang dapat menguntungkan negara Indonesia,
Semoga bisa tetap berjalan apalagi terkait minyak mentah menjadi bagian sebuah usaha pemerintah yakni energy security , minyak yang merupakan sesuatu yang sangat primer bagi sebuah negara, demi  kesejahteraan dan pemenuhan kebutuhan dalam negeri memang perlu untuk diperjuangkan.




DAFTAR PUSTAKA

Anonym. 2010. Bilateral.http://kamusbahasaindonesia.org/bilateral/mirip#ixzz2ljrj Mi8a. diakses pada 21November 2013
Hannan Nugroho, Perencanaan Pembangunan  Edisi 2 Tahun X 2005,
                            www.bappenas.go.id/get-file-server/node/2739/,
Konflik Libya Berlanjut,Minyak di Atas US$105
          http://fokus.vivanews.com/news/read/208237-konflik-libya-berlanjut-           
          minyak-di-atas-us-105 
Kerjasama Bilateral , http://www.migas.esdm.go.id/
REPUBLIKA, 14 Juni 2012 oleh Basuni Imamuddin ; Ketua Program Studi 
                 Pascasarjana Kajian Timur Tengah  dan Islam, Universitas Indonesia

Subscribe to receive free email updates: